Oleh Johanes Supriyono
Antropolog
ENAM tahun lalu, yaitu pada 2015, pagu beras miskin yang dialokasikan untuk Papua dan Papua Barat adalah 92.000 ton. Sementara yang berhasil disalurkan sampai dengan Agustus tahun itu adalah 46.000 ton dari 62.000 ton target. (https://www.beritasatu.com/nasional/301389/bulog-papua-salurkan-46000-ton-raskin#!). Dari berita yang sama, yang untuk saya menarik, adalah ada dua kabupaten yang belum berhasil dijangkau untuk distribusi: Kabupaten Pegunungan Bintang dan Nduga.
Keduanya berada di dataran tinggi. Bulog, badan negara yang mengurusi logistik pangan, berusaha memberi makan orang-orang di Papua dengan beras. Jadi, sebagaimana saya nyatakan di atas, memberikan pangan (beras) menjadi salah satu indikator yang penting tentang negara mengurus penduduknya.
Sehari-hari saya kira nasi menjadi lebih dominan daripada pangan lokal yang lain. Pada acara-acara pemerintah di Papua nasi menjadi menu yang dihidangkan bersama dengan sagu, ubi jalar, pisang, dan pangan yang lain. Namun, pada acara-acara tradisional lebih sering makanan tradisional yang disajikan, tanpa nasi.
Fakta yang mudah didapatkan di kampung-kampung di Papua saat ini adalah bahwa anak-anak Papua menjadi sangat biasa makan nasi dan sangat gampang menemukannya di warung-warung tenda, rumah makan-rumah makan, restoran-restoran dan tempat yang lain. Sementara jumlah rumah makan atau sejenis itu yang menyediakan makanan tradisional (sagu, ubi jalar, pisang) tentu lebih sedikit daripada warung yang makanan utamanya nasi.
Sekarang ini suka atau tidak suka kenyataan mesti kita akui:beras adalah pangan yang lebih dominan daripada sagu, ubi jalar, ketela, atau pangan lokal yang lain. Juga, pemerintah lebih memprioritaskan beras —mulai dari produksi, distribusi sampai dengan konsumsi di acara-acara pemerintahan— daripada sagu, ubi jalar, ketela, dan pangan tradisional di Papua yang lain.
Pencetakan sawah di Papua sejak sekurangnya 40 tahun yang lalu dan masih terus berlangsung pada tahun-tahun belakangan initelah membawa perubahan lanskap yang bermakna bagi penduduk lokal. Perubahan lanskap itu terjadi diiringi oleh rasa kehilangan akibat tanah-tanah mereka dicaplok kemudian diberikan kepada para migran.
Kehilangan paksa itu dirasakan sebagai pengalaman dirampas secara tidak adil. Dan, sedihnya pengalaman dirampas secara tidak baik-baik ini berulang-ulang terjadi sampai dekade sekarang ini. Dengan seruan Papua bukan tanah kosong, atau tanah tanpa pemilik, orang-orang mau menyampaikan secara terbuka bahwa orang-orang Papua adalah pemilik sah tanah ini.
Gagasan yang memayungi proyek-proyek pencetakan sawah, pembukaan kebun sawit, pabrik kayu bulat, pengolahan ikan, dan pemindahan ribuan keluarga ke Papua tidak pernah terlepas dari rencana pemerintah era sentralistik untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dan kontrol yang lebih kuat terhadap Papua. Papua, pulau terbesar ketiga di dunia yang sangat kaya dengan hutan tropis, dilihat sebagai potensi besar di sisi timur Indonesia.
Nasib Papua diteropong dari Jakarta oleh orang-orang pintar dengan mengabaikan kehidupan orang-orang yang sudah ribuan tahun menghuni pulau itu. Para ahli itu mengaku diri sebagai orang yang lebih tahu apa yang baik bagi orang-orang Papua yang dinilai masih terbelakang.
Pusat-pusat pertumbuhan yang ditargetkan oleh pemerintah zaman itu adalah Sorong, Manokwari, Nabire, Jayapura, Fak-fak, dan Merauke. Sawah-sawah dicetak pada awalnya adalah untuk lapangan kerja para migran. Mereka pada umumnya, atau sekadar diandaikan, sudah membawa bekal keterampilan bercocok tanam padi. Dan, seperti yang saya dengar pada percakapan dengan transmigran di Nabire, pemerintah sudah menyiapkan lahan sawah seluas satu hektar yang siap tanam ketika mereka ditempatkan di Satuan Permukiman.
Sawah-sawah —dan kemudian bertambah lagi dengan kebun sawit, atau area-area konsesi yang lain— bagi orang-orang Papua tampak sebagai monumen penaklukan mereka yang dipajang secara terbuka di atas tanah mereka sendiri. Kisah di belakang monumen-monumen itu adalah kekalahan yang tidak fair. Setiap saat sawah-sawah itu, yang semakin ke sini menjadi semakin luas dan akan terus semakin luas, mencerminkan kekalahan dan mengguratkan rasa nyeri di benak orang-orang Papua.
Kehidupan orang Papua tidak berpusat pada pertanian padi. Dengan demikian, rasa ‘belonging’ mereka terhadap sawah tidak cukup tebal atau barangkali tidak ada sama sekali. Secara umum orang Papua lebih bergantung pada kemurahan hutan mereka, bukan berharap pada panenan padi di sawah. Secara singkat saya ingin mengatakan relasi orang Papua dengan hutan sama sekali tidak bisa begitu saja digantikan dengan relasi yang baru dengan sawah.
Sawah bukanlah bagian dari hidup keseharian orang-orang Papua sampai beberapa dekade yang lalu. Sedangkan kini sawah-sawah itu menjadi bagian keseharian, tetapi bukan dalam arti secara positif. Sejarah sawah, padi, dan sekitarnya adalah manifestasi kekuatan negatif yang mengancam hidup orang Papua. (Bersambung)