Oleh Dr (Cand) Ferdinant Pakage, MM
Ketua Lembaga Masyarakat Sejahtera Papua
DEWAN Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melalui Badan Legislasi DPR Selasa (5/4) menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) Baleg terkait harmonisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pemekaran provinsi baru di tanah Papua. Sebuah momentum maha penting yang diambil DPR selaku institusi resmi negara atas kebijakan politik pembangunan Papua melalui pemekaran.
Harmonisasi RUU yang dibahas itu terkait dengan RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan Tengah, dan Provinsi Papua Utara. Pembahasan tersebut juga sudah diketahui sebelumnya oleh masyarakat Papua. Yan Permenas Mandenas, anggota Baleg DPR sekaligus wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Papua saat melakukan reses di Papua, termasuk Wilayah Adat Meepago yang meliputi Kabupaten Paniai, Dogiyai dan Nabire, juga sudah diduga terkait urusan pemekaran.
Kehadiran Yan Permenas Mandenas di wilayah Meepagi disambut aksi demo masyarakat Papua. Mereka menolak rencana pemekaran propinsi saat itu. Gelombang penolakan atas rencana pemekaran disertai pernyataan tertulis kepada Mandenas, wakil rakyat terhormat asal Papua.
Gelombang penolakan atas rencana pemekaran propinsi baru di tanah Papua masih terus berlangsung hingga saat ini. Sepintas, hampir semua 29 kabupaten maupun kota di Propinsi Papua melakukan demonstrasi menolak rencana pemekaran. Terjadi pro-kontra antara aspirasi masyarakat versus langkah berani pemerintah terkait pemekaran. Gelombang penolakan atas rencana di tingkat akar rumput, grassroot masif beriringan dengan semangat pemerintah dan wakil rakyat di Senayan memaksakakan diri atas rencana itu.
Retoris
Aspirasi mayoritas tanah Papua menolak rencana pemekaran dan langkah pemerintah bersama DPR RI seolah berdiri di dua kutub berbeda dan berseberangan. Ibarat ujung dan pangkal. Sepintas, muncul pertanyaan retoris. Pertanyaan itu lebih diarahkan kepada pemerintah dan para wakil rakyat di gedung DPR RI khususnya utusan rakyat asal Papua ikwal urgensi pemekaran. Pertanyaan retoris itu bertolak atas klaim pemerintah pusat bahwa pemekaran sebagai medium pelayanan publik (public service).
Sedang di lain sisi, mayoritas masyarakat menolak rencana pemekaran. Pertanyaan lain segera lahir: pemekaran propinsi baru itu dari mana muasalnya? Apakah aspirasi murni masyarakat Papua atau sekadar kebijakan pemerintah Indonesia yang dipaksakan atas nama Undang-Undang Otsus jilid II? Apapun langkah pemerintah, satu hal yang perlu dipahami ialah negara menjamin kedaulatan yang digenggam rakyat.
Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan, pemekaran wilayah Papua menjadi tiga propinsi baru di Papua untuk pemerataan pembangunan. Penambahan provinsi di Indonesia bagian timur itu dimaksudkan untuk mempercepat pemerataan pembangunan dan melayani masyarakat Papua agar lebih baik. (Fajarpapua.com, 8/4).
Sedangkan Yan Permenas Mandenas mengatakan, aspek utama dari pemekaran daerah perlu dan harus mampu menjamin hak-hak orang asli Papua (OAP). Kata Mandenas, kekhawatiran-kekhawatiran terkait dengan pemekaran yang akan dilakukan, jangan sampai bukan untuk kesejahteraan orang asli Papua. Karena dengan jumlah penduduk Papua yang sangat minim saat ini juga sebagai ancaman apabila rencana pemekaran dilakukan.
Penjajahan
Dari dua statemen wakil rakyat di atas, ada beberapa catatan. Pertama, terkait kekhawatiran yang diutarakan Mandenas sesungguhnya masyarakat sudah dan sedang mengalami penjajahan di atas Papua, tanah leluhurnya. Dalam bacaan penulis, pemerintah Indonesia selama ini tidak serius membangun tanah Papua. Pemerintah pusat alpa memperdayakan masyarakat Papua.
Kedua, selama 72 tahun Indonesia merdeka masyarakat Papua dijadikan seperti binatang liar yang terus diburu aparat. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi di mana-mana. Rakyat Papua masih masih berduka di mana baru baru ini seorang anak sekolah dasar di Nduga meregang nyawa di ujung senjata aparat keamanan.
Selama 72 tahun bersama Indonesia, masyarakat Papua mengalami trauma berkepanjangan akibat didera berbagai kasus kasus pelanggaran HAM. Tak berlebihan pemekaran belum menjadi hal urgen di mata rakyat. Mayoritas masyarakat Papua menolak pemekaran propinsi baru atas nama pendekatan pelayanan publik maupun akselerasi pembangunan. RUU pemekaran bukanlah aspirasi murni rakyat Papua yang bermukim di honai di gunung maupun lembah.
Ketiga, pernyataan Puan Maharani bahwa pemekaran punya intensi untuk mempercepat pemerataan pembangunan di Papua dan melayani masyarakat agar lebih baik merupakan sesuatu yang utopis. Sebuah pernyataan simbolik seorang pejabat politik. Negara Indonesia yang usianya sudah menyentuh angka 72 tahun mestinya sudah memajukan masyarakat tanah Papua. Hingga kini, Papua masih jauh dari harapan.
Keempat, dari perspektif kebijakan publik mestinya Indonesia sudah tampil sebagai negara demokrasi yang menjujung tinggi kedaulatan rakyat terkait rencana pemekaran. Rakyat Papua yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam negara, rakyat yang menentukan kehendak negara dan rakyat pula menentukan di tingkat realitas kebutuhan. Dengan itu arah political will dari pemerintah ditujukan pada public interest, bukan vested interest.
Pemerintah adalah pemegang mandat rakyat untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan aspirasi rakyat. Pemerintah dituntut bersikap proaktif dalam mengenali masalah publik dan sedini mungkin melakukan antisipasi masalah yang berkembang di masyarakat. Melangkah jauh memekarkan Papua menjadi beberapa provinsi baru tanpa mendengar aspirasi murni masyarakat merupakan sebuah kekeliruan publik yang perlu dikoreksi. Saat ini mayoritas rakyat Papua tengah mengoreksi rencana pemekaran provinsi baru pemerintah pusat dan DPR RI.