DALAM sejarah panjang Papua, kekuatan fisik dan senjata sering dijadikan tolok ukur perjuangan dan perlawanan. Namun hari ini, di tengah derasnya arus globalisasi, dominasi kekuasaan, dan eksploitasi atas sumber daya alam serta manusia Papua, ada satu kekuatan yang sering diabaikan namun justru paling menentukan: kekuatan pikiran orang Papua.
Pikiran adalah medan pertama dan terakhir dari segala perjuangan. Ketika pikiran orang Papua terus diliputi ketakutan, inferioritas, dan keputusasaan, maka Papua akan terus berjalan di tempat. Namun, jika pikiran orang Papua mulai dipenuhi kesadaran, harga diri, visi masa depan, dan semangat perubahan, maka tak ada kekuatan apa pun yang mampu menghentikan kemajuan Papua.
Kita perlu menyadari bahwa segala perubahan besar dalam sejarah umat manusia selalu dimulai dari gagasan—bukan dari peluru atau kekerasan. Perubahan besar dimulai dari kesadaran kritis. Martin Luther King Jr., Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, hingga tokoh-tokoh perubahan di Papua sendiri seperti Arnold Ap dan Theys Eluay, memulainya dari sebuah visi dalam pikiran. Mereka menanamkan keyakinan bahwa masa depan tidak ditentukan oleh trauma masa lalu, tetapi oleh keberanian untuk berpikir dan bertindak berbeda hari ini.
Saat ini, Papua membutuhkan kebangkitan intelektual yang dimulai dari pikiran setiap orang Papua: petani, nelayan, pelajar, perempuan, pemimpin adat, hingga politisi. Pikiran yang jernih dan merdeka adalah pondasi utama untuk merancang masa depan Papua yang damai, bermartabat, dan berdaulat secara manusiawi.
Kita harus berhenti mengurung diri dalam narasi “kami selalu korban”. Pikiran seperti ini hanya akan memperpanjang luka dan memelihara ketidakberdayaan. Sudah saatnya orang Papua berpikir sebagai pencipta masa depan, bukan sekadar pewaris masa lalu. Kita harus berani bertanya: Papua seperti apa yang ingin saya tinggalkan untuk anak cucu saya? Dan bagaimana saya bisa mulai membangunnya dari sekarang?
Kekuatan pikiran juga berarti mengubah cara kita memandang pendidikan, teknologi, budaya, dan politik. Bukan lagi sebagai alat hegemoni orang luar, tetapi sebagai sarana pembebasan dan kemajuan. Dengan pikiran yang sehat, kita bisa berdamai dengan diri sendiri, mengampuni sejarah, dan bergerak maju dengan kepala tegak.
Papua tidak akan ditentukan oleh Jakarta, Amerika, Cina, atau siapa pun. Papua akan ditentukan oleh isi kepala orang Papua sendiri. Ketika isi kepala kita penuh dengan cinta, mimpi, strategi, dan semangat juang yang cerdas, maka Papua akan tumbuh dari luka menjadi cahaya.
Kita adalah apa yang kita pikirkan. Jika orang Papua berpikir Papua akan bangkit, maka Papua pasti akan bangkit. Bukan karena dunia mengizinkan, tetapi karena orang Papua menghendakinya. (Editor)