JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Amnesty International Indonesia angkat bicara terkait dua insiden kekerasan bersenjata yang merenggut nyawa warga sipil di tanah Papua.
Dua insiden dimaksud yaitu pembunuhan terhadap perempuan aktivis Papua Michelle Kurisi Doga dan kasus perampokan disertai kekerasan di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan.
“Kami mengecam pembunuhan terhadap Michelle Kurisi. Kami mendesak pihak berwajib untuk mencari pelaku pembunuhan dan mengusut seluruh kekerasan yang terus bermunculan di tanah Papua,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Jumat (1/9).
Usman, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menambahkan desakan kepada pihak berwajib juga termasuk kasus perampokan dengan kekerasan di Pegunungan Bintang. Desakan tersebut penting mengingat korban terus berjatuhan dari semua lapisan masyarakat serta mengoyak kedamaian dan rasa kemanusiaan di Papua.
“Rantai kekerasan ini harus dihentikan. Tindakan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia yang terjadi selama dua pekan terakhir ini tidak bisa dibenarkan atas alasan apa pun. Itu mencabut hak fundamental manusia untuk hidup,” kata Usman, pegiat HAM jebolan The Australian National University.
Usman juga mengingatkan, setiap orang berhak hidup dan merasa aman. Penembakan dan segala bentuk kekerasan tak hanya mengancam nyawa, tetapi juga menimbulkan rasa takut dan trauma di masyarakat secara keseluruhan.
“Kami mendesak semua pihak terutama yang berkonflik untuk segera menghentikan kekerasan di tanah Papua. Kami menyerukan aparat penegak hukum mengusut tuntas insiden-insiden ini dan menangkap para pelakunya. Tanggung jawab hukum harus ditegakkan secara adil dan transparan terhadap siapa pun yang terlibat kekerasan,” tegas Usman.
Desakan tersebut lahir menyusul informasi yang diterima Amnesty International Indonesia yang menyebut sejumlah orang melakukan pembunuhan terhadap Michelle Kurisi di Kimbim, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (28/8). Michelle dihabisi karena diduga melakukan aktivitas yang mencurigakan.
Dalam tayangan video yang diterima Amnesty, korban yang berbaju hitam dan dalam keadaan terduduk tengah memberi penjelasan sambil menyebut kata-kata ‘the spirit of Papua… Di sana Kakak Samuel…mereka dibina oleh…’. Tayangan penjelasan tersebut terpotong dan berlanjut dengan tayangan korban yang sudah jatuh telentang di atas tanah dan terluka parah.
Polda Papua menyatakan, berdasarkan informasi yang diterima, pembunuhan itu terjadi setelah korban diinterogasi mengenai tujuannya dalam perjalanan menuju ke Kwijawagi, di mana dia (korban) bermaksud mengumpulkan data tentang pengungsi warga Nduga. Namun kepolisian mengaku masih melakukan pendalaman dan investigasi lebih lanjut guna memverifikasi kebenaran informasi tersebut.
Sehari sebelumnya, pada Minggu (27/8) pukul 13.30 WIT, telah terjadi dugaan perampokan dengan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang terhadap para penambang di Kampung Kawe, lokasi Minning 63 Dokter (PETI) Kabupaten Pegunungan Bintang, sehingga menyebabkan dua orang penambang meninggal dan lima penambang lainnya mengalami luka berat.
Dua korban yang tewas berinisial LK (33) dan JU (41). Sedangkan penambang yang luka-luka bernama OB (45), JM (49), JFB (21), ALS (29), dan RS (56). Dari 2018 hingga 2022, Amnesty International mencatat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI-Polri, petugas lapas, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil.
Dalam periode waktu yang sama, jumlah korban yang meninggal dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan di luar hukum, 9 anggota Polri dari 8 kasus, dan 23 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dari 17 kasus.
Amnesty International Indonesia tidak mengambil posisi politik apa pun terkait status wilayah Papua. Namun, mengecam tindak kekerasan berlebihan yang dilakukan pihak-pihak yang terlibat konflik.
Dalam hukum HAM internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.
Sedangkan dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup.
Selain itu Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai penafsir otoritatif ICCPR, juga menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM secepatnya, secara mendalam dan efektif melalui badan-badan independen dan imparsial, harus menjamin terlaksananya pengadilan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi para korban.
Ketidakmampuan pemerintah untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM, mengidentifikasi, mengadili, menghukum para pelanggarnya, serta ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan kompensasi bagi para korban atau keluarganya merupakan bentuk pelanggaran HAM tersendiri. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)