Oleh Dr Imanuel Gurik, SE, M.Ec.Dev
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tolikara, Papua Pegunungan
LATAR belakang kesejahteraan orang asli Papua (OAP) dalam kerangka Otonomi Khusus (Otsus) Papua berakar pada sejarah panjang ketidakadilan, marginalisasi, dan kurangnya akses terhadap layanan dasar yang dialami masyarakat Papua selama sejak Papua berintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otsus Papua diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (kerap disebut UU Otsus Jilid 1) sebagai respons atas tuntutan masyarakat Papua untuk mendapatkan hak-hak yang lebih besar dalam mengelola wilayah mereka dan meningkatkan kesejahteraan.
Setelah integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, terdapat ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Papua, khususnya terkait pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan.
Masyarakat asli Papua merasa tidak mendapatkan keuntungan yang sepadan dari kekayaan alam yang dieksploitasi dari tanah mereka. Otonomi khusus diberikan untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah Papua dalam mengelola pemerintahan dan sumber daya.
Salah satu fokus utama adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua dengan menyediakan anggaran yang lebih besar dan kebijakan yang lebih berpihak kepada mereka. Otsus juga mengatur tentang hak-hak politik, sosial, budaya, dan ekonomi orang asli Papua, termasuk perlindungan terhadap adat, hak atas tanah, dan kearifan lokal.
Program otonomi khusus diharapkan dapat meningkatkan akses orang asli Papua terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, yang selama ini menjadi tantangan besar. Anggaran yang dialokasikan dalam rangka otsus seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, jalan, serta mendukung program-program pemberdayaan ekonomi yang mampu meningkatkan taraf hidup orang asli Papua.
Ruang orang asli
Otsus juga berupaya memberikan ruang bagi orang asli Papua untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi di daerah mereka. Meskipun otsus telah berjalan selama lebih dari dua dekade, banyak pihak menganggap bahwa implementasinya belum maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua.
Beberapa permasalahan yang muncul antara lain korupsi, ketimpangan dalam distribusi dana, dan kurangnya pembangunan di wilayah pedalaman. Banyak orang asli Papua yang masih merasa terpinggirkan dan kesejahteraan ekonomi belum merata di seluruh wilayah Papua.
Pada tahun 2021, pemerintah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001 dan menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Otsus Jilid 2) dalam rangka untuk memperbaiki berbagai kelemahan dan memberikan anggaran yang lebih besar bagi pembangunan Papua.
Revisi ini diharapkan dapat lebih fokus pada peningkatan kesejahteraan orang asli Papua melalui pendekatan yang lebih inklusif, transparan, dan berpihak pada hak-hak dasar masyarakat Papua. Salah satu aspek penting dalam mewujudkan kesejahteraan orang asli Papua adalah memberdayakan masyarakat Papua untuk bisa mandiri dalam bidang ekonomi dan sosial.
Pendidikan, pelatihan keterampilan, serta pemberdayaan perempuan dan anak muda Papua merupakan kunci agar orang asli Papua dapat berpartisipasi lebih aktif dalam pembangunan daerah mereka sendiri. Melalui implementasi yang lebih baik, transparan, dan adil, otsus diharapkan menjadi fondasi yang kuat untuk kesejahteraan yang berkelanjutan bagi orang asli Papua, baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun budaya.
Akar masalah
Secara umum kehidupan orang asli Papua hingga saat ini masih menghadapi berbagai tantangan dalam meraih kesejahteraan meskipun telah diberlakukan otsus di Papua. Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap ketidaksejahteraan orang asli Papua dalam otonomi khusus.
Pertama, distribusi dana yang tidak efektif. Walaupun Papua mendapatkan alokasi dana yang signifikan melalui otsus, distribusi dan penggunaan dana tersebut sering kali tidak optimal. Masalah korupsi, penyalahgunaan anggaran, serta kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana otsus menyebabkan manfaat dari dana tersebut tidak dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat asli Papua.
Kedua, ketimpangan pembangunan. Pembangunan di Papua cenderung tidak merata, dengan fokus utama di daerah perkotaan sementara daerah pedalaman yang dihuni mayoritas orang asli Papua seringkali terabaikan. Infrastruktur seperti jalan, layanan kesehatan, dan pendidikan masih kurang di banyak wilayah pedalaman, yang berakibat pada kesenjangan kesejahteraan antara masyarakat perkotaan dan pedesaan.
