Oleh Methodius Kossay
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti
PEMEKARAN provinsi baru di tanah Papua saat ini sudah di depan mata seluruh warga negara Indonesia, teristimewa masyarakat Papua. RUU Pemekaran Provinsi Papua tinggal menunggu waktu ketuk palu untuk mengesahkan menjadi Undang-Undang (UU). Langkah itu ibarat pil pahit bagi masyarakat di Bumi Cenderawasih.
Jika ditelusuri ke belakang, hemat penulis seharusnya aksi unjuk rasa masyarakat Papua menolak Otsus Jilid II dan pemekaran juga kala itu sudah dilakukan. Pemerintah pusat dan DPR RI mesti dikasih warning, peringatan sejak dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) pada Maret 2021 terkait Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Gerak lambat
Selain itu, publik Papua termasuk kalangan akademisi dan kaum intelektual (hukum) masih gerak lambat menyikapi dibentuknya Pansus Otsus Papua Jilid II. Perjalanan Otsus Jilid II seolah melewati jalan tol yang mulus, protes yang kurang masif dilakukan pada saat itu seperti aksi protes masyarakat Papua belakangan ini.
Kalangan akademisi dan kaum intelektual yang pada saat itu, hanya diam terpaku. Seakan tidak terjadi apa-apa. Bisa juga banyak kaum intelektual belum paham mengenai mekanisme perumusan peraturan perundang-undangan (legal drafting), sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor tahun 2011 tentang Perumusan Perundang-Undangan, yang menjadi dasar hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3.
Hasil nihil
Rencana pemekaran provinsi Papua, sekali lagi ibarat melewati jalan tol. Berbagai aksi unjuk rasa penolakan pemekaran dilakukan di berbagai wilayah di tanah Papua dan luar Papua. Namun, hasilnya nihil. Bahkan beberapa unjuk rasa penolakan pemerakan provinsi Papua menyampaikan sikapnya secara tertulis dan diserahkan kepada para wakil rakyat di DPR RI asal Papua ketika kunjungan kerja maupun reses di Papua. Toh, aspirasi masyarakat Papua tersebut seakan ditelan bumi.
Buktinya, seiring perjalanan waktu, semua fraksi menyetujui RUU Pemekaran Provinsi Papua oleh Badan Begislasi (Baleg) DPR RI dalam Rapat Pleno yang digelar Rabu (6/4). Publik tahu, RUU yang disahkan Baleg yakni RUU Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Pegunungan Tengah. Tiga provinsi baru di Papua sebagai berikut.
Pertama, Provinsi Papua Selatan (Ha Anin) dengan ibu kota Merauke. Provinsi ini meliputi Kabupaten Marauke, Mappi, Asmat, dan Boven Digoel. Kedua. Pegunungan Tengah (Lapago) dengan ibu kota Wamena, meliputi Kabupaten Jayawijaya, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, dan Nduga. Ketiga, Papua Tengah (Meepago) dengan ibu kota Timika, meliputi Kabupaten Paniai, Mimika, Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, dan Puncak.
Gagasan pemekaran
Bukan barang baru. Ide atau gagasan mengenai pemekaran DOB di tanah Papua. Pada masa Gubernur Irian Jaya Busiri Suryowinoto, ide pemekaran provinsi baru sudah muncul. Ide itu dilanjutkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Soeparjo Rustam dengan studi ilmiahnya. Kemudian gagasan pemekaran muncul lagi pada masa pemerintahan transisi yang dipimpin Presiden Habibie. Ide ini muncul karena ada pertemuan antara Habibie dan tim 100 pada 26 Februari 1999
Hingga era Presiden Megawati Soekarnoputri, sekilas juga merujuk ide Gubernur Busiri Suryawinoto kala itu. Tahun 1982 Busiri telah mengkaji masalah pemekaran wilayah Provinsi Papua. Artinya isu pemekaran Papua menjadi beberapa provinsi baru sudah sejak lama muncul. Bukan barang baru bicara pemekaran di tanah Papua.
Perpecahan dan konflik
Aneka pertanyaan berkelebat. Jika pemekaran Papua jadi tiga provinsi atau lebih, apakah ini langkah terencana pemerintah pusat dan DPR memecah belah warga masyarakat Provinsi Papua, khususnya orang asli Papua? Bukankah dengan pemekaran malah melahirkan konflik baru di daerah-daerah baru itu?
Jika ditelusuri, dari RUU tiga provinsi tersebut ada perbedaan mencolok dari segi budaya dan karakter masyarakat Papua dan daerah yang disatukan dalam daerah otonom baru tersebut. Masyarakt Papua dipecah belah dengan sistem pemekaran, terbaca ada indikasi terselip hiden agenda, agenda terselubung di balik itu.
