Prinsip Sui Generis Dalam Hubungan Keperdataan Pemerintah dengan Pihak Lain - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Prinsip Sui Generis Dalam Hubungan Keperdataan Pemerintah dengan Pihak Lain

Juru Bicara YLBH Papua Tengah Hyero Ladoangin, SH. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Hyero Ladoangin, SH

Juru Bicara YLBH Papua Tengah

DALAM konsep negara kesejahteraan (wellfare state), pemerintah sebagai representasi negara wajib melakukan tindakan-tindakan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Salah satu bentuk tindakan pemerintah adalah menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Dalam konteks keperdataan, negara dipandang sebagai sebuah badan hukum yang kedudukannya setara dengan pihak lain. Tetapi harus diingat bahwa status badan hukum negara adalah badan hukum publik, yang setiap tindakannya terikat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika kita persempit, dalam perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah dengan pihak lain, tidak berlaku hukum perdata an sich (semata). Namun, hukum perdata sui generis yang mengacu pada keterikatan terhadap aturan-aturan khusus yang dibuat untuk sesuatu yang bersifat spesifik.

Aturan-aturan khusus tersebut terdiri dari aturan hukum administrasi, aturan hukum perdata itu sendiri dan aturan hukum pidana. Dalam hal ini, seharusnya hukum pidana merupakan ultimatum remedium, yang didorong oleh hukum administrasi dan hukum perdata.

Tetapi pada prakteknya, banyak ditemui hukum pidana digunakan sebagai primum remedium dalam penyelesaian berbagai persoalan yang seharusnya diselesaikan secara administratif maupun perdata.

Konsekuensi dari penggunaan hukum pidana sebagai primum remedium adalah bisa terjadi stagnasi pemerintahan dimana tidak ada pejabat pemerintahan yang mau menjalankan fungsi keperdataan karena takut terjerat pidana.

Pejabat pemerintahan dan juga aparat penegak hukum (APH) harus memahami batasan-batasan pemberlakuan ketiga aspek hukum tersebut di atas. Hukum administrasi berlaku mulai pada saat pembentukan panitia PBJ sampai pembubarannya.

Hukum perdata berlaku mulai pada saat penandatanganan kontrak sampai pada penyerahan akhir. Pidana dapat terjadi dalam kedua tahapan tersebut dengan syarat ada tindakan (actus reus) dan ada niat jahat (mens rea).

Dalam hukum administrasi, ada jenjang untuk menentukan dapat tidaknya diterapkan hukum pidana. Pertama, tindakan maladministrasi, penyelesaiannya adalah perbaikan administrasi. Kedua, tindakan maladministrasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, penyelesaiannya adalah perbaikan administrasi dan pengembalian kerugian keuangan negara.

Ketiga, tindakan maladministrasi yang merugikan keuangan negara dan disertai dengan criminal intent. Di sini, karena sudah ada tindakan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara (actus reus) dan ada niat jahat (mens rea) maka penyelesaiannya harus dengan hukum pidana. Tetapi, harus dibuktikan dahulu ada penyalahgunaan wewenang di sana.

Sementara dari aspek hukum perdata, harus dilihat itikad para pihak. Merujuk penjelasan Prof Mudzakir, ada jenjang itikad dalam keperdataan yakni itikad baik, tidak baik, buruk, buruk yang kriminal, dan itikad kriminal dalam perjanjian.

Pelanggaran perjanjian yang berupa wanprestasi maka penyelesaiannya dimulai dengan men-somasi, kemudian dilakukan negosiasi, mediasi, dan seterusnya sampai proses peradilan perdata. Penyelesaian pidana baru dapat dilakukan ketika ditemukan ada  criminal intent dari salah satu atau bahkan kedua pihak.

Dengan demikian, maka keliru ketika setiap tindakan pemerintah yang mengakibatkan kerugian keuangan negara selalu ditarik ke hukum pidana. Seharusnya dilakukan upaya hukum administrasi ataupun hukum perdata terlebih dahulu. Hukum pidana baru masuk ketika “digerakkan” oleh kedua rezim hukum tersebut.

Tinggalkan Komentar Anda :