Ketiga, kualitas pendidikan dan kesehatan yang rendah. Akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas masih menjadi tantangan besar di Papua. Meskipun dana otsus seharusnya diarahkan untuk meningkatkan dua sektor ini, hasilnya belum terlihat optimal. Banyak sekolah di wilayah pedalaman kekurangan guru, sementara fasilitas kesehatan tidak memadai, menyebabkan kualitas hidup orang asli Papua tertinggal dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
Keempat, marginalisasi sosial dan budaya. Orang asli Papua seringkali merasa terpinggirkan secara sosial dan budaya. Masuknya pendatang dari luar Papua dengan jumlah besar telah menciptakan perubahan sosial dan ekonomi yang kadang-kadang tidak menguntungkan orang asli Papua. Mereka sering merasa tersingkir dalam persaingan ekonomi dan kesempatan kerja.
Kelima, masalah keamanan dan konflik. Papua masih menjadi wilayah dengan potensi konflik politik dan militer yang tinggi. Ketidakstabilan ini menghambat pembangunan dan menciptakan rasa tidak aman bagi banyak orang asli Papua. Ketika keamanan terganggu, pembangunan infrastruktur dan sosial juga terganggu, sehingga kesejahteraan masyarakat sulit tercapai.
Keenam, kurangnya partisipasi orang asli Papua dalam pengambilan keputusan. Meskipun otonomi khusus seharusnya memberikan ruang yang lebih besar bagi orang asli Papua dalam proses pengambilan keputusan, kenyataannya masih banyak kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan mereka secara penuh. Ini menyebabkan program-program yang dirancang tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan konteks lokal orang asli Papua.
Ketujuh, kesenjangan ekonomi. Banyak orang asli Papua yang belum terintegrasi secara penuh dalam ekonomi modern yang berkembang di Papua. Sektor-sektor yang dikuasai oleh pendatang seperti perdagangan dan sektor jasa sering kali lebih maju, sementara banyak orang asli Papua tetap terjebak dalam ekonomi subsisten.
Kedelapan, minimnya pelatihan dan pengembangan keterampilan. Kurangnya program pelatihan keterampilan untuk orang asli Papua membuat mereka sulit bersaing dalam pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif. Tanpa keterampilan yang memadai, mereka cenderung terpinggirkan dari lapangan pekerjaan yang lebih produktif.
Kesembilan, ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Papua kaya akan sumber daya alam, namun banyak orang asli Papua merasa bahwa mereka tidak mendapatkan manfaat yang sebanding dari eksploitasi sumber daya tersebut. Perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Papua seringkali hanya memberikan sedikit manfaat bagi masyarakat setempat, sementara dampak lingkungan yang ditimbulkan memperburuk kondisi kehidupan orang asli Papua.
Kesepuluh, kurangnya evaluasi program otsus. Program otsus yang berjalan sejak tahun 2001 kurang mendapatkan evaluasi yang menyeluruh untuk mengetahui apakah program tersebut efektif meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua atau tidak. Tanpa evaluasi yang baik, perbaikan kebijakan sulit dilakukan, sehingga permasalahan yang ada tetap berlangsung.
Secara keseluruhan, meskipun otsus dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua, tantangan struktural dan implementasi kebijakan yang kurang efektif membuat tujuan tersebut belum tercapai secara maksimal.
Strategi bangun kesejahteraan
Dalam rangka orang asli Papua dapat mencapai kesejahteraan dalam kerangka otsus, beberapa langkah strategis yang dapat diterapkan secara efektif. Strategi itu dapat mendukung kesejahteraan orang asli Papua melalui Otsus jilid 2.
Pertama, pemberdayaan ekonomi berbasis potensi lokal Salah satunya, pengembangan sumber daya alam berkelanjutan. Orang asli Papua memiliki tanah dan sumber daya alam yang kaya, termasuk hasil hutan, pertambangan, dan perikanan. Penting agar pengelolaannya dilakukan secara berkelanjutan dan menguntungkan masyarakat setempat, bukan hanya perusahaan besar.
Selain itu, dukungan pendanaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Melalui otsus, dana dan kebijakan dapat diarahkan untuk memberdayakan pengusaha lokal, seperti pelatihan keterampilan, akses modal, dan penyediaan pasar. Kemudian, pertanian dan pariwisata berbasis komunitas. Investasi dalam sektor pertanian yang berbasis komunitas dan pariwisata budaya dapat membantu memperbaiki taraf hidup orang asli Papua tanpa merusak lingkungan.
