DI TENGAH transisi pemerintahan menuju era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, publik dihadapkan pada satu isu yang hangat dibicarakan: kehadiran apa yang disebut sebagai “Geng Solo.” Istilah ini merujuk pada kelompok loyalis Presiden Joko Widodo yang konon masih memegang peran strategis di berbagai lini kekuasaan, bahkan setelah Jokowi tak lagi menjabat sebagai presiden. Mereka tersebar di kabinet, militer, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, hingga partai-partai politik. Meski tidak diangkat secara formal sebagai satu entitas, keberadaan mereka diakui oleh banyak pengamat sebagai kekuatan politik yang nyata—dan tidak sedikit yang menilai mereka lebih loyal kepada Jokowi ketimbang kepada Prabowo.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang sejauh mana kedaulatan politik seorang presiden benar-benar otonom. Apakah pemerintahan Prabowo akan berjalan sesuai visi dan arah kebijakannya sendiri, atau justru terkooptasi oleh warisan politik pendahulunya yang terlalu dalam mengakar? Dalam sistem demokrasi, kesinambungan memang penting. Namun, ketika kesinambungan berubah menjadi ketergantungan, maka yang muncul bukanlah transisi yang sehat, melainkan dominasi kekuasaan yang tak putus-putus.
Kehadiran “Geng Solo” seolah menandai bahwa kekuasaan Jokowi belum benar-benar berakhir. Bahkan setelah masa jabatannya selesai, pengaruhnya tetap merasuk dalam penentuan jabatan, arah kebijakan, dan loyalitas aparat. Ini bukan hanya menciptakan kekaburan dalam garis komando, tetapi juga memunculkan konflik kepentingan yang bisa menghambat efektivitas pemerintahan baru. Bagaimana Presiden Prabowo dapat menegakkan otoritasnya jika para pejabat strategis justru lebih tunduk pada tokoh yang telah turun dari tampuk kekuasaan?
Lebih dari sekadar isu politik, “Geng Solo” menggambarkan persoalan mendalam dalam demokrasi kita: tentang kecenderungan membangun dinasti kekuasaan, loyalitas politik yang tak sehat, dan ketidakmampuan elite politik kita untuk benar-benar menghormati batas waktu jabatan. Demokrasi bukan hanya tentang memenangkan pemilu, tetapi juga tentang tahu kapan harus mundur dan memberi ruang bagi pemimpin baru untuk bekerja sesuai mandatnya. Kepemimpinan sejati adalah yang tahu kapan saatnya berkuasa, dan kapan saatnya melepaskan.
Jika Presiden Prabowo ingin benar-benar berdaulat, maka ia harus berani mengambil langkah strategis untuk mengonsolidasikan pemerintahan tanpa beban loyalitas masa lalu. Ia perlu memastikan bahwa para pembantunya adalah orang-orang yang setia kepada republik, bukan kepada tokoh tertentu. Ia juga harus berani menertibkan ulang struktur kekuasaan yang diwarisi, agar tidak tersandera oleh jejaring lama.
Jika tidak, maka kekuasaan ini akan menjadi bayangan panjang pemerintahan sebelumnya—dan rakyat akan kembali jadi penonton dari drama politik yang tak kunjung usai.
Sudah saatnya pemerintahan baru berdiri di atas kaki sendiri. Bukan sebagai kelanjutan dari kekuasaan lama, tapi sebagai babak baru yang benar-benar mandiri.