JAKARTA, ODIYAIWUU.com – Analis politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia Boni Hargens mengemukakan, kisruh tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap 1.351 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berbuntut pemberhentian 51 dari total 75 pegawai yang gugur dalam tes tersebut masih berlanjut.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kata Boni, doktor bidang Kebijakan Publik dan Administrasi lulusan Universitas Walden, Minneapolis, Amerika Serikat, bahkan ikut nimbrung. Belakangan, Komnas HAM memanggil KPK untuk melakukan klarifikasi di kantor Komnas HAM Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta terkait TWK.
Mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua dalam wawancara dengan media Forum News Network (FNN) yang disiarkan kembali laman Youtube secara tendensius menuding Ketua KPK Firly Bahuri dan Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan sebagai pihak yang berada di balik skenario tes wawasan kebangsaan.
“Saya lihat, isu tes wawasan kebangsaan sudah dipolitisasi berlebihan. Masyarakat perlu mengetahui konteks besarnya. Dalam hampir dua dekade terakhir, sebetulnya kita sudah memasuki perang ideologi yang serius,” ujar Boni Hargens kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Jumat (11/6).
Menurut Boni, kebangkitan politik identitas dalam ranah publik, entah dalam pemilihan kepala daerah maupun dalam pemilu di tingkat nasional, tidak pernah terlepas dari meluasnya pengaruh paham Wahabisme, terutama aliran Takfiri, di Indonesia.
“Paham ini sejatinya memang tidak menerima konsep demokrasi dan ingin mendirikan Khilafah Islamiyah. Wahabi melihat demokrasi sebagai sistem yang haram, thogut. Aliran ini bahkan menghalalkan strategi kekerasan dalam perjuangan politik mereka,” lanjutnya.
Ia menyebutkan, sejumlah negara di Timur Tengah luluh lantak karena banyak anggota dan simpatisan kelompok ini berafiliasi dengan jaringan teroris internasional. Mesir bahkan sempat berantakan setelah Arab Spring bermula di Tunia tahun 2010 karena ulah kelompok ini.
Radikalisasi sudah menjalar dan sukses menancapkan akarnya dalam berbagai lapisan sosial masyarakat dan dalam beragam institusi negara di Indonesia. Ini ancaman nyata terhadap ketahanan ideologi Pancasila yang harus direspons oleh negara.
“Kita mendukung kerja KPK dalam pemberantasan korupsi karena memang kesejahteraan rakyat tak bisa diwujudkan kalau korupsi masih merajalela. Tetapi KPK juga perlu berjalan dalam koridor konstitusi supaya seluruh pegawai dan kinerjanya selaras dengan ideologi negara. Saya tidak menyinggung rumor tentang “kelompok Taliban” di tubuh KPK. Poin saya adalah bahwa TWK ini penting sebagai instrumen kebijakan dalam menjaga instasi negara dan semua lembaga publik bebas dari bahaya radikalisme,” katanya.
Menurut Boni, ke depan diharapkan semua birokrasi kementerian dan lembaga negara harus mengikuti tes yang sama. Artinya, bukan hanya untuk KPK. Sayangnya, isu tersebut kini menjadi bola liar dan unsur politisnya makin kental.
Komnas HAM sudah memasuki ranah abu-abu. Dugaan pelanggaran HAM dalam tes TWK itu secara implisit mau menuduh BKN, TNI, dan BIN sebagai pihak yang melakukan pelanggaran HAM karena soal-soal yang digunakan dalam TWK dibuat secara bersama oleh ketiga institusi tersebut.
“Saya cukup heran dengan motivasi Komnas HAM dalam isu yang sumir ini. Kenapa Komnas HAM tidak begitu cepat bersuara membela korban pelanggaran HAM di lokasi tambang dan di berbagai konteks di Tanah Air, tetapi dalam isu KPK ini reaksinya begitu cepat. Komnas HAM menari dalam tabuhan gendang yang orang lain. Saya khawatir komisi ini ikut bermain politik,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia meminta semua pihak kembali kepada aturan hukum yang ada. TWK ini tes biasa sebagai upaya melawan radikalisasi yang menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Justru tuduhan-tuduhan insinuatif yang lakukan Abdullah Hehamahua dan orang-orang lain yang berpendapat seperti itu menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.
“Politisasi terhadap isu TWK rentan memunculkan kegaduhan yang berdampak pada kepentingan umum. Tak perlu kita berspekulasi dan membuat tuduhan yang menyudutkan orang-orang tertentu. Isu KPK ini isu bersama. Kita semua harus terus mendukung kerja KPK yang profesional dan konstitusional. Korupsi harus dilawan sekeras-kerasnya, tetapi memakai KPK sebagai instrumen politik itu tidak dibenarkan oleh undang-undang,” kata Boni.
Menurtutnya, tidak semua pegawai yang gugur dalam tes itu dipecat. Sebagian justru mengikuti program pembinaan ideologi Pancasila. Itu artinya negara memiliki niat baik terhadap para pegawai yang ada. Ia malah mempertanyakan di mana letak pelanggaran HAM di dalamnya. Mengapa pula Abdullah Hehamahua mau menyeret isu ini ke pihak tertentu dan menyudutkan sosok tertentu. “Cara berpikir seperti itu amat tidak etis dan berpotensi menimbulkan kekacauan yang tak berguna,”kata Boni. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)