Gereja dan Politik - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Gereja dan Politik

John Boli Jawang, mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung. Foto: Istimewa

Loading

Oleh John Boli Jawang

Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung

BERBICARA tentang Gereja dan politik, mungkin bagi kebanyakan rasa-rasanya ini sangat tidak mungkin, mengingat Gereja dan politik adalah dua ruang lingkup yang berbeda. Apakah Gereja bisa terjun dalam politik praktis? Jelas, keterlibatan Gereja dalam politik praktis tidak dapat dibenarkan.

Gereja memang harus terpisah dari kegiatan politik praktis. Tetapi apakah dalam konteks politik sebagai ilmu sekaligus wacana untuk pembangun bangsa yang lebih baik, seperti apa posisi Gereja? Gereja merupakan Gereja yang memang sangat berbeda dengan politik. Tetapi, bukan berarti bahwa perbedaan ini menciptakan jarak dan dualisme antara Gereja yang menampilkan kekudusan dan politik yang sering dianggap sebagai wilayah kotor.

Pada hakikatnya politik bukanlah suatu wilayah yang kotor, tetapi merupakan jalan, sarana  menciptakan kebaikan hidup bersama. Perlu disadari bahwa Gereja bukan anti politik dan Gereja bukan institusi yang terpisah dari dunia. Oleh karena itu, dalam konteks politik sebagai ilmu dan wacana demi pembangunan bangsa yang lebih baik, tentunya peran Gereja diperlukan dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan.

Hakikat politik

Dalam sejarahnya, politik yang pada hakikatnya baik telah diwarnai oleh berbagai praktik yang menyimpang, sehingga sebagai bagian dari masyarakat Gereja mempunyai tugas untuk berani menyuarakan keadilan. Gereja bukan kelompok yang berbeda dan terpisah dari yang lain, tetapi bagian dari yang memang memiliki kekhususan.

Perlu pula disadari, keikutsertaan Gereja dalam menyuarakan keadilan dalam wacana politik bukan semata-mata untuk kepentingan sendiri, tetapi kepentingan semua orang. Gereja menyadari tugasnya sebagai pewarta kasih yang tidak terbatas pada golongan atau kelompok tertentu, tetapi untuk semua orang. Oleh karena itu, di tengah situasi politik yang sarat aneka persoalan, Gereja hadir dan bersuara untuk keadilan dan kebenaran.

Gereja hadir dan bersuara tidak berdasarkan pada keinginan sendiri, tetapi selalu berdasarkan pada nilai-nilai Injili sebagai inti pewartaan Gereja yang menjunjung tinggi kebenaran. Sebagai bagian dari masyarakat, Gereja tidak dapat berada pada dimensi yang berbeda dengan kehidupan warga negara pada umumnya.

Pasalnya, Gereja sejatinya adalah bagian dari warga negara. Oleh karena itu, Gereja mesti mengambil peran dengan caranya dalam usaha mendorong proses politik yang lebih baik dan benar. Keikutsertaan dalam wacana politik dengan berbagai persoalan, Gereja perlu mengambil langkah untuk menyuarakan kebenaran.

Hal ini secara biblis dapat dilihat dalam perjuangan para nabi dan yang berpuncak pada Yesus. Perlu disadari pula, konteks para nabi tentu berbeda dengan konteks Yesus yang hidup dalam budaya Yahudi. Tetapi perlu diingat perjuangan yang dilakukan adalah semata-mata untuk kepentingan dan kebaikan hidup semua orang.

Dalam konteks para nabi, mereka dipanggil dan dipilih Allah untuk menyuarakan kebebasan dan keadilan. Di tengah situasi hidup umat manusia dalam penindasan, Allah hadir melalui para nabi untuk menyuarakan kebebasan dan keadilan. Seorang nabi mempunyai peran sangat penting yakni, pewarta, pembebas, dan juga penafsir pesan-pesan Allah.

Oleh karena itu, dalam konteks yang lebih luas, seorang nabi harus berani masuk dalam realitas kehidupan manusia untuk mewartakan pesan Allah, berani ‘melawan’ ketidakadilan yang mendera kehidupan umat manusia. Meskipun harus mengalami berbagai penolakan serta kritikan, kesadaran akan panggilan dan tugas mulia menjadi kekuatan untuk terus bersuara demi kebaikan hidup bersama.

Demikian juga yang terjadi dalam konteks kehidupan Yesus. Ia hadir sebagai sosok yang berbeda dan bahkan dianggap sebagai masalah bagi orang-orang Yahudi, ahli-ahli taurat, dan orang-orang farisi. Gaya pewartaan yang sangat berbeda, membuat banyak orang terkesan dan mengikuti-Nya. Tempat hidup Yesus selalu kental dengan kehidupan politik Yahudi pada waktu itu.

Dengan demikian sepak terjang Yesus dengan ajaran-ajarannya secara tidak langsung sudah terseret masuk hingga dirasa seakan berbau politik. Bahkan ajaran-ajaran Yesus dianggap menyesatkan dan mempengaruhi orang ke jalan yang sesat. Beberapa kelompok besar di antaranya orang Farisi, imam-iman kepala, ahli-ahli taurat menjadi penantang terbesar di kala Yesus mulai mengajar dan membuat mukjizat.

Dalam kehidupan-Nya, Yesus bertindak sebagai motivator dan pengajar bagi kaum lemah, miskin, dan terpinggirkan, di samping sebagai pengajar dan melakukan mukjizat. Jika para penguasa umumnya selalu mempunyai motif politik yang mementingkan harta, jabatan, dan kekuasaan, hal itu berbeda dari Yesus yang turun ke jalan-jalan, merangkul yang lemah, menghibur yang luka dan duka, dan memberi harapan bagi mereka yang hilang harapan.

