Papua, Surga Kecil Dalam Intaian Bencana Ekologis - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Papua, Surga Kecil Dalam Intaian Bencana Ekologis

Albertus Keiya, intelektual Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Albertus Keiya

Intelektual Papua

MASYARAKAT dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia atau World Environment Day tanggal 5 Juni setiap tahun. Tanggal tersebut ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1972. Tahun ini masyarakat Indonesia juga merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. 

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup mengajak masyarakat dan seluruh elemen ambil bagian dalam gerakan nasional bertema Apel Bersama dan Aksi Bersih Sampah Plastik. Gerakan nasional ini sejalan dengan tema global Ending Plastic Pollution atau Hentikan Polusi Plastik, 

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tingkat nasional dihiasi oleh berbagai pidato penuh optimisme, kampanye penanaman pohon, dan janji-janji muluk tentang keberlanjutan lingkungan. Namun, bagaimana dengan kelestarian alam dan lingkungan hidup, hutan, dan sumber daya alam (SDA) lainnya di tanah Papua? 

Momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia adalah saat di mana tengah terjadi ratapan sunyi atas luka-luka ekologis yang terus menganga lebar di sekujur tubuh tanah Papua. Ini adalah hari di mana tanah, hutan, laut, dan gunung menangis dalam diam. Sementara suara para penjaga alam tersisih oleh hiruk-pikuk kepentingan ekonomi dan kekuasaan.

Papua bukanlah tahan kosong atau lahan tak bertuan. Bukan pula ruang tak berpenghuni yang bisa dengan mudah disulap menjadi komoditas global demi menafkahi masyarakat nasional maupun global. Bumi Cendrawasih adalah tanah suci, rumah bagi ribuan komunitas adat dan penopang keanekaragaman hayati dunia. Ironisnya, di saat merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tingkat nasional, tanah yang semestinya dilindungi justru terus digerus dan dieksploitasi atas nama pembangunan dan investasi.

Paradoks pembangunan

Apa yang disebut sebagai “pembangunan” telah lama menjadi paradoks bagi Papua. Di balik narasi kemajuan dan kesejahteraan, realitas alam dan sumber daya yang tersimpan di dalamnya kian bermuram durja oleh aktivitas penggusuran, pencemaran, dan kehilangan hak atas tanah adat. 

Industrialisasi yang dipaksakan tanpa partisipasi aktif masyarakat lokal bukan hanya gagal memenuhi hak-hak dasar rakyat Papua. Lebih dari itu, mengukuhkan kolonialisme dalam rupa wajah baru: ekonomi ekstraktif yang rakus dan destruktif. Bahkan tanah Papua malah terus mendepak wajah alam dan kekayaan di perut bumi berada dalam intaian bencana ekologis. 

Salah satu bentuk paling nyata dari eksploitasi ini adalah industri pertambangan dan perkebunan kelapa sawit yang kian masif. Kawasan yang dulunya lebat dengan hutan hujan tropis kini berubah rupa menjadi petak-petak tanah tandus. Petak-petak tandus itu dipenuhi alat berat dengan tumpukan limbah, tailing akibat aktivitas korporasi nasional dan global. Hutan yang adalah supermarket alami masyarakat adat Papua diganti oleh lahan-lahan monokultur yang miskin upaya pelestariannya.

Tambang Freeport

Di wilayah Mimika, kehadiran PT Freeport Indonesia, perusahaan pertambangan yang berafiliasi dengan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc yang berbasis di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, telah menjadi simbol kompleks dari pembangunan yang timpang dan eksploitatif. 

Sejak beroperasi selama puluhan tahun, pertambangan emas dan tembaga ini telah menghasilkan keuntungan miliaran dolar, namun meninggalkan jejak kehancuran ekologis yang mengerikan. Sungai-sungai besar seperti Aikwa dan Otomona, tercemar berat limbah tailing tambang yang mengalir dari lereng gunung Nemangkawi saban waktu. 

Ekosistem perairan rusak, endapan tailing mengubur lahan-lahan produktif, dan flora serta fauna asli menghilang dari habitatnya. Penduduk lokal, khususnya masyarakat Kamoro dan Amungme, mengalami dampak langsung berupa hilangnya mata pencaharian, degradasi kesehatan hingga tergerusnya identitas budaya. Di balik kilauan emas Freeport, tersimpan kisah pilu tanah yang tidak lagi berdaya menyembuhkan dirinya sendiri.

Sedangkan ekspansi perkebunan kelapa sawit di tanah Papua bukan sekadar proyek ekonomi, melainkan alat hegemonik untuk menguasai ruang hidup masyarakat adat. Ratusan ribu hektare hutan adat telah dikonversi menjadi kebun sawit dengan dalih investasi, padahal masyarakat lokal kerap tidak mendapat informasi, konsultasi, apalagi persetujuan yang bebas dan di awal.

