Kapolri Beragama Protestan? Sah! - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Kapolri Beragama Protestan? Sah!

Loading

Oleh Yakobus Dumupa, S.IP, M.IP *)

KETIKA beberapa waktu lalu Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo, mengusulkan Komisaris Jendral Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) kepada DPR untuk mendapat pertimbangan dan persetujuan, sejumlah pihak justru mempersoalkannya. Dari berbagai hal yang dipersoalkan, yang paling menonjol adalah terkait agama yang dianut oleh Bapak Listyo – sebagaimana diketahui beliau beragama Protestan. Sedangkan pihak yang mempersoalkannya adalah beberapa orang yang beragama Islam dan beberapa organisasi Islam. Mereka menyatakan tidak setuju Bapak Listyo menjadi Kapolri karena beliau beragama Protestan dan sebaiknya yang menjadi Kapolri beragama Islam. Setidaknya ada dua alasan mereka. Pertama, mayoritas warga negara Indonesia beragama Islam. Kedua, dikhawatirkan Bapak Listyo menjadi musuh Islam.

Jujur saja, saya merasa heran dan jijik dengan sikap dan argumentasi yang ditunjukkan oleh sejumlah pihak yang menolak pencalonan Bapak Listyo dengan alasan agama. Yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah Indonesia adalah negara ber-Bhineka Tunggal Ika yang mengakui dan menghormati pluralisme atau negara agama Islam yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam? Apakah ini pemilihan Kapolri atau pemilihan pimpinan agama Islam? Apakah warga negara Indonesia selain yang beragama Islam dilarang menjadi Kapolri? Bukankah setiap warga negara Indonesia apapun agamanya mempunyai hak yang sama untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan?

Di negara ini banyak orang yang menjadi “pura-pura tidak paham” tata cara berbangsa, bernegara dan berpemerintahan ketika berhadapan dengan hal-hal yang menyangkut “kepentingan pragmatis”-nya. Apalagi kepura-puraan itu ditunjukkan oleh mereka yang telah berpendidikan, para pakar, para pemimpin, para agamawan, dan mereka yang selama ini selalu gemar mengampanyekan kebhinekaan. Agar virus kepura-puraan itu tidak menyebar luas, menjangkiti dan menyesatkan segenap warga negara, maka sebaiknya –sekaligus untuk membela keb-Bhineka Tunggal Ika-an Indonesia dan Komisaris Jendral Listyo Sigit Prabowo– beberapa hal berikut ini harus dipahami dan diimani bersama dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan di Indonesia.

Pertama, hak asasi dalam beragama. Setiap orang mempunyai hak untuk memeluk agama sesuai dengan hati nuraninya tanpa paksaan. Apapun agama yang dianut oleh siapapun harus dihargai, dihormati dan diakui. Tak seorang pun boleh mempersoalkan agama dan pilihan beragama orang lain. Bahkan pilihan untuk menganut “aliran kepercayaan” tertentu atau “tidak beragama” (atheis) sekalipun harus dihargai, digormati dan diakui. Hak dan kebebasan beragama di Indonesia secara jelas dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (konstitusi RI). Dan negara Indonesia mengakui keberadaan enam agama, yakni: Islam, Protestan, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu. Dan akhirnya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 pada tanggal 18 Oktober 2017, aliran kepercayaan pun diakui keberadaannya.

Bapak Listyo sebagai warga negara Indonesia mempunyai hak untuk memilih dan menganut agama tertentu sesuai dengan hati nuraninya tanpa paksaan. Beliau telah memilih dan menganut agama Protestan. Apa salahnya dengan pilihan beliau menganut agama Protestan? Beliau tidak bersalah. Yang bersalah adalah mereka yang mempersoalkan agamanya.

Kedua, segala warga negara bersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hal ini sebagaimana termuat dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1). Ini berarti bahwa tidak boleh ada diskriminasi bagi semua warga negara untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan dan mendapat perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Dan sebagai konsekuensi adanya “kesamaan kedudukan” itu, segala warga negara diminta untuk wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa kecualinya.

