JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — PT Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan pertambangan yang berafiliasi dengan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc yang berbasis di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, menandatangani Kontrak Karya pertama (KK-1) pada 7 April 1967 untuk memulai eksplorasi tambang di lereng Gunung Nemangkawi, (kini) Provinsi Papua Tengah.
KK-1 ditandatangani Menteri Pertambangan Republik Indonesia Slamet Bratanata dan berlaku untuk masa 30 tahun. Penandatanganan KK-1 berlangsung di tengah kondisi Papua yang masih berada dalam status quo di bawah perwakilan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berdasarkan Perjanjian New York atau New York Agreement tahun 1962.
Penandatangan KK-1 sepihak Pemerintah Republik Indonesia dengan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, menjadi awal raksasa tambang dunia itu melebarkan sayap usahanya di atas tanah ulayat masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro hingga menyentuh usia 58 tahun pada 7 April 2025.
“Anehnya, penandatangan KK-1 sepihak itu mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat adat Papua khususnya Amungme dan Kamoro sebagai pemilik sumber daya alam. Hak-hak masyarakat adat kedua suku diabaikan dan praktik itu terjadi pula sejak KK-2 tahun 1991 dan KK-3 tahun 2017,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay, SH, MH kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Senin (7/4).
Selain itu, dalam kasus yang sudah lama terjadi pemerintah pusat dan daerah serta Komnas HAM RI tidak mampu mendesak PTFI memenuhi hak 8.300 buruh mogok kerja PTFI dan hak asasi masyarakat adat Papua sesuai perintah Pasal 2 Perpres Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Bisnis dan HAM serta Standar Norma dan Pengaturan Nomor 13 Tahun 2023 tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
“Sekalipun Pemerintah Indonesia telah mengubah kontrak karya dengan PTFI sebanyak tiga kali dan sudah mendapatkan saham sebesar 51 persen PTFI dan BUMN masuk ke dalam manajemen PTFI serta membangun smelter di Gresik tahun 2025, sampai saat ini PTFI mengabaikan nasib ribuan buruhnya yang mogok Kerja sejak 1 Mei 2017 hingga 2025. Manajemen PTFI secara sepihak mencabut asuransi dan gaji pokok buruh sejak 1 Juli 2017 hingga April 2025,” ujar Emanuel, kuasa hukum para buruh.
Buntutnya, kata Emanuel, ekonomi keluarga 8.300 buruh PTFI hancur, anak-anak buruh terancam bahkan putus sekolah, buruh yang sakit tidak dibiayai bahkan ada yang meninggal akibat tidak mampu membayar biaya perawatan rumah sakit akibat asuransi atau BPJS Kesehatan diputus sepihak manajemen PTFI sejak 1 Juli 2017 hingga saat ini.
Emanuel menjelaskan, secara prinsip agenda mogok kerja 8.300 buruh PTFI beserta dampaknya sudah diketahui Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua dan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Mimika. Pasalnya, sebelum mogok kerja buruh sudah melayangkan surat permohonan mogok kerja ke dinas terkait sesuai ketentuan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Anehnya, hasil penyelidikan Inspektorat Provinsi Papua menemukan fakta bahwa ada beberapa petinggi Dinas Ketenagakerjaan Papua dan Dinas Ketenagakerjaan Mimika menerima gratifikasi dari PTFI,” ujar Emanuel, pengacara putra asli Papua.
Emanuel menegaskan, fakta di atas membuktikan bahwa sekalipun PTFI merupakan perusahaan asing pertama yang beroperasi di Indonesia pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, namun selama 58 tahun beroperasi di Indonesia malah mengabaikan nasib ribuan buruh yang mogok kerja.
“Ribuan buruh PTFI yang mogok kerja sejak 1 Mei 2017 hingga 7 April 2025 akan terus mogok jika pemerintah Indonesia dan PTFI mengabaikannya. Kondisi itu secara langsung menunjukan bukti bahwa ketentuan bisnis dan HAM diabaikan atau tidak dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah serta PTFI,” ujar Emanuel lebih lanjut.
Ketentuan bisnis dan HAM, kata Emanuel, kewajiban kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah untuk melindungi HAM pada kegiatan usaha. Kemudian, tanggung jawab pelaku usaha untuk menghormati HAM serta akses atas pemulihan bagi korban dugaan pelanggaran HAM di kegiatan usaha sebagaimana diatur pada Pasal 2 Perpres Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Bisnis dan HAM tidak dijalankan pemerintah pusat dan daerah serta PTFI.
