Oleh Frans Maniagasi
Pengamat politik lokal Papua
SEPANJANG kita masih terus begini. Tak kan pernah ada damai bersenandung. Kemesraan antara kita berdua, sesungguhnya hanya keterpaksaan saja. Senyum dan tawa hanya sekadar saja. Pelengkap sempuranya sandiwara.
Kutipan ini diambil dari syair lagu lawas era 80-90-an, Kucari Jalan Terbaik dari Pance Pondaag. Bila kata-kata syair lagu ini dikenakan pada kondisi aktual Papua terkini, pertanyaannya: kapan konflik dan kekerasan berakhir dan kapan pula ada damai di Papua?
Enam dekade Papua “menyatu” dengan Negara RI, menurut sebagian kaum intelektual, terutama generasi milenialnya, yang lahir akhir era 80 dan 90-an justru mereka ini yang getol mempersoalkan keabsahan integrasi (1963) dan Pepera (1969). Padahal, mereka lahir 20 tahun lebih pasca integrasi dan Pepera.
Bagi generasi millenial Papua, proses penyatuan ini merupakan sebuah keterpaksaan. Oleh sebab itu kemesraan selama ini dengan Indonesia dianggap kepalsuan. Artinya, integrasi Papua sekadar sebagai pelengkap –untuk memenuhi syarat teritorial Indonesia merdeka- dari Aceh hingga Papua, dari Merauke sampai Sabang.
Sehingga tak pernah ada damai yang bersenandung, sepanjang perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Papua hingga menjelang 78 tahun (1945-2023) Indonesia merdeka. Dalam perspektif kelompok milenial ini betapa sulitnya Papua menggapai kedamaian. Adakah yang keliru sehingga betapa rumitnya menghadirkan kedamaian di bumi Cenderawasih?
Pertanyaan-pertanyaan itu sengaja dikemukakan kepada kita sebagai bangsa dan negara agar dapat direnungkan dan diupayakan solusinya, dengan harapan ada kedamaian di Papua dan di Indonesia.
Seperti tertulis pada Pasal 46 UU Nomor 21/2001 junto UU No 2/2021) bahwa syarat damai itu pentingnya rekonsiliasi antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) merupakan sarana yang bertujuan mengklarifikasi sejarah penyatuan Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan NKRI.
Merujuk pada subtansi UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, terdapat empat persoalan mendasar yang mesti diselesaikan oleh negara. Pertama, meminimalisasi kesenjangan sosial, budaya, dan ekonomi antara orang asli Papua (OAP) dengan masyarakat pendatang (non–OAP).
Kedua, meminimalisasi kesenjangan pembangunan antara Papua dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Ketiga, menyelesaikan kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat atas nama negara dan masyarakat di Papua.
Keempat, klarifikasi sejarah penyatuan Papua dengan Negara Kesatuan RI dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa (Akademic Paper draf UU Otsus Nomor 21/2001).
Integrasi dan Pepera?
Kaum milenial Papua jika meminjam klasifikasi Gramschi tentang intelektual, persis apa yang disebut sebagai intelektual organik. Gramshi membedakan dua kategori intelektual. Pertama, intelektual tradisonal yaitu mereka yang hidup terpisah, eksklusif, kelompok sosial yang memisahkan diri dari masyarakat.
Kedua, intelektual organik. Mereka adalah kelompok sosial yang hidup bersama, mengalami dan merasakan pengalaman masyarakatnya, terlibat jauh dalam persoalan kemasyarakatan dan berniat merubah status quo dan memperjuangkan kebenaran serta bertarung demi kesetaraan dan keadilan.
Tak berlebihan ciri ini saya kenakan pada kaum milenial intelektual Papua. Kelompok ini memiliki latar belakang pendidikan dalam dan luar negeri, menguasai digital, media sosial, dan berinteraksi dengan sesamanya baik nasional mau pun global. Ciri khasnya adalah internet menjadi dunianya.
Kelompok intelektual Papua inilah yang kini mempersoalkan integrasi Papua dan kecurangan pelaksanaan (prosedural) Pepera. Generasi ini belajar dan mendalami masalah sosial dan kenegaraan tatkala mereka menimba ilmu di perguruan tinggi, berinteraksi dengan sesama rekan sekampus dan pergaulan global sesama kaum milenial di belahan bumi lainnya.
Bahkan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, digitalisasi, internet, dan media sosial menjadikan mereka saling berkorelasi dengan sesama generasi milenial lainnya melalui sistem komunikasi global. Kelompok ini yang kini mempersoalkan peristiwa-peristiwa historis politik yang menyangkut keabsahan dan keberadaan Papua dengan RI.
Realitas politik kelompok ini in the making processs bergerak ke arah perubahan tak dapat diabaikan sehingga mereka membutuhkan jawaban dan klarifikasi serta kepastian terhadap masalah integrasi dan Pepera.