Data berikut memberikan gambaran tentang estimasi luas lahan yang telah dijadikan area perkebunan kelapa sawit di beberapa kabupaten utama. Misalnya, Kabupaten Mimika seluas 14.768 hektar (ha), Merauke 78.964 ha, dan Nabire 9.903 ha. Dari angka-angka ini, jelas terlihat bahwa Merauke menjadi episentrum penguasaan lahan skala besar untuk perkebunan sawit. 

Tanah-tanah adat yang selama berabad-abad dikelola secara berkelanjutan, kini dipaksa menjadi kawasan produksi komoditas global dengan dampak ekologis yang sangat serius: deforestasi masif, penurunan keanekaragaman hayati, degradasi tanah, dan konflik agraria.

Sedangkan Raja Ampat merupakan keindahan alam yang tengah digadaikan. Padahal, Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah ikon spiritual dan ekologis, wilayah laut yang menyimpan lebih dari 75 persen spesies karang dunia dan ribuan jenis ikan. 

Namun, keindahan itu saat ini berada di ujung tanduk. Beberapa laporan investigatif telah mengungkap adanya rencana dan aktivitas industri di area yang berdekatan dengan kawasan konservasi Raja Ampat, termasuk pembangunan infrastruktur dan eksplorasi sumber daya alam.

Ketika keindahan surgawi seperti Raja Ampat saja tidak luput dari bidikan investor, apa lagi yang tersisa untuk dilindungi? Ironisnya, sebagian proyek-proyek ini bahkan dibungkus dalam nama ekowisata. Padahal, praktiknya justru merusak sistem penyangga lingkungan. Jalan-jalan dibuka, kawasan mangrove ditebangi, terumbu karang terganggu oleh aktivitas kapal-kapal besar. Hal ini adalah bentuk lain dari penghancuran atas nama estetika dan pemasaran destinasi wisata.

Sikap apatis penguasa?

Pertanyaan besar yang patut diajukan adalah di mana suara para pengambil keputusan negeri ini? Ketika tanah-tanah adat dirampas, hutan digerogoti tanpa ampun, laut dicemari, dan budaya dimusnahkan, apakah mereka tidak tahu atau sengaja memilih diam karena ikut menikmati?

Dalam banyak kasus, regulasi justru digunakan sebagai alat untuk melegitimasi perampasan ruang hidup, bukan melindunginya. Perizinan diterbitkan dengan proses yang cacat secara etika dan prosedural. Partisipasi masyarakat adat seringkali bersifat simbolis, bahkan diabaikan sama sekali.Diam bukan lagi netral. Dalam konteks Papua, diam adalah bentuk persetujuan terselubung terhadap penjajahan lingkungan.

Apa yang terjadi hari ini adalah penjajahan ekologis, di mana tanah, air, udara, dan budaya dijadikan komoditas. Di saat bersamaan lokal direduksi menjadi penonton. Wajah penjajahan memang berganti dari militerisme ke korporatisme, dari senjata ke proposal investasi namun watak dasarnya tetap: menguasai, mengeksploitasi, lalu meninggalkan kehancuran.

Mereka menyebutnya pembangunan berkelanjutan atau sustainable development tapi bagi masyarakat itu hanya nama lain dari penghancuran yang tertata rapi. Sebagai bagian dari masyarakat adat Papua yang terus-menerus menyaksikan kehancuran tanah warisan leluhur, penulis ingin menegaskan bahwa warga bukan menolak pembangunan, tetapi menolak pembangunan yang membunuh. 

Warga mendambakan kemajuan, tetapi bukan dengan harga memusnahkan akar kehidupannya mereka sendiri. Ketika hutan lenyap, laut rusak, dan gunung ditambang habis, maka yang musnah bukan hanya tanah, tetapi identitas dan masa depan sebuah bangsa.

Papua telah memberi terlalu banyak kepada negeri ini: emas, nikel, kayu, sawit, dan keindahan. Tapi kini, kami hanya ingin satu hal: hentikan penghancuran ini. Masih ada ruang untuk menyelamatkan. Masih ada komunitas adat yang bertahan menjaga hutan. Masih ada sungai yang mengalir jernih. Masih ada karang yang hidup di dasar laut.

Selamatkan jiwa dari yang tersisa ini sebelum semuanya tinggal cerita dalam museum penderitaan ekologis. Jika tanah Papua yang adalah paru-paru terakhir Indonesia timur sudah kehilangan kemampuannya untuk hidup, Indonesia pun telah kehilangan nuraninya sendiri. 

Karena itu, tak ada pilihan selain mencegah tanah Papua dari intaian bencana ekologis. Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tingkat Nasional Tahun 2025. Menyelamatkan lingkungan adalah juga menyelamatkan ibu bumi, tanah yang kaya susu dan madu.

Tinggalkan Komentar Anda :