Dengan adanya ketentuan ini, maka tidak ada pengecualian orang berdasarkan wilayah, suku, ras, agama, dan kelompok untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Karena itu, sekalipun Bapak Listyo beragama Protestan, sebagai warga negara beliau mempunyai hak untuk dicalonkan dan menjadi Kapolri. Mereka yang beragama lain pun, sebagai warga negara berhak menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Misalnya, warga negara yang beragama Buddha berhak mejabat sebagai Panglima TNI, warga negara yang beragama Kong Hu Chu berhak menjabat sebagai Presiden, warga negara yang beragama Protestan berhak menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung, dan warga negara yang beragama Hindu berhak menjabat sebagai Menteri Agama.

Ketiga, Bhineka Tunggal Ika (pluralisme). KH Ma’ruf Amin (yang kini menjadi Wakil Presiden RI) dalam ceramahnya ketika Buka Puasa Bersama di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, pada tanggal 19 Juni 2017, pernah mengatakan, Indonesia bukan darul kufur, bukan negara kafir, bukan darul harb, bukan wilayah, bukan negara perang, tapi negara kesepakatan, antara  seluruh bangsa, antara seluruh agama (Tribunnews, 20 Juni 2017). Ma’ruf menegaskan kesepakatan bersama para pendiri negara Indonesia, yang telah bersepakat untuk mendirikan negara Indonesia yang “ber-Bhineka Tunggal Ika”. Hal ini didasari pada dua fakta. Pertama, bahwa wilayah yang kemudian menjadi Indonesia terdiri dari beraneka ragam wilayah, suku, ras, agama, dan kelompok. Kedua, kemerdekaan Indonesia diperjuangkan dan didirikan oleh para pejuang dan pendiri yang terdiri dari berbagai latar belakang suku, ras, agama, dan kelompok.

Tidaklah rasional jika warga negara yang beragam Islam merasa merekalah yang paling berjasa dalam mendirikan negara Indonesia. Tidaklah rasional pula jika agama Islam dianggap “agama negara” Indonesia sehingga dianak-emaskan dalam berbagai hal. Karena Indonesia adalah “negara kesepakatan” dimana berbagai keberagaman telah sepakat untuk bersatu (menjadi Indonesia), maka semua keberagaman mempunyai “hak yang sama” dalam hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Itulah esensi Bhineka Tunggal Ika. Itulah konsekuensi hidup ber-Bhineka Tunggal Ika. Dalam semangat ini, pencalonan dan terpilihnya Bapak Listyo sebagai Kapolri adalah keputusan yang tepat dari Presiden dan DPR – termasuk dalam rangka menghargai, menghormati, dan mengakui pluralisme Indonesia.

Keempat, minoritas bukan ancaman bagi mayoritas. Bukan rahasia lagi, sejumlah organisasi Islam selama ini selalu ngotot untuk mempertahankan “dominasi mayoritas” Islam terhadap kaum minoritas, sehingga merasa ketakutan jika kaum minoritas memegang kekuasaan dan menjelmah menjadi “tirani minoritas” yang menakutkan. Padahal dalam pengalaman dan kenyataan bernegara dan berpemerintahan di Indonesia, kaum minoritas secara agama tidak pernah mempunyai niat dan tindakan untuk menjadi “tirani” ketika memangku jabatan tertentu.

Beragama apapun orang yang menduduki jabatan sebagai Kapolri sudah wajib hukumnya agar segala tindakannya berdasarkan aturan perundang-undangan. Sehingga dicalonkan dan terpilihnya Bapak Listyo sebagai Kapolri tidak dalam rangka untuk menciptakan “tirani minoritas” (Protestan/Katolik) terhadap “dominasi mayoritas” Islam. Sehingga Bapak Listyo bukan menjadi ancaman bagi agama dan pemeluk agama Islam. Beliau juga tidak akan menjadi “nabi” untuk “meng-Kristen-kan” Indonesia atau institusi kepolisian. Sebagai pejabat negara, segala tindakan beliau tetap berdasarkan pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Jika suatu saat nanti yang dicalonkan dan terpilih sebagai Kapolri beragama Islam, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, atau bahkan penganut aliran kepercayaan tertentu, pedoman kerjanya adalah aturan perundang-undangan, sehingga jangan dicurigai dan dituduh akan menciptakan dan melestarikan “dominasi mayoritas” atau “tirani minoritas”. Berhentilah membangun dikotomi dan diskriminasi hanya untuk memenuhi kepentingan pragmatis yang menyesatkan.

