Judul : Tanah Warisan Leluhur (Kumpulan Cerpen Kemanusiaan)
Penulis : Fanny J Poyk
Perancang sampul: Tim Artistik KKK
Penata letak : Tim Artistik KKK
ISBN : 978 623 6465 24 4
Penerbit : Penerbit Kosa Kata Kita & Gerson Poyk Foundation Jakarta
E-mail : kosakatakita2017@gmail.com
WA : 0818-0739-8541
Cetakan 1 : Oktober 2021
Tebal : viii + 306 hlm
FANNY Jonathans alias Fanny Poyk adalah nama yang lengket dengan Herson Gubertus Gerson Poyk alias Gerson Poyk. Fanny tak lain putri Gerson Poyk, sosok dengan aneka label: guru, wartawan, pengarang, dan sastrawan.
Jagat kesusasteraan Indonesia bahkan dunia tentu mencatat baik nama Be’a (sapaan akrab Gerson Poyk) tatkala masih kecil nun di Namodale, Baa, Rote Ndao (Ronda). Pun di Alor, ujung timur Pulau Lembata bahkan saat mengakrabi Flores mengikuti Yohannes Laurens Poyk, sang ayah yang berprofesi sebagai guru di Manggarai, ujung barat Flores, nusa bunga.
Kekuatan imajinasi Fanny dan Gerson tak terpaut jauh. Seolah menegaskan frasa klasik: buah jatuh tak jauh dari pohon. Sastra dalam aneka ragam bentuk entah puisi maupun prosa sama-sama dijejaki bapak-anak ini. Imajinasi keduanya, menukik ke dalam. Gerson dan Fanny sama-sama memiliki insting tajam kalau menghasilkan karya-karya sastra seperti puisi, cerpen, novel, dan lain-lain.
Kadang liar lalu menyandera pembacanya mengakrabi setiap karya. Melihat sisi lain kehidupan manusia dalam ragam rupa dalam imajinasi. Jam terbang Gerson tentu lebih tinggi dibanding sang putri. Namun, keduanya sama-sama dalam kepiawaian yang sama. Menelusuri setiap lekuk kehidupan sosial (dalam realita pun imajinasi) lalu menyodorkan kepada pembaca. Diksi pun mudah dicerna bila terangkai dalam kalimat lalu melebar ke tiap paragraf. Asyik bila dibaca, tentunya.
Dalam buku kumpulan cerita pendek (antologi): Tanah Warisan Leluhur, Fanny Poyk (sekali lagi) mengakrabi setiap sudut atau sisi lain kehidupan orang-orang kecil yang bertaruh peluh tak sekadar demi perut namun kelangsungan masa depan pendidikan anak-anak. Pun kadang memelototi gaya hidup orang-orang high class tak hanya di bawah kolong langit di tanah Air namun juga menukik hingga ke sudut belahan dunia. Bahkan menyasar orang-orang kecil di tengah kebun atau hutan.
Namun, sekali lagi gaya berinteraksi bertolak dari menonton, membaca lalu berefleksi tentang orang-orang (baca: tokoh) lalu mewujud dalam karya sastra. Sekali lagi, imajinasi Fanny kuat di sana. Maka, bila diajukan pertanyaan kepada Fanny: “apakah pernah mengakrabi Basagoka?” tentu jawabannya tak pernah. Data ia peroleh dari cerita lepas lalu imajinasi lahir dalam rupa karya sastra (baca: cerpen).
Ia (Basagoka) bermula dari kisah-kisah yang menyeruak dari diskusi lepas namun ngepas jadi sebuah cerpen dalam kumpulan cerpen (antologi) bersampul putih ini. Kisah Basagoka singgah dalam kepala Fanny lalu melahirkan cerpen Tanah Warisan Leluhur yang langsung “dibaptis” Fanny sebagai judul antologi karyanya ini.
Padahal Basagoka bisa saja terpaut puluhan ribu kilometer dari Depok, Jawa Barat, lokus domisili Fanny, sang penulis. Pun Namodale, Baa, Rote Ndao di beranda negeri yang berhadapan muka dengan Australia. Basagoka terletak tak jauh dusun Boto, arah barat Desa Labalimut menuju Loang, kota Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, NTT.Kisah Basagoka menguras rasa ingin tahu Fanny, ‘tuan tanah’ bunga lalu mewujud Tanah Warisan Leluhur, cerpen yang dijadikan judul antologi ini.
Basagoka menguras kembali memori kolektif tentang Monika Dana Kapitan, perempuan asal Belabaja yang takluk cintanya pada pemuda Ola Rotok. Tentang Monika, sang juruselamat kelahiran saya di tengah balutan hutan perawan. Kisah tentang sebilah pisau milik Anton Laba Palang menempel di perut lalu tali plasenta putus untuk menghirup udara bebas.
Fanny juga seolah mengakrabi Bakunase dalam sosok Mince lewat: Mince, Perempuan dari Bakunase, salah satu cerpen yang menghuni halaman 82-87 antologi ini. Kisah Bakunase lalu menyedot memori kolektif saya. Bakunase, sepertinya bakugepe (berhimpitan) dalam ruang memori setelah lama saya tinggalkan.
Bakunase dan Labat adalah kisah tentang sebuah perjuangan penuh tantangan awal tahun 1990. Di Labat, saya bisa mandi di kali Labat. Mandi bermodal kolor, kadang pula plontos malam hari bermodal sabun mandi Giv atau Jari Dua usai pulang dari kampus di Kelapa Lima, bibir pantai sekitar Hotel Aston.