Jika mengaca dari dua provinsi Papua dan Papua Barat saat ini, masyarakat Papua, publik tahu orang asli Papua adalah kelompok minoritas di atas tanah leluhurnya. Lalu sekarang lahir rencana pemekaran dengan dalil pemerataan pembangunan, keadilan sosial, pelayanan umum. RUU pemekaran provinsi baru ini, bisa memancing kondisi politik di Papua semakin tidak kondusif.
Kebijakan top down
Pemekaran provinsi baru di Papua disinyalir menjadi ladang konflik baru. Mengapa? Kebijakan pemerintah pusat tidak sesuai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah menjadi indikator utama penyelenggaraan tata tertib administrasi terkait pemekaran provinsi di Papua.
Selain itu, tidak sesuai juga dengan aspirasi dan hati nurani masyarakat Papua di tanah Papua. Aspirasi masyarakat Papua tidak diakomodir bahkan tidak dihiraukan. Kebijakan pemerintah pusat juga terkesan dipaksakan dari atas, top down. Jika kebijakan ini yang diambil potensi konflik kekerasan baik horizontal maupun vertikal menganga lebar.
Tak memenuhi syarat
RUU pemekaran provinsi baru di Papua juga tidak sesuai dengan persyaratan pembentukan daerah yakni administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Pertama, persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat setempat untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan kajian daerah terhadap rencana pembentukan daerah.
Kedua, persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan. Ketiga, persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Tidak percaya
Sekali lagi, kebijakan pemekaran provinsi di tanah Papua rawan memicu konflik baru antara masyarakat Papua dengan pemerintah. Kondisi psikologis masyarakat Papua saat ini sudah tidak mempercayai setiap kebijakan pemerintah akibat tumpang tindih kebijakan dan pelayanan publik, termasuk janji-janji politik para pemimpin.
Selain itu, masyarakat Papua dimanfaatkan oleh oknum elit politik yang bermain seperti serigala berbulu domba dalam payung pemerintah. Sayang, akibat kebijakan yang bersandar gaya pemerintah dan elite tuaian korban selalu berada di pihak masyarakat sipil tanah Papua.
Pemerintah pusat perlu menciptakan suasana yang kondusif di Papua dengan berbagai kebijakan yang mencerminkan suasana demokrasi, kearifan lokal, dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini, karena insiden kekerasan akibat kontak senjata antara berbagai kelompok masih terus terjadi hingga saat ini, terutama di wilayah pegunungan Papua.
Isu pemekaran provinsi baru di Papua saat ini hemat penulis wajib ditunda terlebih dahulu. Jika memungkinkan, Presiden langsung mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) lalu menyelesaikan beberapa akar masalah Papua.
Pemekaran provinsi baru idealnya datang dari masyarakat Papua dan sesuai teknis prosedur yang sudah diatur dalam Undang-Undang. Pemerintah pusat terkesan memaksakan kebijakan mendorong pemekaran provinsi baru. Hal ini tentu akan menimbulkan gesekan-gesekan dan memperkeruh situasi dan kondisi Papua yang belakangan suasana damai masih jadi barang langka.
Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua Thaha al Hamid mengatakan, bahwa pemekaran itu membinggungkan masyarakat. Dalam era demokrasi dan keterbukaan, kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di tangan pemerintah pusat. Aspirasi rakyat Papua harus didengarkan dan didukung, bukan diabaikan dan ditindas dengan peraturan-peraturan yang merugikan hak-hak dasar orang Papua.
Hidup dalam ketidakpastian
Masyarakat Papua dibuat bingung dan hidup dalam ketidakpastian. Masyarakat selaku pemilik hak ulayat yang mendiami di Bumi Cenderawasi, kini diobrak-abrik penguasa melalui pemekaran minus legitimasi rakyat Papua. Ruang demokrasi tidak berhasil dalam mengakomodir aspirasi masyarakat Papua yang menolak pemekaran.
Nafsu jabatan dan kekuasaan alpa melihat jeritan rakyat Papua. Nafsu kekuasaan malah memburamkan mata hati pemangku kebijakan negara. Lalu di dalam bilik hati rakyat bersemayam kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran dan ketidakpastian di tengah bayang-bayang kekerasan atas manusia Papua.
Kedaulatan ada di tangan rakyat. Karena itu, negara perlu menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan menempatkan rakyat sebagai ultimum remidium dalam mengakomodir aspirasinya. Karena kebijakan pemerintah pusat tentang pemekaran muaranya untuk rakyat Papua.
Jika suara masyarakat Papua adalah wujud suara Tuhan, mestinya di sana telinga negara dibuka lebar-lebar dan wajib didengar dan diakomodir. Indonesia sebagai negara demokrasi harus membuka kran aspirasi jika tida sudi kisruh bakal terbit dan menerangi tanah Papua saban waktu.