Anehnya, saat berlangsung acara peresmian smelter milik PTFI di Gresik, Senin (17/3) lalu, Presiden Prabowo Subianto malah berterima kasih kepada Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc yang dinilai eksis beroperasi di Indonesia selama 58 tahun. Raksasa tambang emas dunia dari negeri adidaya itu dinilai berkontribusi secara besar terhadap perekonomian Indonesia. Karena itu, Prabowo ingin korporasi dunia itu terus bercokol di perut gunung Nemangkawi.
“Terima kasih kepada Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc yang sudah lama di Indonesia, sudah dari sejak tahun 1967 sampai sekarang. Berapa tahun itu? hampir 60 tahun… 58 tahun,” kata Prabowo di Gresik, Jawa Timur, Senin (17/3).
Menurut Emanuel, ucapan terima kasih Presiden Prabowo atas sukses PTFI mengeksploitasi SDA tanah Papua selama 58 tahun, persoalan ribuah buruh yang mogok dan persoalan HAM mencuat di saat PTFI belum menunaikan tanggung jawab kepada masyarakat adat tanah Papua.
Misalnya, ujar Emanuel, minimnya tanggung jawab sosial PTFI di bidang kesehatan dengan menyediakan dan membangun rumah sakit bertaraf internasional, fasilitas dan tenaga medis hingga nihilnya pembangunan sekolah mulai dari PAUD hingga sekolah lanjutan tingkat atas bahkan universitas di wilayah adat Papua yang dibiayai PTFI.
“Sampai saat ini PTFI belum melakukan sharing keuntungan, bagi hasil secara berimbang dengan pemilik wilayah adat. Masih banyak warga masyarakat adat Amungme dan Kamoro hidup di bantaran sungai. Muara sungai Ajikwa yang merupakan lumbung pangan masyarakat adat musnah akibat limbah tailing PTFI yang dibuang sejak tahun 1967 hingga 2025,” ujar Emanuel.
Emanuel menegaskan, berbagai fakta di atas menunjukan bukti bahwa Pemerintah Indonesia lebih melindungi PTFI dibanding hak masyarakat adat Papua selalu pemilik sumber daya alam, termasuk 8.300 buruh yang melakukan mogok kerja. Selama 58 tahun PTFI mengeksploitasi SDA Papua seijin pemerintah Indonesia malah tidak menghargai hak masyarakat dan hak buruh.
“Selama 58 tahun pemerintah pusat dan daerah serta Komnas HAM RI tidak mampu mendesak PTFI memenuhi hak asasi manusia dari 8.300 buruh dan hak masyarakat adat Papua sesuai perintah Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Bisnis dan HAM serta Standar Norma dan Pengaturan Nomor 13 Tahun 2023 tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia,” ujar Emanuel.
Menurut Emanuel, ada sejumlah persoalan serius yang perlu mendapat atensi Presiden dan berbagai pihak berkepentingan. Pertama, Presiden Prabowo didesak segera menyelesaikan persoalan antara manajemen PTFI dengan 8.300 buruh sekaligus mendesak perusahaan tambang raksasa itu memenuhi hak-hak masyarakat adat Papua sesuai perintah Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023.
Kedua, Menteri HAM Republik Indonesia segera memastikan penyelesaian persoalan antara manajemen PTFI dengan 8.300 buruh dan mendesak perusahaan itu memenuhi hak masyarakat adat Papua sesuai perintah Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023.
Ketiga, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia segera memfasilitasi ruang perundingan antara manajemen PTFI dengan 8.300 buruh yang mogok kerja sesuai perintah Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023.
Keempat, manajemen PTFI segera membayar upah dan memberikan pekerjaan kepada 8.300 buruh yang mogok dan mendesak perusahaan itu memenuhi hak-hak masyarakat adat Papua sesuai perintah Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023.
Kelima, Ketua Komnas HAM Republik Indonesia segera memastikan penyelesaian persoalan manajemen PTFI dengan 8.300 buruh dan mendesak perusahaan itu memenuhi hak-hak masyarakat adat Papua sesuai perintah Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Bisnis dan HAM serta Standar Norma dan Pengaturan Nomor 13 Tahun 2023 tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)