Freeport Indonesia dan Keluh Masyarakat Adat di Kaki Nemangkawi

Freeport Indonesia dan Keluh Masyarakat Adat di Kaki Nemangkawi

Buku Menggugat Freeport: Suatu Jalan Penyelesaian Konflik karya Markus Haluk. Foto: Istimewa

Loading

Judul Buku        : Menggugat Freeport: Suatu Jalan Penyelesaian Konflik
Penulis               : Markus Haluk
Penerbit             : Deiyai & Honai Center Jayapura
Editor                 : Basil Triharyanto
Desain Sampul  : Rully Susanto
Layout               : Dadang Kusmana
Terbit                : Oktober 2014
Tebal                 : xx + 125 hlm
ISBN                  : 978-602-17071-5-9
Harga                : –

DELAPAN tahun lalu, tepatnya 2014, Markus Haluk menulis buku menarik. Judulnya, Menggugat Freeport Suatu Jalan Penyelesaian Konflik. Markus adalah intelektual Papua yang concern dengan kajian atas isu-isu hak-hak asasi manusia (HAM) dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di PT Freeport Indonesia. Freeport Indonesia adalah raksasa tambang dunia yang beroperasi di lereng Nemangkawi, gunung keramat dalam keyakinan masyarakat Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainnya yang tinggal di kaki hingga lekuk gunung itu.

Nemangkawi dan potensi yang terkandung di dalam perutnya ibarat ibu yang memberi makan dan minum anak-anaknya. Ia ibarat susu dan madu. Apa kata Mama Yosefa Alomang Magal, tokoh masyarakat dan pemilik Nemangkawi? “Gunung Nemangkawi itu saya. Danau Wanagon itu saya punya sum-sum. Laut itu saya punya kaki. Tanah di tengah ini tubuh saya. Kou (Anda) sudah makan saya. Mana bagian dari saya yang kou belum makan dan hancurkan? Kou sebagai pemerintah harus lihat dan sadar bahwa kou sedang makan saya. Coba kou hargai tanah dan tubuh saya.”

Tak berlebihan di bagian awal pengantar buku itu, Hans Magal, perwakilan pemilik hak ulayat Nemangkawi seperti Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainnya buang suara. Hans menguraikan sekilas tentang posisi Nemangkawi dalam keyakinan dan peradaban masyarakat lokal. Seturut tradisi dan peradaban suku Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainnya, Nemangkawi adalah simbol hidup sakral suku-suku di atas tanah itu.

Ia (Nemangkawi) membentuk identitas, harga diri, roh dan inspirasi hidup marga-marga Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainnya selaku pemilik sekaligus penghuni lereng Nemangkawi. Gunung keramat itu menjadi sumber inspirasi, ilmu pengetahuan sekaligus pembentuk manusia Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainnya sejati turun temurun.

Orang Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainnya tidak diwariskan nilai dan norma adat untuk mengucilkan, memanipulasi bahkan mengecilkan orang atau marga lain dalam kepemilikan hak hidup, termasuk hak atas kepemilikan tapal batas wilayah hidupnya. Prinsip hidup tersebut diwariskan dari generasi ke generasi hingga saat ini.

Kendati arus dan budaya luar yang masuk di wilayah hidup orang Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainnya namun budaya baru tersebut serta merta dapat tak mempan menghapus nilai dan norma yang sudah ada turun temurun warisan leluhur.

Sayang, seiring perjalanan waktu, mulai nampak terjadi pengkotak-kotakan, pengelompokan wilayah hidup atas hak ulayat Nemangkawi. Keretakan internal antar marga di sekitar Nemangkawi lahir. Hal ini bermula dari bergesernya nilai dan norma baru akibat kepentingan sesaat yang berkelindan.

Freeport Indonesia sedang menambang tembaga yang mempunyai deposit ketiga terbesar di dunia. Sedangkan emas menempati urutan pertama dan diduga di lokasi yang sama juga terdapat deposit uranium sebagai bahan energi nuklir, yang harganya tentu berkali-kali lipat lebih mahal dari pada tembaga dan emas.

Pertanyaan retoris

Pertanyaannya apa yang didapatkan oleh pemilik ulayat selama ini? Kajian Imparsial menemukan bahwa persoalan pertambangan tembaga oleh Freeport Indonesia menuai masalah terkait perampasan tanah ulayat milik suku Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainnya di area pertambangan.

Hal itu ditambah lagi keberadaan aparat keamanan yang ikut mengawasi lokasi area pertambangan Freeport Indonesia yang merupakan salah satu korporasi plat merah strategis. Akibatnya, suku Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainnya meninggalkan tanah leluhurnya di gunung yang dikuasai korporasi. Mereka lalu bergeser ke Aria, Waa, Tsonga dan Norma menyusul tindakan pengamanan ekstra ketat yang dilakukan petugas sekuriti Freeport Indonesia.

Markus Haluk di bagian awal buku ini mengambarkan kekayaan alam Papua mengundang perhatian orang-orang di belahan benua Eropa. Tahun 1760-an eksploitasi dilakukan, meski sebatas temuan-temuan benda-benda aneh dan langka.

Jauh sebelumnya pada 1623, Jan Cartensz berlayar di sepanjang pesisir tenggara kepulauan Papua. Jan Cartensz menjadi orang pertama yang melihat puncak gunung tertinggi yang ditutupi salju bernama Cartensz. Gunung salju itu kemudian ia abadikan untuk nama gunung itu: Nemangkawi, seturut kata bahasa Amungkal.

