YOGYAKARTA, ODIYAIWUU.com — Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) Anselmus D Atasoge, S.Fil, M.Th meraih gelar doktor Studi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Atasoge mengutip aksinews.id (4/11) berhasil mempertahankan disertasi berjudul Praksis Ritus Komunal Etnis Lamaholot Dalam Komunitas Katolik Dan Islam Di Flores Timur (Perspektif Dialog Antar Iman) dalam ujian terbuka doktor (S-3) di aula Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis (3/11) pukul 13.00-15.00 WIB.
Ansel menyebut, ada tiga hal utama yang menjadi fokus perhatian risetnya. Pertama, sejauh mana ritual agama leluhur di Lamaholot mengalami perubahan dalam perjumpaannya dengan agama Islam dan Katolik?
Kedua, modal kohesi sosial apakah yang dimiliki masyarakat Lamaholot dalam membangun dialog antaragama di Flores Timur? Ketiga, tantangan apa sajakah yang dihadapi dan negosiasi semacam apa yang dilakukan dalam interaksi dan dialog antara agama leluhur dengan agama Islam dan Katolik?
Kajian tersebut bertujuan menelusuri dan merekonstruksi sistem pengetahuan, nilai, dan simbol Lamaholot dalam narasi-narasi ritus-ritus Lamaholot dan dalam narasi-narasi agama Islam dan Katolik yang dapat dijadikan sebagai pintu masuk membangun dialog (antaragama-antariman) dalam rangka menciptakan kohesi sosial hidup beragama dalam keberagaman.
Menurut Ansel, Islam Lamaholot dan Katolik Lamaholot di Flores Timur merupakan hasil perjumpaan antara agama Islam dan agama Katolik dengan praksis keagamaan masyarakat budaya Lamaholot.
Di dalam perjumpaan tersebut, ujarnya, sistem pengetahuan, nilai, dan simbol yang terkandung di dalam ritus-ritus Lamaholot dan ajaran iman yang diyakini dan diajarkan oleh agama Islam dan Katolik saling meneguhkan dan menegaskan.
“Studi ini menemukan dua ranah sebagai pintu masuk untuk pengembangan model dialog antaragama dan dialog antariman. Pertama, ranah teologis. Konsep-konsep ketuhanan dalam ritual lokal Lamaholot dan dalam agama dunia (Islam dan Katolik) berjumpa dan saling menguatkan. Ia menjadi basis epistemologi dalam rangka dialog,” ujarnya.
Dua tekanan utama yakni pertama, sistem pengetahuan tentang ketuhanan dan sistem simbol dalam ritus-ritus komunal Lamaholot merupakan titik temu teologis dalam membangun dialog antaragama dan dialog antariman masyarakat Lamaholot.
Kemudian keyakinan akan ajaran agama dunia diperteguh oleh nilai-nilai agama leluhur dan dikontekstualisasikan dalam perjumpaan-perjumpaan sosial kemasyarakatan. Atau, keyakinan dasariah dalam agama leluhur menjadi tempat persemaian dan pertumbuhan pengetahuan dan nilai-nilai yang diajarkan agama-agama dunia.
Di sini, konsepsi Lamaholot dan ajaran agama-agama tersebut saling menegaskan meskipun keduanya hadir dalam ruang yang sama di waktu yang berbeda. Pada ranah praktis, sang doktor bertolak pada ranah teologis, dialog pada ranah praktis dihadirkan dalam bentuk ritus-ritus komunal.
Pertama, ritus dari semua ritus-ritus Lamaholot menjadi media untuk mentransmisikan nilai-nilai solidaritas kelamaholotan. Solidaritas mendapatkan penguatan maknanya bersamaan dengan terciptanya modal-modal sosial dalam jaringan-jaringan sosial yang terwujud dalam sikap saling percaya, kesadaran simpatetik dan kewajiban yang mengikat erat para warga lewo. Modal sosial dan sikap-sikap tersebut menjadi prasyarat terciptanya harmoni sosial.
Kedua, ritus untuk semua ritus mendorong semua warga lewo (kampung) untuk berjalan bersama untuk mencapai keselamatan bersama. Keselamatan di sini lebih berkaitan dengan keselamatan di dunia yang peneliti golongkan sebagai terciptanya relasi kohesif antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta dan manusia dengan ‘yang kudus’ dan para leluhur.
Pada akhirnya, ‘ritus untuk semua’ secara alamiah memproduksi moral sosial Lamaholot. Moral sosial Lamaholot terwujud dalam model-model relasi manusia Lamaholot di antaranya kewajiban untuk menjadi bagian dari keseluruhan dan kewajiban untuk menjadi atadiken demi keselamatan bersama.
Ansel mengatakan, kurang lebih 13 tahun ia mengikuti pendidikan untuk menjadi pastor. Namun, cita-citanya kandas sehingga ia tetap berkarya sebagai seorang awam dalam kehidupan menggereja.
“Ilmu-ilmu yang saya dapatkan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta membantu saya dalam memberikan perkuliahan di Flores di mana saya dipercayakan mengasuh mata kuliah Dialog Antaragama di Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka,” jelas Ansel.
Sidang promosi dipimpin Prof Dr H. Maragustam, MA sebagai ketua sidang didampingi sekretaris Ahmad Muttaqin, S.Ag, M.Ag, MA, Ph.D. Tampil sebagai penguji yakni Prof Dr Siswanto Masruri, MA (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus promotor).
Kemudian Dr Fatimah Husein, MA (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogya sekaligus Co-Promotor), Prof Dr Sekar Ayu Aryani, M.Ag (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogya), Prof Dr JB Banawiratma (Guru Besar Universitas Duta Wacana Kristen Yogya), Dr Ustadi Hamsah, S.Ag, M.Ag, (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogya), dan Dr Heru Prakosa (Penasehat Paus bidang Dialog Antaragama). Hadir juga Dr Iwan Djadijono, Dosen ISI Yogyakarta yang didaulat sebagai pendamping promovendus (calon doktor) Ansel Atasoge. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)