Orientasi dari pewartaan Yesus adalah untuk mereka yang lemah dan terpinggirkan. Rasa-rasanya politik para penguasa dan keikutsertaan Yesus dalam menyuarakan keadilan dan kebenaran berbenturan. Yesus dianggap sebagai pengganggu kestabilan politik yang ada dan menghasut banyak orang. Dalam konteks ini, Yesus tidak sedang memperlihatkan politik praksis, tetapi Yesus bersuara di tengah persoalan politik yang mementingkan diri sendiri. Yesus menyerukan keadilan dan kebebasan untuk semua orang.

Gutierrez dan Teologi Pembebasan

Gutierrez adalah seorang imam Dominikan dari Peru. Menarik untuk berbicara mengenai tokoh Gutierrez dalam usahanya menyuarakan keadilan di tengah persoalan kemiskinan dan penindasan, yang dipicu ketidakstabilan politik dan kepentingan penguasa. Pengalaman pastoral di daerah Rimac, Peru, dengan situasi sosial yang ditandai wajah kemiskinan dan penindasan telah meninggalkan kesan tersendiri seorang Gutierrez.

Berhadapan dengan situasi ini, ia menyadari bahwa Gereja mesti melakukan sesuatu. Ia juga menyadari, teologi yang dipelajarinya di Eropa kurang cocok dengan situasi yang dihadapinya. Oleh karena itu mesti ada cara lain dalam mengatasi situasi ini.

Gutierrez memulai refleksinya atas situasi yang sedang dihadapinya saat ini berlandaskan Kitab Suci. Beberapa poin penting yang menjadi refleksinya. Pertama, pewartaan yang dibawa Gereja tidak hanya sampai di mimbar, tetapi harus merambat pada praksis hidup lebih konkret.

Kedua, kata-kata Kitab Suci adalah kata-kata yang hidup dan harus diaktualisasikan dalam tindakan konkret. Ketiga, kerajaan Allah bukanlah suatu situasi yang jauh dari dunia, tetapi dapat diwujudkan dalam dunia kini dan sekarang melalui suatu kehidupan yang harmonis.

Gutierrez pada akhirnya tampil dengan gerakan Teologi Pembebasan yang diprakarsainya sebagai suatu bentuk protes atas ketidakadilan yang menampilkan fenomena kemiskinan hingga penindasan. Bagi Gutierrez, kemiskinan yang terjadi bukan disebabkan oleh karena sikap malas atau tidak kreatifnya seseorang, tetapi penindasan yang berujung orang terkungkung dalam kubangan kemiskinan.

Oleh karena itu, di tengah situasi sosial-politik yang menyisakan berbagai persoalan, Gutierrez tampil sebagai kelompok minoritas menyuarakan keadilan dan pembebasan. Meskipun pada kenyataannya, teologi ini mendapat banyak tanggapan dan kritikan, termasuk Gereja. Gutierrez dengan keyakinan penuh dan lantang menyuarakan keadilan.

Kesadarannya dalam menggaungkan keadilan dan pembebasan, didasari pada situasi sosial dan wacana politik yang tidak memihak orang-orang kecil. Oleh karena itu, dalam kapasitasnya sebagai imam dan bagian dari Gereja dengan kesadarannya akan nilai-nilai Injil yang merupakan bagian dari pewartaannya, ia tampil untuk memberikan seruan keadilan dan kebebasan.

Suara profetis

Kehadiran Romo Prof Dr Franz Magnis-Suseno, SJ sebagai saksi ahli menjadi trending topic bahkan memicu aneka tanggapan. Hal ini dikarenakan ia seorang imam. Bagaimana mungkin seorang imam harus menjadi saksi ahli?

Bukankah persoalan-persoalan ini adalah wilayah politik? Bukankah seorang imam hanya berurusan dengan hal-hal rohani saja? Demikian sejumlah pertanyaan yang akan timbul ketika seorang imam yang seharusnya berurusan dengan kerohanian harus masuk dalam wacana politik.

Perlu disadari, selain sebagai seorang imam Magnis-Suseno adalah filsuf, cendekiawan, dan pengajar juga menggeluti wacana politik dalam tataran akademik. Apalagi beliau adalah seorang filsuf yang berfokus pada moral dan etika.

Oleh karena itu, kehadirannya sebagai saksi ahli bukan untuk mendukung atau menyalahkan orang lain, tetapi lebih pada usaha untuk mengemukakan pendapat dalam potret pemikirannya tentang situasi sosial politik saat ini. Meskipun sebagai seorang imam, tetapi beliau juga adalah seorang filsuf sekaligus warga negara yang mempunyai hak dalam menyuarakan kebenaran dalam kapasitasnya.

Kehadiran Magnis-Suseno bukan untuk popularitas atau ketenaran tapi demi banyak orang. Tentunya, beliau selalu berbicara dengan landasan kebenaran. Oleh karena itu, pertanyaan mengenai, apakah Gereja atau imam bisa berpolitik kiranya mesti direfleksikan kembali.

Dalam konteks politik praktis tentu tidak diperbolehkan. Namun berbeda, dalam konteks wacana, peran Gereja diperlukan untuk menyuarakan kebaikan hidup bersama (bonum commune) dan melihat politik lebih jernih dalam usaha membangun bangsa dan negara yang lebih baik dan berkeadaban. 

Tinggalkan Komentar Anda :