Oleh Dr Joseph Laba Sinuor, M. Hum
Dosen Filsafat Liberal Arts Universitas Pelita Harapan Jakarta
ISU pelanggaran dan penegakan hak asasi manusia (HAM) di Papua terus marak. Pelanggaran demi pelanggaran terjadi seolah Papua memang diciptakan sebagai tempat dengan penghuni tanpa hak azasi. Berbagai pendekatan baik operasi militer maupun yang lebih besifat kemanusiaan telah dilakukan oleh pemda, pemerintah pusat, para pemangku adat, organisasi-organisasi keagamaan, para pegiat HAM, bahkan aparat keamanan. Hasilnya? Sebagian masyarakat Papua masih bertanya, kapankah HAM bisa ditegakkan di tanah Papua?
Alih-alih mencari jawaban, suara-suara sumbang justru mengemuka. Masyarakat susah diatur, Pemda tak peduli, aparat bertindak sewenang-wenang, dan pemerintah pusat bertindak bak penjajah. Tak ayal presiden jadi sasaran bidik. “Jokowi tak punya hati…..”, demikian pernyataan salah seorang putra Papua (2019) yang kini berdomisili di negeri seberang. Apakah memang demikian?
Bukan untuk menuduh, bukan pula menjustifikasi suara sumbang, tulisan ini sekadar menelisik hakikat dan pelanggaran HAM dari sikap presiden ketika beberapa kali berkunjung ke tanah Papua. Dari interaksi spontan dengan sejumlah rakyat akan jelas terbaca hakikat serta cara penegakan HAM di Papua menurut sang presiden.
Cum tacet, clamant
Itu kata-kata bijak Romawi kuno yang gema-gaungnya masih terbaca dalam sosok-sosok populis saat ini. Kata-kata itu berarti ‘dengan berdiam diri, orang justru lebih banyak berbicara’. Hal itu persis dihidupkan Jokowi dalam keseharian hidupnya sebagai orang nomor satu RI. Beliau diam tidak berarti mengafirmasi segala bentuk pelanggaran HAM di Papua.
Beliau diam juga tidak identik dengan meng-iya-kan segala kesewenangan aparat terhadap rakyat Papua. Diam dalam konteks ini identik dengan menciptakan jarak yang pas agar terhindar dari keputusan-keputusan tergabas yang berujung kebijakan-kebijakan gegabah. Jokowi paham betul hal itu. Dalam diamnya beliau membuka diri dan memberi ruang di hatinya untuk seluruh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Papua.
Servant-first
Memberi ruang dalam hati untuk orang lain selalu mengarah kepada tindakan konkret agar tidak dikata mengkhayal. Fakta menunjukan bahwa beliau merupakan satu-satunya presiden RI yang tidak hanya sekali melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Papua. Apa yang beliau lakukan dalam kunker-kunker tersebut? Begitu turun dari pesawat beliau tidak meminta untuk diantar langsung menuju kantor kepala daerah, tidak juga ke hotel tempat menginap.
Beliau dengan cara dan maunya sendiri ingin memberi ruang jumpa dengan rakyat yang selalu spesial di hatinya. Dengan cara seperti itu ia menorehkan pesan penting perihal kesejatian sebuah kunker ke daerah. Kondisi rakyat yang aktual tentu yang berasal dari mulut ibu-ibu yang jualan di pinggir jalan, petani di kebun jagung atau anak-anak di halaman, bukan yang tertera apik dalam lembaran kertas laporan. Untuk itu, interaksi dengan ibu-ibu, para petani dan anak-anak dijalaninya.
Lebih dari itu, jangan lupa beliau adalah presiden RI. Sebagai kepala negara beliau hendak memberi pesan kepada rakyatnya bahwa sejatinya beliau adalah seorang servant-leader. Kepemimpinan bukan ‘takhta’ atau kekuasaan, melainkan kemauan tulus dari hati untuk turun, berada bersama rakyat dan melayani mereka sebagaimana dikonsepsikan Greenleaf dalam karya terpopuler abad ke-19 (1977).
Di dalam reksa melayani ‘dia’ akan dikenal sebagai pemimpin, bukan penguasa, sebab kebesaran seorang pemimpin justru berasal dari ketulusan hati untuk turun, berada bersama rakyat dan melayani melalui tindakan-tindakan nyata sebagaimana dipesankannya kepada salah seorang staf khusus asal Papua, “… pemimpin yang baik adalah pemimpin yang melayani, dan melayani itu harus pakai rasa…” (16/11/21). Bagaimana dengan HAM di Papua?
