MOWANEMANI, ODIYAIWUU.com — Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia Kabupaten Dogiyai menilai, sejak tahun 2021 masyarakat di seluruh wilayah tanah Papua dihadapkan dengan dua agenda pemerintah pusat yang terkesan dipaksakan.
Dua adenda dimaksud yakni perpanjangan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 2 tahun 2021 tentang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua alias UU Otsus Jilid II dan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di tanah Papua.
Kunjungan Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dr H. Ahmad Doli Kurnia Tandjung, S. Si, MT pertemuan dengan para elit Partai Golkar, Pemerintah Daerah bersama beberapa tokoh masyarakat baik di Kabupaten Jayawijaya maupun Kabupaten Nabire beberapa hari lalu, salah satu agenda adalah menjaring aspirasi terkait pembentukan DOB di tanah Papua.
“Padahal dua kebijakan ini seharusnya didahului pertemuan bersama warga masyarakat guna menjaring aspirasi mengingat mereka adalah subjek pembangunan. Muara dua kebijakan itu yakni pemerintah ingin memastikan warga masyarakat sejahtera. Kenyataannya, dua agenda penting itu tanpa menyerap aspirasi warga tetapi hanya melibatkan para bupati, walikota, dan elit politik yang bukan reprentasi rakyat Papua,” ujar Ketua Dewan DPD KNPI Kabupaten Dogiyai Bernardo Boma kepada Odiyaiwuu.com dari Mowanemani, kota Kabupaten Dogiyai, Papua, Rabu (9/3).
Bernardo menilai, pembentukan DOB provinsi di tanah Papua menyalahi prosedur karena tidak sesuai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 khususnya Pasal 32-33 tentang kriteria DOB. Namun, kata Bernardo, yang berlaku adalah Peraturan Pemerintah Nomor 106 tahun 2021 Pasal 93 ayat 4 tentang pemekaran yang seutuhnya diatur oleh pusat tanpa melihat kriteria DOB.
“Jumlah penduduk Papua masih minim, tak layak dimekarkan menjadi sebuah provinsi sesuai kriteria DOB dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007. Saya tegaskan bahwa membangun masyarakat adalah kewajiban pemerintah dan masyarakat mendapatkan haknya. Tujuan pemekaran DOB ialah pemerintah ingin mensejahterakan masyarakat tetapi masyarakat sebagai subjek pembangunan itu menolak. Artinya, embentukan DOB untuk apa dipaksakan dan apa kepentingan di balik itu,” lanjut Bernardo retoris.
Pihaknya menolak anggapan bila pembentukan DOB bertolak dari alas an untuk menyerap pengangguran. Banyak jabatan birokrasi, aparatur sipil negara (ASN) dan honorer di lingkup pemerintah daerah diisi orang-orang non Papua. Tidak ada orang asli Papua pergi menjadi ASN di luar Papua bahkan honorer pun tidak sehingga orang asli Papua menjadi penganggur di daerah sendiri. Karena itu, ia mempertanyakan bila para pegawai di lingkup pemerintah daerah diisi lebih oleh orang non Papua setelah pembentukan sebuah DOB, itu kesalahan bupati atau walikota.
Bila para bupati, walikota dan pemerintahan pusat memaksakan diri mendorong pembentukan DOB di tanah Papua sembari mengabaikan aspirasi masyarakat pihaknya menyarankan sebaiknya dilakukan referendum guna melihat sikap pro-kontra. Hasil referendum tentu diterima semua pihak.
“Saya mewakili pemuda Meepago menyampaikan kepada para bupati wilayah Meepago bahwa bapak-bapak dipilih untuk membangun masyarakat di kabupaten masing-masing. Pembentukan DOB provinsi di tanah Papua belum tentu menjawab semua persoalan. Sebaiknya bangun kabupaten yang ada dengan baik karena bukan seperti membalikkan telapak tangan. Sudah 70 tahun Indonesia merdeka tetapi kesejahteraan masyarakat masih jadi masalah. Pembangunan itu proses yang berkelanjutan, tidak berhenti di satu generasi,” tandas Bernardo.
Kebijakan otonomi khusus dan pembentukan DOB dengan gelontoran dana jumbo bukan solusi bagi Papua. Provinsi paling timur itu masih berkutat dengan akar persoalan utama sebagaimana disebutkan Lembaga Ilmu Pengetahian Indonesia. Empat akar masalah itu adalah pertama, kegagalan pembangunan. Kedua, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua. Ketiga, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Keempat, sejarah dan status politik wilayah Papua.
“Empat akar persoalan itu sudah diperjuangkan oleh Jaringan Damai Papua bersama imam diosesan Keuskupan Jayapura Dr Neles Kebadabi Tebai, Pr bersama rekan-rekannya. Pemerintah pusat harus membuka ruang dialog Papua-Jakarta untuk menyelesaikan empat akar masalah ini agar di masa akan datang pembangunan dilakukan tidak menimbulkan masalah baru antara Jakarta dan Papua,” katanya.
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung yang juga Pelaksana Harian (Plh) Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi Papua saat bertemu para kader Golkar di Wamena, kota Kabupaten Jayawijaya, Minggu (6/3) mengaku, kehadirannya di Jayawijaya juga untuk mendengar aspirasi seluruh masyarakat bahwa tanah Papua harus diperjuangkan pembangunan dengan memperpanjang otonomi khusus.
“Kami di Komisi II bertekad untuk memperjuangkan dan siap menerima aspirasi masyarakat terkait pemekaran Pegunungan Tengah Papua menjadi sebuah provinsi baru. Kami sudah mulai membahas Pembentukan UU pemekaran provinsi dan kabupaten. Pembahasan tahap pertama akan selesai pada Mei atau Juni,” kata Ahmad Doli Kurnia seperti dilansir Odiyaiwuu,com, Senin (7/3). (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)