Menurut pendapat saya makna di balik gugatan kelompok milenial Papua ini sebenarnya bukan momentum integrasi (1963) dan Pepera (1969) tapi dampak, ekses atau akibat yang ditimbulkan dari integrasi dan proses pelaksanaan Pepera yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi universal, one man one vote seperti yang tercantum dalam Perjanjian New York (New York Agreement/NYA 1962).
Kondisi itu yang sampai saat ini mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara kita Indonesia yang masih dirasakan dan dialami, yang termanifestasi dalam bentuk konflik dan kekerasan di Papua. Meskipun terkadang konflik itu bermotif ekonomi, ketidakadilan, diskriminasi, dan rasisme namun nuansa ideologi Papua merdeka masih terasa kental.
Merespon kaum milenial
Dampak dari proses integrasi dan carut marutnya pelaksanaan Pepera itu yang dikritisi dan dipermasalahkan oleh kaum milenial Papua. Sehingga tak pantas kita berreaksi menganggap dan menutup mata terhadap gugatan mereka.
Hal ini bukan sesuatu yang given yang absolut -harga mati- sehingga tidak ada peluang untuk mendiskusikannya kembali dengan kekhawatiran Papua akan lepas dari NKRI. Apalagi dengan berbagai dalil dan pendapat yang menjustifikasi dan memvonis bahwa pendapat kita yang sahih. Tidak ada kebenaran yang absolut –kebenaran itu plural dari perspektif posmodernisme.
Untuk itu kita perlu merespon tantangan kaum milenial Papua ini, kita perlu membayangkan ke mana pendulum sejarah kehidupan dunia bergerak dengan kedahsyatan globalisasi disertai demokratisasi, transparansi, hak asasi manusia, rasisme, diskriminasi, dan isu lingkungan.
Termasuk merekonstruksi hal hal kebangsaan yang tadinya dianggap tabu dan sakral seperti proses integrasi dan pelaksanaan Pepera yang tak dapat dijamah. Kini mesti didiskusikan dengan kebesaran jiwa sebagai bangsa yang besar untuk dilakukan rekonstruksi, tanpa menabrak kedaulatan negara.
Sama dan identik dengan pertanyaan bahwa apakah Republik Indonesia kini masih berbentuk kesatuan. Kesatuan itu masihkah bulat, menurut pendapat saya sedang mengalami proses lonjong.
Artinya, terbukti dengan beberapa wilayah yang diberlakukan kebijakan istimewa seperti DI Yogayakarta, DKI Jaya, maupun Aceh dan Papua dengan status otsus dan tak tertutup kemungkinan dalam kehidupan berpemerintahan dinegara ini kedepan, dapat saja daerah daerah lain pun menerapkan kebijakan khusus. Selain amanat konstitusi tapi sadar atau tidak proses menuju metamorfosis praktik negara federalis sedang terjadi.
Tantangan terbesar kita selama 60 tahun wilayah ini menyatu dengan Indonesia adalah kegagalan kita sebagai bangsa dan negara membangun dan meletakkan fondasi nation building ke Indonesiaan di tanah Papua. Kegagalan tersebut dicoraki dengan konflik dan kekerasan yang terjadi selama 60 tahun wilayah ini menyatu dengan RI.
Tema developmentalis dan akselarasi pembangunan dengan jargon mencapai kesejahteraan dan keadilan sebagai paradigma baru, namun sepanjang dan selama masih dibungkus dengan pendekatan keamanan dalam menghadapi aspirasi dan tuntutan masyarakat termasuk kelompok intelektual milenial Papua yang kritis dan mempersoalkan keabsahan integrasi dan pelaksanaan Pepera dan dibalas dengan kekerasan maka sampai kapan pun tak pernah akan tercapai suatu dialektika peradaban yang demokratis dan bermartabat.
Dengan kata lain, jika tanggapan terhadap aspirasi dan tuntutan kaum muda milenial Papua yang mempertanyakan keabsahan integrasi dan Pepera tidak diberikan ruang untuk terjadinya dialektika, kita mesti mempertimbangkan era kini adalah era globalisasi. Negara tidak punya pilihan lain kecuali menjawab tantangan ini. Sebab semakin ditunda maka tetap akan menjadi masalah terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Peristiwa integrasi dan pelaksanaan Pepera bukan momentumnya tapi subtansi dan prosedurnya itu yang perlu diperiksa kembali. Karena inilah akar permasalahan Papua terjadinya perbedaan persepsi dan pendapat yang mesti dimediasi melalui dialog kebangsaan yang demokratis dan bermartabat dalam rangka rekonsiliasi dan rekontruksi sebagai ekspresi pembongkaran yang kreaktif (creative destruction) tanpa menabrak kedaulatan negara.
Dengan bersendikan saling percaya dan keberanian untuk mendekonstruksi bangunan yang lama demi konstruksi baru yang lebih baik. Itulah syarat bersenandungnya kedamaian di tanah Papua akan tercapai melalui trayek kebangkitan bangsa dimasa depan.