SORONG, ODIYAIWUU.com — Sejumlah elemen masyarakat yang terhimpun dalam Koalisi Selamatkan Manusia dan Alam Domberai, Rabu (11/6) merespon keterangan pers pemerintah terkait protes sejumlah elemen dan pegiat lingkungan hidup, terutama masyarakat Papua Barat Daya atas kehadiran sejumlah perusahaan pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto melalui keterangan pers yang disampaikan langsung Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, Selasa (10/6) pemerintah akhirnya mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan tambang di Raja Ampat minus PT Gag Nikel.
Empat perusahaan tambang tersebut adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Sedangkan, PT Gag Nikel masih beroperasi dengan konsesi lahan seluas 13.136 hektar (ha).
Koordinator Umum Koalisi Selamatkan Manusia dan Alam Domberai Torinus Kalami menegaskan, Bahlil dalam keterangan pers menyebut Gag Nikel berada di luar kawasan geopark Raja Ampat dan berjarak sekitar 40 kilometer dari Piaynemo.
Namun, yang jadi pertanyaan adalah apa dengan alasan itu pemerintah tidak mencabut izin Gag Nikel karena merupakan korporasi pertambangan plat merah alias Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga tidak dicabut IUP-nya.
“Kami mendesak pemerintah atau kementerian terkait segera mencabut izin PT Gag Nikel karena mengancam kelestarian alam dan lingkungan Raja Ampat,” ujar Torinus Kalami dari Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (11/6).
Menurut Torinus, koalisi juga mendesak pemerintah melalui kementerian terkait dan pemerintah daerah tidak lagi menerbitkan dan memberikan IUP kepada perusahaan Raja Ampat Nikel Abadi.
Pihak koalisi juga menegaskan, aktivitas sejumlah perusahaan tambang di Raja Ampat bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Pemerintah segera untuk mengevaluasi seluruh perizinan pertambangan di Papua Barat Daya serta mencabut izin-izin tambang yang mengancam dan merusak alam dan lingkungan,” kata Torinus yang juga Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Malamoi.
Selain itu, koalisi juga meminta pemerintah segera melakukan investigasi mendalam terkait dengan izin-izin pertambangan di Raja Ampat yang sarat dengan korupsi di sektor perizinan.
“Pemerintah sesegera mungkin menetapkan kebijakan untuk menjamin agar pemanfaatan sumber daya alam harus memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan penghormatan terhadap HAM dan menghentikan proyek strategis nasional di seluruh tanah Papua,” ujar Torinus.
Sementara itu, saat konferensi pers bersama Bahlil mengatakan, pemerintah resmi mencabut IUP empat perusahaan di Raja Ampat karena berbagai hal pertimbangan.
“Bapak Presiden memutuskan, memperhatikan semua yang ada, mempertimbangkan secara komprehensif, dan Bapak Presiden memutuskan bahwa empat IUP yang di luar Pulau Gag itu dicabut. Jadi mulai terhitung hari ini, pemerintah telah mencabut empat IUP di Raja Ampat,” ujar Bahlil di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (10/6).
Adapun perusahaan-perusahaan yang dicabut izinnya memiliki luas lahan konsesi beragam. PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), misalnya. Saat masih beroperasi di Pulau Kawei memiliki luas lahan konsesi 5.922 hektar. Mulia Raymond Perkasa sedang melakukan eksplorasi di Pulau Batan Pele dengan luas wilayah konsesi 2.193 hektar.
Kemudian, PT Anugerah Surya Pratama memiliki luas wilayah konsesi 1.173 hektar di Pulau Manuran dan PT Nurham, yang izin nya baru diterbitkan tahun 2025 dan akan beroperasi di Waigeo Timur (Yesner) memiliki luas wilayah konsesi 3.000 hektar.
Menurut Torinus, PT Gag Nikel yang belum dicabut IUP-nya memiliki luas wilayah konsesi 13.136 hektar. Perusahaan ini telah mengantongi izin operasi sejak 2017 dan diatur dalam Surat Keputusan (SK) Menteri ESDM Nomor 430.K/30/DJB/2017 yang berlaku hingga 30 November 2047.
Adapun PT Gak Nikel adalah perusahaan pertambagan nikel yang berkantor di Antam Office Building Tower B, Lantai MZ, Jalan TB Simatupang Nomor 1, Jakarta Selatan. PT Gag Nikel menjadi pemegang KK Generasi VII Nomor B53/Pres/I/1998 yang diteken oleh Presiden RI pada 19 Januari 1998.