Kedua, pendidikan dan pelatihan. Peningkatan akses pendidikan berkualitas menjadi aspek penting dan strategis. Otsus Papua memberikan peluang untuk memperbaiki infrastruktur pendidikan dan meningkatkan kualitas guru serta materi kurikulum pengajaran yang sesuai dengan konteks lokal Papua. Hal ini penting untuk menciptakan generasi orang asli Papua yang lebih terdidik dan memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Kemudian, program beasiswa di mana pemerintah daerah perlu meningkatkan alokasi dana otsus untuk beasiswa orang asli Papua di semua jenjang pendidikan, baik di dalam maupun luar Papua, agar lebih banyak anak muda Papua dapat mengakses pendidikan tinggi. Selain itu, pelatihan keterampilan teknis dan vokasional.
Selain pendidikan formal, program pelatihan teknis dan keterampilan (seperti teknologi, perikanan, dan pariwisata) sangat penting untuk membantu orang asli Papua berpartisipasi dalam ekonomi lokal maupun nasional.
Ketiga, kesehatan dan kesejahteraan sosial. Akses pelayanan kesehatan harus merata. Dana otsus dapat dialokasikan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, terutama di daerah terpencil. Program pencegahan penyakit, penyediaan fasilitas kesehatan, dan pelatihan tenaga medis lokal perlu ditingkatkan.
Selain itu, gizi dan kesehatan ibu dan anak. Intervensi pada kesehatan ibu dan anak serta peningkatan gizi dapat membantu mengatasi masalah stunting dan kematian bayi yang masih menjadi tantangan di Papua. Program 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK), Program Sarapan Sehat Anak Sekolah (Sarasehans) dan Program Jaminan Sosial Hari Tua (Joshua) dapat didorong setiap tahun oleh pemerintah daerah dalam rangka membangun kualitas kemampuan sumber daya manusia dan kesehatan orang asli Papua.
Keempat, partisipasi politik dan pengambilan keputusan. Partisipasi politik dalam pengambilan keputusan ditempuh melalui upaya peningkatan representasi orang asli Papua di pemerintahan.
Dengan adanya otsus, penting untuk memastikan bahwa orang asli Papua memiliki suara yang signifikan dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Hal ini dapat melalui pemilihan pemimpin dari kalangan OAP atau peningkatan kuota bagi OAP di parlemen lokal.
Kemudian, perlu keterlibatan masyarakat dalam proyek-proyek pembangunan. Setiap proyek pembangunan yang dijalankan di Papua harus melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan dan pelaksanaan untuk memastikan manfaat yang dirasakan langsung oleh orang asli Papua.
Kelima, penghargaan terhadap kebudayaan dan identitas lokal melalui penguatan budaya dan bahasa lokal. Program otsus harus mendukung pelestarian budaya, bahasa, dan adat-istiadat orang asli Papua, sehingga identitas asli orang asli Papua tetap terjaga di tengah modernisasi dan globalisasi.
Kemudian, dukungan bagi komunitas adat. Sikap mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam merupakan kunci kesejahteraan, karena tanah adalah bagian penting dari identitas dan kehidupan orang asli Papua.
Keenam, pengelolaan dana otsus yang transparan melalui pengawasan dan akuntabilitas dana otsus. Dana otsus harus dikelola dengan transparan dan akuntabel. Penggunaan dana yang efektif dapat memastikan program-program yang dirancang untuk kesejahteraan orang asli Papua benar-benar terealisasi. Selain itu, masyarakat perlu dilibatkan dalam mengawasi penggunaan dana ini.
Ketujuh, pembangunan infrastruktur yang tepat sasaran. Pembangunan infrastruktur seperti jalan, listrik, air bersih, dan telekomunikasi yang terencana dengan baik dapat meningkatkan mobilitas masyarakat dan akses mereka terhadap layanan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, terkait infrastruktur sosial dan ekonomi di mana pembangunan fasilitas publik seperti pasar, pusat pelatihan, serta fasilitas olahraga dan budaya dapat mendukung kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.
Kedelapan, masalah keamanan dan konflik. Salah satu aspek penting yang menjadi perhatian yaitu memastikan kondisi keamanan di tanah Papua menjadi wilayah zona damai, sehingga pembangunan dapat berjalan dalam rasa aman bagi masyarakat orang asli Papua. Ketika ada jaminan keamanan yang kondusif tanpa ada gangguan, pembangunan infrastruktur dan sosial dalam kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan baik sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Dengan langkah-langkah ini, orang asli Papua dapat semakin mandiri dan sejahtera dalam pelaksanaan otonomi khusus. Semua pihak, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat lokal bekerja sama untuk memastikan kebijakan-kebijakan tersebut tepat sasaran dan berkelanjutan (sustainable).