Bukan ikan, tetapi kail
Apa reaksi anda seandainya seorang anak SD menyapa dari kejauan, “pace, pace woi mari dolo, mari dolo?” Marah? Bisa dan itu beralasan karena pada tataran budaya dikategorikan sebagai perilaku tidak sopan. Padahal panggilan persis itu pernah dialami oleh Jokowi di kota Sorong dalam kunker (12/10/21). Apakah beliau marah?
Alih-alih marah beliau justru memberi tanda kepada pemilik suara agar menempuh arah aman menuju dirinya karena tanah becek, berawa, dan dalam menurut bisikan Bupati Sorong. Apa yang terjadi setelah itu pada si anak? Pelukan sayang seorang pace dialami, T-shir penutup raga diterima dan jendela dunia (buku), pembuka wawasan sekaligus pengasah akal dimiliki. Itulah kail kehidupan dalam budaya masyarakat Tionghoa klasik.
Kearifan lokal memang penting, namun begitu sekat-sekat antar budaya dan bangsa tercabut karena kecangihan teknologi informasi kita perlu memperkaya budaya sendiri agar tidak ketinggalan kereta perubahan. Itulah alasannya mengapa bukan ikan, melainkan kail pemerkaya hidup yang diberikan. Dalam konteks seperti itulah sikap Jokowi terhadap HAM dan penegakkannya di Indonesia, khususnya di tanah Papua semestinya dimaknai.
Jokowi dan HAM
Dari interaksinya dengan masyarakat dalam beberapa kali kunker Jokowi telah menorehkan pesan bermakna tentang HAM dan penegakannya. Mengapresiasi HAM sebagai entitas yang menyatu dengan kodrat manusia, beliau sangat memerhatikan anak-anak, ibu-ibu yang jualan di pinggir jalan, ibu yang mendorong anak untuk menemuinya, para petani jagung, bahkan biarawati yang ingin berjabat tangan dengannya.
Pesannya jelas! Hidup manusia merupakan pemberian sang Khalik. Konsekuensinya, harus dirawat agar bertumbuh dan menjadi berkualitas. Itu ditunjukannya ketika menggendong dua orang anak Agats ketika berinteraksi dengan mereka (12/04/18).
Dalam perjalanan menuju Jayapura (10/21), beliau turun dari mobil, mengunjungi ibu-ibu yang berjualan noken. Beliau bukan menawar harga noken tetapi menata kembali letak noken agar menarik para pembeli, membeli dengan harga melebihi harga jual dan berpesan, “Aturlah jualanmu dengan desain dan warna yang paling menarik di pajangan depan”.
Interaksi dengan anak-anak, remaja dan para petani jagung di Sorong juga mengandung pesan serupa. Naluri alami untuk menahan anak yang didorong ibunya agar bertemu dan berfoto kemudian mendapat buku dan kaos, remaja yang diberi jaket yang sedang dipakai atau membeli dan makan jagung bakar para petani menunjukan bahwa bagi beliau Pasal 1, 2, 3, 5, dan 6 Deklarasi HAM harus di-habitus-kan dalam hidup. Penegakan HAM semestinya tidak berhenti dengan wacana, melainkan diterjemahkan dalam aksi nyata.
Apa yang bisa dipelajari?
Banyak hal bisa dipelajari dari interaksi Jokowi dengan masyarakat Papua. Penegakan HAM ada prosedurnya. Ketundukan kepada ketentuan hukum merupakan conditio sine qua non. Kaidah emas “Jangan lakukan apa yang kamu sendiri tidak ingin orang lain melakukannya kepadamu” (Konfusius), merupakan cara jitu mencegah pelanggaran HAM di Papua.
Selanjutnya, beliau juga piawai membahasakan falsafah ‘tempat’. Orang yang tahu tempat pasti juga tahu diri. Pengetahuan akan tempat dan kesadaran diri akan menuntun orang tersebut untuk membawa diri dengan benar baik dalam tutur maupun dalam laku. Dengan cara seperti itu HAM akan menjadi perayaan hidup bersama, bukan keluhan.