Mandi sepuasnya pagi buta agar tubuh segar selama berjalan kaki hingga kaki menyentuh terminal Oepura lalu tak lama baku dempet dalam bemo menuju Walikota dengan tarif, harga Rp. 100 sekali jalan. Kebijakan Walikota SK Lerik, ayah Endang S. Lerrich, teman angkatan saya di Undana memudahkan pelajar dan mahasiswa agar kantong saku celana sehat walafiat kala itu, sebelum akhirnya berubah jadi Rp. 150 per orang per pelajar atau mahasiswa sekali jalan.
Tanah Warisan Leluhur juga menyodorkan kisah Afhak dan kekasih yang dipacari lewat media sosial. Minggu 15 Agustus 2021, surat lelaki 27 tahun itu tiba di tangan kekasihnya, perempuan Indonesia. Afhak memacari sang kekasih masih dalam hitungan dua tahun.
Si perempuan, versi Fanny, bertemu pria pujaan itu saat kekasihnya menjadi pemandu wisata di Afganistan. “Sebenarnya, berwisata ke negeri itu (Afganistan) adalah pilihan riskan. Namun, teman lamaku yang memiliki agen wisata perjalanan menjanjikan kalau aku akan aman bisa berwisata dengan biro perjalanannya. Dan memang benar, aku kembali ke Indonesia dengan tidak kekurangan sesuatu apapun,” kata si perempuan, kekasih Afhak versi Fanny.
Fanny memiliki imajinasi liar luar biasa dalam meneropong aneka peristiwa setiap lekuk dan jejak keseharian dan realitas manusia. Gaya Fanny mengingatkan saya saat masih tapaleuk, taputar menjadi loper koran sejak Kelompok Kompas Gramedia (KKG) lewat Persda menerbitkan Pos Kupang, anak usaha media di Kupang tahun 1992.
Seruling Tulang, sebuah novel, cerita bersambung (cerbung) di harian Surya terbitan Surabaya, Jawa Timur. Imajinasi Gerson seolah menembus batas dengan kisah dalam cerita bersambung (cerbung) Surya yang kadang saya nikmati di sela-sela menunaikan profesi tambahan demi menjaga stabilitas asap dapur mengantisipasi wesel dari Boto yang tak tentu awal, tengah dan akhir bulan. Dan kemampuan Gerson saya temui juga dalam gaya utak atik cerpen sang putri, Fanny, perempuan asal Namodale, Rote Ndao, yang lahir di Bima, Sumbawa pada 18 November 1960.
Beberapa waktu lalu, saya mengontak Fanny agar Tanah Warisan Leluhur saya koleksi juga. Sastra juga kesukaan saya sejak sekolah di SDK Boto, almamater saya. Sekolah swasta Katolik di bawah asuhan Keuskupan Larantuka (dulu) itu juga beririsan lokasi dengan Basagoka, kebun dan tanah ulayat pasutri Ola Watan Rotok-Monika Dana Kapitan.
Ola Watan ini seorang pemangku ulayat suku Lamarotok selain Lefketoj di Dusun Boto, Desa Labalimut. Tak butuh waktu lama. Fanny menjanjikan segera mengirim dua eksemplar Tanah Warisan Leluhur. “Satu eksemplar untuk adik suster biarawati Katolik di Sukabumi, Jawa Barat. Senang juga adik suster ini sempat membaca Tanah Warisan Leluhur di harian Kompas edisi Minggu,” kata Fanny.
Tanah Warisan Leluhur akhirnya tiba juga di tangan. Tukang ojek online segera berada di depan pagar lalu menelpon. Ia takut lolongan Pororo, anjing mai yang baru beranak lima ekor. Ke gerbang, saya terima paket antologi Fanny. Sebanyak 41 cerpen Fanny tercantum dalam antologi Tanah Warisan Leluhur.
Kata Fanny, perempuan sastrawan asal Namodale, beragam kisah yang ditulis menyenter beragam kehidupan manusia yang berada di lingkup kehidupan marginal. Di luar zona nyaman kehidupan kita sehari-hari, kelas sosial ‘bawah tanah’ yang penuh penderitaan, ironi bahkan absurd tersaji secara nyata.
“Saya mengolahnya menjadi sebuah cerita pendek yang menggambarkan kehidupan serta pergulatan akan perjalanan mereka hari lepas hari,” kata Fanny. “Fanny adalah cerpenis produktif yang tak pernah lelah untuk terus berkarya,” kata Ni Putri Suastini Koster, penyair Bali.
“Fanny seorang penutur perempuan yang baik. Cerita-cerita pendek dan novelnya banyak saya baca. Tulisannya mengalir, lancar, menyimpan drama, dan kadang kejutan yang membuat pembaca terhanyut, dan merenung. Itu sebabnya, dalam satu kalimat pendek saya berani mengatakan, Fanny salah satu dari sedikit perempuan penulis cerita Indonesia yang baik,” kata Kurniawan Junaedhie, penulis sastra.
Minggu pagi, segera setelah antologi itu di tangan, saya mulai menikmati setiap halaman Tanah Warisan Leluhur sekaligus bernostalgia ke Basagoka, di tengah hutan saat ketuban ibu pecah lalu suara saya pecah di tengah kebun, di tengah hutan belantara yàng masih perawan kala itu. Antologi karya Fanny mengaduk rasa. Seperti rasa yang beta (saya) alami juga di Labat dan Bakunase saat masih tinggal di sana merampungkan kuliah.
Ansel Deri
Penikmat sastra