Kelima, bukan pemilihan pimpinan keagamaan. Ketika pencalonan Bapak Listyo sebagai Kapolri dipersoalkan karena beliau beragama Protestan, pimpinan Pondok Pesantren Ora Aji Sleman Yogyakarta, Miftah Maulana Habiburrahman (Gu Miftah) menyindir mereka yang mempersoalkannya. “Eh bro ingat ya, Polri itu lembaga negara yang ngurus keamanan dan ketertiban masyarakat. Bukan lembaga dakwah.” (Pikiran Rakyat, 19 Januari 2021). Pernyataan ini memang benar, karena latar belakang agama bukan menjadi pertimbangan dan syarat menjadi Kapolri. Yang dipertimbangankan dalam pencalonan Kapolri paling tidak profesionalitas, kapasitas dan kapabilitas.

Para pihak yang mempersoalkan “agama” Bapak Listyo sebaiknya fokus untuk mengurus (lembaga) agama dan keimanannya sendiri. Mereka perlu menyadari bahwa yang mereka persoalkan sesungguhnya bukanlah urusan mereka, sehingga mereka tidak punya kapasitas apapun untuk memutuskan itu. Andaikan Bapak Listyo dicalonkan menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), itu barulah urusan mereka. Sebab Bapak Listyo yang beragama Protestan tidak mungkin dan tidak memenuhi syarat untuk menjadi Ketua MUI. Dan sebaliknya pula, tidak mungkin dan tidak memenuhi syarat jika orang yang beragama Islam dicalonkan dan menjadi Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Intinya, sebaiknya masing-masing tahu diri, tahu urusan, dan tahu kapasitas. Dalam hal ini, barangkali yang benar adalah lakum diinukum wa liya diin (bagimu agamamu, bagiku agamaku).

Sekalipun agamanya dipersoalkan, tetapi setelah mengikuti proses fit and proper test di DPR, DPR secara aklamasi menyetujui pengangkatan Bapak Listyo sebagai Kapolri menggantikan Jendral Idham Azis yang akan segera mamasuki masa pensiun. Ini kabar yang menggembirakan, sebab partai politik yang mempunyaui kursi di DPR dan para anggota DPR tidak terpengaruh dengan “nada-nada sumbang” yang membuat fals simponi ke-Bhineka Tunggal Ika-an Indonesia dalam pencalonan dan pengangkatan Kapolri kali ini. Para penyumbang suara fals tidak berhasil menghadang langkah Bapak Listyo menuju kursi Kapolri. Jualan “isu agama” tidak laku dalam pencalonan Kapolri ini.

Pencalonan Kapolri kali ini dan jualan “isu agama” haruslah menjadi pelajaran berharga bagi segenap warga negara Indonesia. Belajar dari “kesalahan” kali ini, kedepan sikap diskriminasi yang pada akhirnya melecehkan martabat manusia harus dihilangkan dan kita harus saling menghargai, menghormati, dan mengakui sebagai manusia apapun perbedaan kita. Cukup kali ini saja “keributan yang tidak masuk akal” ini terjadi. Cukup kali ini saja “agama dijual untuk kepentingan pragmatis”. Ke depan, dalam upaya menegakkan “Ke-Bhineka Tunggal Ika-an” Indonesia, barangkali nasehat Guru Bangsa dan Bapak Pluralisme Indonesia, Abdurrahman Wahid berikut ini menjadi salah satu pedomaan kita. Kata Gus Dur, jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca Al-Quran, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Al-Quran. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah.

Bagaimana Bapak Listyo menanggapi mereka yang menolak pencalonannya sebagai Kapolri karena beragama Protestan? Sederhana saja, sebagai pengikut Tuhan Yesus Bapak Listyo cukup mengingat dan mengamalkan Sabda-Nya: “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.” (Lukas 6:27-28).

Selamat Bapak Listyo Sigit Prabowo! Anda warga negara Indonesia! Anda berhak menjadi Kapolri!

*) Penulis adalah Bupati Dogiyai;
Pendiri dan Pembina Odiyaiwuu.com

Tinggalkan Komentar Anda :