Pada mulanya, kepemilikan saham mayoritas PT Gag Nikel dimiliki oleh Asia Pacific Nickel Pty Ltd sebesar 75 persen dan PT Aneka Tambang atau PT Antam Tbk sebesar 25 persen. Namun, sejak 2008, PT Antam Tbk mengakuisisi seluruh saham Asia Pacific Nickel Pty Ltd.
“Temuan Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan, Pulau Gag termasuk dalam kategori pulau-pulau kecil yang dilarang untuk aktivitas pertambangan sebagaimana ketentuan Pasal 35 Huruf k Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” kata Torinus.
Torinus menambahkan, saat ini pihak koalisi juga mendapatkan informasi bahwa saat ini terdapat satu perusahaan tambang yaitu PT Raja Ampat Nikel Abadi yang sedang dalam proses mengurus perizinan untuk di Kabupaten Raja Ampat.
“Sejak awal pemerintah tidak serius untuk memperhatikan dan mengawasi pemberian izin-izin kepada perusahaan pertamabangan di Raja Ampat yang mengancam alam dan lingkungan serta berdampak pada pelanggaran HAM,” ujarnya,
Selain itu, koalisi berpendapat, hingga saat ini kebijakan pemerintah belum mengedepankan kepentingan rakyat terutama masyarakat adat. Namun, hanya mengamankan kepentingan segelintir orang (korporasi) atau pemodal.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sebelumnya menyebut langkah pencabutan izin empat perusahaan tambang nikel Raja Ampat dibayangi konflik kepentingan dan perlindungan terhadap kepentingan korporasi besar.
Pasalnya salah satu perusahaan dibiarkan tetap beroperasi yakni PT Gag Nikel. Perusahaan tambang nikel itu secara terang-terangan beroperasi di Pulau Gag, sebuah pulau kecil dalam wilayah konservasi Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas tambang dilarang di pulau kecil karena mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat pesisir.
“Namun larangan hukum itu diinjak-injak oleh rezim hari ini. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berdalih bahwa izin PT Gag Nikel tak dicabut karena perusahaan itu adalah pemegang kontrak karya dan mayoritas sahamnya dimiliki BUMN (PT Antam). Ia bahkan menyebut tambang di Pulau Gag berjalan baik dan sesuai AMDAL,” ujar Koordinator Jatam Melky Nahar mengutip media.indonesia.com di Jakarta, Selasa (10/6).
Melky menambahkan, Jatam menilai alasan itu menyesatkan. Kontrak karya bukan tameng hukum untuk menghancurkan pulau kecil dan ruang hidup masyarakat adat. “Bahkan jika itu BUMN, tetap tak bisa membenarkan perampasan wilayah adat dan perusakan ekosistem Raja Ampat yang menjadi warisan dunia,” ujarnya.
Langkah pemerintah yang membiarkan PT Gag Nikel beroperasi justru menunjukkan konflik kepentingan yang mencolok dalam tubuh perusahaan itu. Jatam menyebut, dalam struktur komisaris perusahaan terdapat nama-nama yang diduga dekat dengan kekuasaan, termasuk Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi, Staf Ahli Menteri ESDM Lana Saria.
“Dengan tokoh-tokoh itu duduk sebagai pengawas perusahaan, publik berhak mencurigai bahwa PT Gag Nikel kebal hukum bukan karena legalitasnya kuat, tapi karena dilindungi jejaring kekuasaan politik dan ormas besar,” kata Melky.
Jatam menilai, tindakan Menteri Bahlil dan pembiaran oleh Presiden Prabowo Subianto terhadap operasi tambang di Pulau Gag adalah pelanggaran terhadap UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menolak gugatan PT Gema Kreasi Perdana (anak perusahaan HARITA) untuk menghapus ketentuan pasal 35 huruf K yang melarang kegiatan penambangan di Pulau Kecil dan telah dimenangkan warga Pulau kecil Wawonii.
Lebih jauh, hal itu juga melanggar ketentuan Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020, terutama Pasal 134 Ayat 2 yang menyatakan, “Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” katanya.
“Jika Prabowo dan Bahlil terus memfasilitasi perusakan pulau kecil, melindungi korporasi perusak lingkungan, dan menjadikan tambang sebagai alat eksploitasi politik, maka mereka sedang mempersiapkan kehancuran Indonesia dari pinggir, dimulai dari Raja Ampat,” ujar Melky. (*)