SALATIGA, ODIYAIWUU.com — Departeman Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik menyelenggarakan diskusi secara virtual bertema Film Papua Sebagai Media Advokasi dan Edukasi, Sabtu (15/4) mulai pukul 14.00-16.00 WIB.
Serial webinar tersebut menghadirkan dua narasumber masing-masing Pembina Papuan Voices Bernardus Koten dan Elisabeth Apyaka, sebagai film maker pertama dan tokoh muda asal Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan yang telah menghasilkan belasan film dokumenter tentang Papua.
Ketua Departemen Gugus Tugas Papua Pemuda Katolik Melkior NN Sitokdana, S.Kom, M.Eng saat membuka secara resmi diskusi mengatakan, film merupakan salah satu medium efektif untuk mengadvokasi dan edukasi persoalan hidup orang asli Papua.
“Film adalah medium efektif untuk mengadvokasi persoalan sosial, budaya, ekonomi, politik dan lingkungan di tanah Papua. Selain itu, film juga medium mengedukasi masyarakat tentang potensi alam, budaya, toleransi, keanekaragaman, potensi sumber daya manusia, dan sebagainya,” ujar Melkior melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com dari Salatiga, Jawa Tengah, Sabtu (15/4).
Bernardus Koten saat tampil memperkenalkan Papuan Voices, sebuah komunitas yang setia bekerja keras memproduksi berbagai film dokumenter tentang kisah keseharian masyarakat Papua. Tujuannya, publik mengetahui dan memahami tentang masyarakat Papua dengan heterogenitas suku, agama, budaya, dan kekayaan alam dengan aneka flora dan fauna melimpah ruah di atasnya.
“Papuan Voices lahir sebagai wadah bagi generasi muda Papua mengekspresikan potensi dirinya sekaligus mengangkat aneka ragam kekayaan alam dan budaya sesuai kaca-mata orang asli sendiri melalui film dokumenter,” ujar Bernard.
Bernard, pria asal Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Tmur, dalam kesempatan tersebut mengajak generasi muda Papua untuk bergabung bersama dalam Papuan Voice dalam membuat film documenter terkait kekayaan alam dan budaya asli Papua yang unik dan inspiratif untuk diketahui publik.
“Kami membuka ruang besar kepada siapapun, terutama generasi muda untuk bergabung bersama kami agar sama-sama belajar membuat film. Kita punya banyak masalah, maka kita sendiri yang harus ceritakan dan cari solusi Bersama,” lanjut Bernanrd.
Bernard mengatakan, sejak 2011 Papuan Voices hadir komunitas itu sudah sukses menghasilkan ratusan film dokumenter dari berbagai daerah di tanah Papua. Papuan Voices juga sukses menggelar Festival Film Papua yang merupakan agenda tahunan dan dilaksanakan di setiap kabupaten dan kota di tanah Papua.
“Pada Agustus 2023 Festival Film Papua akan kami gelar di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Selain itu, kami juga sudah menyiapkan sejumlah program dan kegiatan. Salah satunya yaitu pelatihan dan pendampingan pembuatan film dokumenter bagi generasi muda Papua di seluruh tanah Papua,” ujar Bernard lebih lanjut.
Sementara itu Elisabeth Apyaka dalam kesempatan tersebut menyampaikan testimoni, sharing pengalaman memproduksi sejumlah film dokumenter. Kecintaan pada dunia film yang mengantarnya menjadi film maker potensial tanah Air diakui bermula dari sekadar hoby sejak kecil.
“Saya menjadi film maker karena hoby sejak kecil. Bertolak dari hoby lalu menjadi profesi. Banyak persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi dan lingkungan di sekitar Papua yang perlu diadvokasi dan diedukasi kita sendiri sebagai orang asli Papua. Sejak 2012 hingga saat ini saya tekun dan setia memproduksi berbagai film dokumenter,” ujar Elisabeth.
Elisabeth mengaku mulai belajar membuat film setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Yayasan Kampung Halaman, Yogyakarta tahun 2012. Selanjutnya ia bergabung dengan Papuan Voices tahun 2017. Alhasil, hingga kini ia sudah menghasilkan 15 judul film dokumenter.
Pada 2022, film karynya Beda Cara Sama Rasa Elisabeth berhasil ditayangkan saat berlangsung Jogja Netpac Asian Film Festival (JAFF). Film itu mengisahkan budaya bakar batu Suku Murop, salah satu suku di Kabupaten Pegunungan Bintang. Film ini juga bakal tayang melalui Program Layar Tancap Akar Rumput yang digelar pada 28-30 Maret 2023 di Jayapura dan Sentani.
Diskusi dipandu Ketua Bidang Perempuan dan Anak Pemuda Katolik Alfonsa Jumkon Wayap. Diskusi tersebut dihadiri puluhan peserta kalangan muda Papua. Alfonsa juga mengapresiasi Elisabeth sebagai salah seorang sosok muda dan film maker perempuan Papua yang ikut mengharumkan nama Papua di ajang JAFF.
“Saya bangga dan mengapresiasi prestasi Elisabeth sebagai film maker putra asli Papua yang mengeksplorasi heterogenitas budaya dan alam Papua melalui film-film karyanya. Prestasi ini menunjukkan bahwa perempuan Papua juga bisa berkarya melalui film dokumenter untuk mengedukasi dan mengadvokasi berbagai persoalan di tanah Papua,” ujar Alfonsa. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)