SALATIGA, ODIYAIWUU.com — Pengurus Pusat Pemuda Katolik Republik Indonesia melalui Gugus Tugas Papua, Rabu (12/7) melayangkan protes terhadap tindakan pengrusakan berupa penimbunan bakau (mangrove) seluas dua hektar dalam kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Teluk Youtefa di dekat Pantai Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Provinsi Papua.
”Bakal atau mangrove dalam Taman Wisata Alam Teluk Youtefa merupakan kawasan hutan konservasi. Kawasan itu dilindungi sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” ujar Ketua Gugus Tugas Pemuda Katolik Melkior Sitokdana kepada Odiyaiwuu.com dari Salatiga, Jawa Tengah, Kamis (13/7).
Menurut Sitokdana yang juga akademisi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Undang-Undang tersebut menjadi dasar perlindungan atas kawasan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Youtefa. Karena itu, ujarnya, tabu dan merupakan Tindakan ilegal bagi pihak manapun melakukan kegiatan dalam kawasan tersebut.
“Setiap orang atau korporasi apapun tidak boleh sewenang-wenang melakukan aktivitas atau kegiatan di dalam kawasan konservasi Teluk Youtefa karena area itu dilindungi undang-undang,” ujar Ketua Gugus Tugas Pengurus Pusat Pemuda Katolik Melkior Sitokdana kepada Odiyaiwuu.com dari Salatiga, Jawa Tengah, Kamis (13/7).
Dalam catatan Gugus Tugas Papua Pemuda Katolik, selama dua bulan belakangan terjadi perusakan hutan bakau seluas dua hektar di dalam taman wisata alam tersebut. Berbagai pihak terus melancarkan protes atas tindakan ilegal dan meminta pemerintah daerah serta aparat tegas menghentikan perusakan lagi agar kawasan konservasi tersebut tak masuk dalam jebakan maupun intaian bencana lingkungan lebih parah lagi.
Ketua Bidang Perempuan dan Anak Pengurus Pusat Penuda Katolik Alfonsa Jumkon Wayap menambahkan, kawasan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Youtefa merupakan area hutan lindung yang selalu dijaga keberadaan dan keberlanjutannya oleh nenek moyang masyarakat Enjros-Tobati dan kampung-kampung lain di sekitarnya secara turun-temurun dan masih diteruskan generasi berikutnya.
“Hutan mangrove itu dalam pemahaman masyarakat lokal adalah ibu bumi. Konsep berpikir ini sudah ada sejak nenek moyang warga Enjros-Tobati dan kampung-kampung lain di sekitarnya dan,” ujar Alfonsa kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Kamis (13/7).
Menurut Alfonsa, hutan mangrove yang merupakan kawasan konservasi di area Taman Wisata Alam Teluk Youtefa sejak dulu dijaga masyarakat dengan kearifan lokal, local wisdom. Karena itu, ujarnya, merusak hutan mangrove ibarat merusak paru-paru bumi.
“Hutan mangrove dan aneka jenis pohon dalam kawasan lindung ini secara sosial berpengaruh terhadap warga di sekitarnya. Upaya melindungi kawasan itu dari ancaman pengrusakan oleh pihak manapun, termasuk korporasi erat kaitan dengan menjaga ekosistem dan identitas masyarakat adat,” ujar Alfonsa, jurnalis perempuan asli Papua.
Alfonsa menyebut, tindakan ilegal berupa penimbunan dalam kawasan hutan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Yotefa pernah terjadi pada penghujung Mei 2023. Tindakan ilegal tersebut kemudian mendapat protes kalangan aktivis lingkungan hidup dan ibu-ibu dari komunitas Perempuan Adat Port Numbay.
“Tindakan ilegal berupa penimbunan hutan mangrove dalam kawasan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Youtefa terjadi lagi Selasa, 11 Juli lalu. Dalam waktu sekejap sekitar dua hektar hutan mangrove beralih fungsi menjadi onggokan batu karang. Kami minta instansi terkait dan aparat segera menghentikan aktivitas ilegal tersebut demi menjaga keberlanjutan, sustainability alam dan lingkungan kawasan itu,” kata Alfonsa.
Sedangkan Sitokdana merasa geram dengan tindakan oknum di internal Badan Pertanahan Nasional Kota Jayapura yang menerbitkan sertifikat untuk pihak tertentu melakukan aktivitas ilegal di area hutan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Youtefa.
”Saya menduga ada keterlibatan berbagai pihak terutama oknum dalam tubuh BPN Kota Jayapura menerbitkan sertifikat. Kami minta agar Polda Papua segera melakukan penyelidikan lebih lanjut hingga mengungkap siapa aktor di balik proses alih fungsi dan peruntukan lokasi hutan lindung mangrove dengan motif ekonomi pihak tertentu,” kata Sitokdana, akademisi asal Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan.
“Kami berharap pemerintah daerah dan semua pihak tegas untuk melindungi hutan mangrove yang ada di Jayapura. Apalagi hutan mangrove ini adalah salah satu sumber kehidupan masyarakat adat Port Numbay yang tinggal di sekitarnya. Hutan mangrove di dalam konservasi Taman Wisata Alam Teluk Youtefa merupakan satu-satunya di Jayapura, ibu kota Provinsi Papua,” kata Alfonsa. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)