Oleh Dr Fidelis Regi Waton
Pengajar Filsafat di Sankt Augustin, Jerman
GEMPURAN Rusia atas saudaranya Ukraina mengingatkan kembali akan pembunuhan saudara (Fratercide) legendaris pertama dalam Alkitab. Dibutakan oleh dengki, cemburu dan amarah Kain begitu keji membunuh Habel.
Dari perspektif etnologi Rusia dan Ukraina tergolong bangsa Slavia Timur. Mereka diikat kesamaan budaya. Dalam skala ini perang yang digenderangkan Vladimir Putin tak lain dari perang saudara. Kisah Fratercide klasik tampaknya terjadi lagi.
Tali persaudaraan kultural diteguhkan agama dominan. Gereja Kristen Ortodoks berpengaruh strategis di kedua negara ini, juga secara politik. Ia menjadi penegak makna dan identitas kolektif, meskipun agama dan denominasi lain serta warga ateis juga berdomisili di sana.
Selain klaim teritorial dan politik, agama turut berperan di balik perang Ukraina. Gereja Ortodoks Ukraina terpecah dalam dua kubu. Di satu pihak terdapat Gereja Ortodoks Ukraina yang lebih terbuka dan kosmopolitan. Di sini lain ada Gereja Ortodoks Ukraina yang berafiliasi dengan patriarkat Moskow.
Belakangan ini semakin gencar gerakan pemisahan diri secara total dari Moskow khususnya sejak Rusia menganeksasi Krimea (2014). Upaya pemisahan diri terwujud 2018 dan diakui induk Gereja Ortodoks di Konstantinopel. Gereja Ortodoks Rusia menolaknya.
Agama negara
Di Rusia, Gereja Ortodoks berfungsi de facto sebagai agama negara. Agama ini mengartikan diri sebagai lembaga nasional di sisi penguasa politik. Presiden Putin dan mayoritas elit politik menganutnya. Patriark Moskow saat ini adalah Kiril dengan nama asli Vladimir Mikhailovich Gundyayev. Sebagaimana Putin ia berasal dari Sankt Petersburg.
Mantan perwira Badan Rahasia Uni Sovyet (KGB) ini menjalin relasi akrab dengan lingkaran pemerintah dan militer. Ia disinis sebagai Patriark Oligarki. Dengan tegas pemimpin agama ini menolak invasi ilegal Rusia ke Ukraina sebagai perang. Baginya Ukraina termasuk dalam wilayah “kekudusan Rusia“. Dinas militer dianggapnya sebagai tindakan amal.
Segera setelah agresi pasukan Rusia, tampak tayangan di mana banyak orang berdoa di rumah ibadah dan alun-alun, di hadapan salib dan ikon agar perang ditamatkan. Sehari sebelum invasi Rusia Patriark Kiril mendoakan agar Presidennya selamat dan ditolong Tuhan dalam tugas mulianya bagi rakyat Rusia.
Siapa yang akan didengarkan Tuhan? Di manakah posisi Tuhan yang sama disembah? Alkitab Perjanjian Lama tampaknya jelas memberikan jawaban atas pertanyaan di atas. Setelah Fratercide Tuhan menagih tanggung jawab Kain. “Apa yang telah kau lakukan? Darah adikmu berseru kepada-Ku dari dalam tanah“ (Kej. 4:10). Tuhan berpihak pada korban. Posisi Tuhan ini kelak dikonfirmasi sejarah bangsa Israel.
Ketika Israel sebagai bangsa asing tidak lagi ditoleransi di Mesir, pemerintah Firaun melakukan represi berupa larangan reproduksi, penetapan status budak dan kerja paksa. Ratapan dan seruan minta tolong kaum tertindas mendobrak telinga Tuhan dan Sang Khalik turun tangan (Kel. 2:23-25). Allah mendaulatkan Musa untuk membebaskan umat Israel dan menuntunnya menuju tanah terjanji yang konon berlimpah susu dan madu.
Jawaban transparan ini kemudian dikaburkan secara konyol ketika bangsa Israel berubah status sebagai agresor. Kebrutalannya dipromosikan Tuhan dan mendapat legitimasi secara agama. Jejak ini bisa diendus misalnya dalam kisah perampasan tanah. Kanaan yang dijanjikan Tuhan untuk umat-Nya bukanlah wilayah tanpa penghuni.
Sebelum penaklukan kota Yerikho, Allah memerintahkan agar segala yang ada dalam kota –pria, wanita, anak-anak dan orang tua serta hewan– harus dibasmi (Yos. 6:21). Atas perintah Tuhan bangsa Israel menjalankan genosida sadis. Inilah satu dari banyak contoh, di mana Tuhan memihaki pelaku kejahatan, memerintahkan atau merestui kekerasan dan kekejaman.
Kitab suci Perjanjian Lama memaparkan paradoks fatal. Tuhan tidak bermasa bodoh terhadap nasib manusia. Ia campur tangan dalam sejarah. Sayangnya intervensi Tuhan meninggalkan jelak terang (memihaki korban) dan gelap (membenarkan kejahatan).
Kelak Yesus dari Nazarat merevisi gambaran Allah yang salah dan disalahgunakan. Tuhan tidak memihaki pelaku kejahatan atau membenarkan kekerasan. Dengan tekad bulat Yesus memihaki korban dan konsisten menapaki jalan tanpa kekerasan. Kekerasan, perang dan perlawanan bersenjata ditolak Yesus.
Ia menegaskan: Barangsiapa yang menggunakan pedang, ia akan mati oleh pedang (Mat. 26,52). Dengan ini Yesus menyuguhkan horison dan cara hidup baru yang tidak lagi melahirkan korban. Lingkaran kekerasan wajib dipatahkan.
Ajaran kasih
Dalam ajaran kasih sebagai identitas kaum-Nya, Yesus menegaskan bahwa para pengikut-Nya harus memberikan hidup satu sama lain ketimbang mengambil nyawa orang lain. Jemaat Kristen awal berusaha mengimplementasikan piranti Yesus. Mengacu pada larangan membunuh sesama mereka menolak dinas militer dalam laskar Romawi dengan risiko dianiaya, dipenjara dan dibunuh. Dalam perjalanan sejarah aturan bernas ini tragisnya acapkali tidak diindahkan.
Atas nama Tuhan, perang dan penaklukan dilancarkan, kebrutalan dan pembunuhan dibenarkan. Meskipun begitu fakta irasional ini bukanlah kasus istimewa Kekristenan. Bahwa agama terlibat dalam konflik dan perang, bisa dihadirkan daftar panjang. Agama bukan saja sanggup memanusiakan, tetapi juga membarbarisasikan.
Dalam sel penjaranya tahun 1977, pemenang Nobel Perdamaian, Adolfo Perez Esquivel dari Argentina, menemukan wacana yang digurat dengan darah pada dinding berbunyi: “Dios no mata“ (Tuhan tidak membunuh). Fakta inilah yang membedakan manusia dari Tuhan: Allah tidak membunuh, sedangkan manusia membunuh.