Pada tahun 1936, sebuah tim ekspedisi melakukan perjalanan ke pegunungan Cartensz. Tim itu terdiri dari Anton Hendrik Colijin, Frigat Julius Wissel, dan Jean Jacques Dozy. Ketiga orang tersebut mendaki dan berhasil mencapai puncak Cartenz. Ekspedisi ini dikenal dengan nama ekspedisi Colijin, yang kemudian menjadi catatan penting bagi ekspedisi kelompok lainnya yang mengeksplorasi sumber kekayaan bumi Papua.

Pada tahun 1967, sesudah Forbes Wilson menemukan kandungan emas di Nemangkawi atau beberapa waktu setelah Suharto dilantik sebagai Presiden pada 7 April 1967, eksploitasi dimulai. Suharto memberikan lisensi ke perusahaan tambang Amerika Serikat, Freeport Sulplur (Freeport McMoRan) untuk menambang di pegunungan Hertzberg di Kabupaten Fakfak, Irian Barat. Kini lokasi itu sebagian besar masuk area konsesi Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika.

Masuknya Freeport Sulphur ke Papua didukung dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang disahkan pada 10 Januari 1967. UU Penanaman Modal Asing tersebut di atas didesain sejak awal dengan melibatkan pihak asing dalam perumusan, penyusunan, dan memperbaiki bab demi bab hingga proses pengesahan UU tersebut.

Hal itu diketahui perusahaan konsultan Amerika, Van Sickle Asociates, yang berkantor pusat di Denver, membantu para pejabat Orde Baru menyusun materi UU Penanaman Modal Asing (PMA) sejak 1966. Freeport dan investor asing memandang Soekarno yang anti kapitalis dan antikolonialis sebagai batu sandungan besar untuk mengeruk kekayaan di Irian Barat. Jatuhnya Soekarno sebagai momentum yang ditunggu-tunggu.

Sesudah Soekarno dipaksa menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto pada 12 Maret 1967, satu bulan kemudian UU PMA disahkan dan pada 7 April 1967 Pemerintah Republik Indonesia menandatangani Kontrak Karya Pertama ((KK I), lebih awal dua tahun dari Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Hal ini ada kaitannya dengan lobi-lobi Elsworkth Bunker yang mengusulkan New York Agreement 1962 dan Time Agreement 1969.

Pada bab kedua, Markus Haluk menggambarkan tragedi kemanusiaan di area Freeport Indonesia. Ia juga memberikan gambaran bahwa setiap usaha atau bisnis terkait keselamatan kerja adalah faktor yang amat vital. Keberadaan PT Freeport Indonesia lalai dalam beberapa kejadian keselamatan karyawan. Sedangkan di bagian ketiga diulas tentang dana satu persen. Freeport Indonesia mengucurkan dana satu persen untuk suku Amungme dan Komoro serta lima suku lainnya di areal tambang di Mimika.

Merujuk sejarahnya, dana satu persen lahir dari perjuangan orang-orang Amungme, Komoro, dan suku-suku kerabat lainnya yang melakukan perlawanan terhadap perusahaan. Namun dalam dalam perjalanannya, dana satu persen ini menjadi sumber konflik panjang. Sejak beroperasi hingga 1996, barulah terjawab dana satu persen. Belum prosentase pembagian dana tersebut. Selain itu, hal lainnya adalah penerimaan tenaga kerja yang dialami masyarakat pemilik ulayat.

Markus juga menyotori kontrak karya (KK) yang mengorbankan kepentingan masyarakat pemilik ulayat seperti. Misalnya, negosiasi pemerintah pusat dengan Freeport, kontribusi Freeport bagi Indonesia atau negosiasi Gubernur Lukas Enembe dengan Freeport. Di bab lima diulas perlawanan rakyat Papua terhadap Freeport. Perlawanan itu muncul akibat penandatanganan KK I antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport tanpa sedikitpun persetujuan dengan masyarakat Amungme dan Komoro sebagai pemilik hak atas tanah, hutan, gunung dan air. Mereka menjadi terganggu.

Pada tahun 1967 Freeport dan kontraktornya, Bachel Pemeroy, di bawah pimpinan Jhon Curry tanpa meminta persetujuan warga, masuk lembah Waa dan Banti. Melihat aksi Freeport sejumlah penduduk di bawah pimpinan Tuarek Natkime melakukan protes. Pasalnya, Freeport bersama kontraktornya menggusur tanaman rakyat dan mulai membangun helipad dan base-camp di lembah itu.

Masyarakat Amungme dengan sadar memprotes orang asing di wilayahnya tanpa ijin. Wilayah Peyukate yang hendak dieksplorasi berdekatan dengan Yelsegel dan Ongopsegel, kawasan keramat suku Amungme yang tinggal di lembah Waa dan Banti. Perlawanan rakyat dimulai sejak itu dan Freeport terus menindas dengan kekuatan aparat. Akibatnya, kekerasan demi kekerasan terus terjadi di areal tambang hingga saat ini. Warga melakukan perlawanan, termasuk menggugat Freeport Indonesia di New Orleans AS.

Buku ini bisa mendorong perundingan lebih lanjut untuk menyelesaikan konflik tanah ulayat Amungme, Komoro, dan suku-suku kerabat lainnya terhadap Freeport Indonesia. Saatnya masyarakat pemilik ulayat bersatu berjuang memperoleh pengakuan hak masyarakat lokal atas Freeport Indonesia di lereng Nemangkawi. Perjuangan itu penting agar keluh kesa masyarakat atas hak-hak yang belum dipenuhi perusahaan dijawab dan tidak lagi merepotkan masyakat suku-suku asli di lereng Nemangkawi yang berjuang keras meraih keadilan di tanah leluhurnya.

Penulis, Andreas Gobay
Intelektual muda Papua

Tinggalkan Komentar Anda :