Oleh Frans Maniagasi
Pengamat politik lokal Papua
MENYAKSIKAN Papua Street Carnival, parade seni, budaya, musik dan vokal oleh kaum muda Papua yang dikoordinir oleh Papua Youth Creative Hub (PCYH) yang dipertunjukkan di hadapan Presiden Jokowi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan para tamu undangan di pelataran halaman kantor Gubernur Provinsi Papua di Jayapura (7/7) lalu mengundang decak kagum sekaligus menumbuhkan kepercayaan diri melalui kreativitas seni dan budaya yang dinamis dilakoni oleh kaum muda Papua. Festival ini bukan sekadar menggambarkan tentang seni dan budaya tapi lebih jauh menunjukkan konfigurasi kultural khas Papua.
Kreaktivitas kaum muda PCYH lewat tampilan seni, budaya, tari dan vokal yang dapat dikatakan kaum muda ini menemukan imajinasi dan improvisasi antara diri mereka dengan cara mengonstrusikan bahwa kami Papua bisa. Papua kreaktif, Papua bisa. Tapi di balik penampilan kreativitas yang memamerkan identitas dan jati diri kaum muda Papua muncul pertanyaan spiritualitas kaum muda Papua kreatif yang jika dipertautkan dengan national building keindonesiaan, apakah telah menyentuh relung terdalam kaum muda Papua lainnya di luar PCYH.
Kaum muda Papua yang kurang beruntung, yang tak ikut berpartisipasi dalam event festival seni dan budaya itu. Kaum muda Papua yang terpinggirkan yang teralienasi ekses dari proses pembangunan dan ketiadaan kebijakan yang berpihak pada mereka. Kelompok muda yang kritis dan termarginalisasi —kaum muda yang berseberangan yang setiap kali menyoalkan masalah Papua seperti integrasi (1963) pelaksanaan Pepera (1969), pelanggaran HAM, ketidakadilan, rasisme dan kesenjangan sosial, serta eksploitasi SDA di Papua.
Keberadaan kelompok muda kritis ini tentunya membutuhkan pemikiran agar mereka dirangkul dan diakomodir dalam sistem negara ini. Kelompok muda Papua yang kritis merupakan sandungan sampai sejauhmana mereka diperlakukan. Kelompok muda kritis itulah yang mempersoalkan keabsahan Papua dalam negara RI.
National building
Batas imajinasi dan spiritualitas kaum muda kritis ini menjadi relevan untuk disoroti tatkala permasalahan national building keindonesiaan dibentangkan sejauhmana pemerintah dan aparatnya menghadapi kelompok yang pengetahuannya tentang keindonesiaan di satu pihak dan dipihak lain kesadaran kolektif tentang jati diri kepapuaan.
Artinya penampilan kaum muda kreatif seni dan budaya telah dikreasikan sebagai suatu kemajuan dari gerak maju pembangunan selama dua dekade implementasi otsus berbasis pada kapabilitas manusia di mana budaya mesti menjadi panglima dalam upaya akselarasi pembangunan Papua.
Di pihak lain kemajuan sebagai ekses dari implementasi otsus ini ada generasi muda yang kritis yang tak dapat kita menutup mata terhadap realitas kelompok muda penganjur pola pikir yang diasosiasikan dengan kolektivitas yang bertumpu pada pengagungan identitas dan jati diri kepapuaan.
Artinya kedua kelompok muda Papua ini sama-sama merepresentasikan identitas kolektif dari mereka yang memiliki kesamaan tekad untuk memperbaharui masyarakat Papua. Hanya pilihan metoda dan pendekatan dalam rangka memperbaharui masyarakatnya yang berbeda pada dimensi konseptual dan aksi.
Kedua komunitas kaum muda Papua yang memiliki kualitas pengetahuan dan pelajaran tercermin dalam suatu kemunculan entitas “kaum muda Papua terpelajar” yang mengingatkan kita pada awal lahirnya gagasan dan gerakan keindonesiaan versus kepapuaan di Sekolah Kota Nica. Semangat diskursus perlawanan dari minoritas kreaktif yang memperjuangkan ethno —nationalism kepapuaan face to face dengan civic— nationalism keindonesiaan yang tak pernah tuntas terselesaikan.
Oleh karena itu kaum muda Papua yang memperoleh pendidikan luar dan dalam negeri kritis dalam merespon kemajuan peradaban Papua dalam rangka membangun kesadaran baru membuka jalan menuju rekonsiliasi ide dan gagasan sehingga terjadi dialektika antara dua kutub pertarungan ideologi tersebut. Blue print dasar keindonesiaan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika mestinya akomodatif untuk memosisikan kepapuaan.
Kemampuan dan kesediaan mengakomodir dan memberikan ruang bagi eksistensi kepapuaan patut didialogkan sehingga adanya garansi untuk keberlanjutan Indonesia. Mesti disadari bahwa pengalaman globalisasi dengan ikutannya mengental dan terkristalisasi ethno nationalism telah terbukti dalam dua dekade terakhir sejak bubarnya imperium Uni Sovyet dan negara —negara satelitnya di Eropa Timur— Balkanisasi. Pengalaman empiris tersebut menjadi warning bagi Indonesia dalam rangka revitalisasi spiritualitas kebangsaan.
Fitrah perjuangan
Dalam rangka revitalisasi dasar keindonesiaan dan kepapuaan maka usaha untuk memancangkan kembali marwah bangsa ini mesti mempertimbangkan fitrah perjuangan emansipasi yang berbasis pada daya kaum muda Papua kritis dan pengetahuannya.
Kesadaran akan pentingnya revitalisasi national building keindonesia tak cukup dengan memperagakan festival seni, budaya dan musik tapi juga pengetahuan menghadapi tantangan globalisasi dengan mengentalnya etno nasionalisme kepapuaan.
Menghadapi ini Indonesia memiliki peluang dan ancaman, secara geografis Indonesia termasuk Papua berada di kawasan strategis sebagai gerbang menuju pusat pertumbuhan ekonomi baru terutama di wilayah Indo–Pasifik. Indonesia di mana Papua menjadi batu loncatan menuju pusat ketegangan geopolitik global di masa depan, gambaran ini telah nyata dengan kunjungan Presiden Jokowi ke Australia kemudian Papua Nugini, dan Papua pada awal Juli 2023.
Untuk bisa merespon perlu dilakukan perubahan konsepsi tentang national building keindonesiaan dengan menyadari kembali khitah Papua dintegrasikan 60 tahun lalu dalam nation state Indonesia. Menyadari komitmen agar kepapuaan diletakkan dan diakomodir dalam kerangka keindonesiaan.
Seperti awal integrasi, Presiden Soekarno mengundang para pemuda Irian Barat atau Papua dalam suatu jamuan dan pesta “kebangsaan” di Istana Bogor dengan menari lenso sambil memperkenalkan tamu undangan bahkan juga putra-putrinya. Drama itu kembali dipertontonkan oleh kaum muda kreatif di hadapan Presiden Jokowi pada awal Juli di Jayapura.
Tontonan dan benang merah kesejarahan itu tengah diuji oleh kaum muda Papua yang kritis intelektual bahwa pembangunan tak boleh hanya dipahami sebatas pembangunan infrastruktur, pemekaran provinsi atau DOB, eksploitasi SDA, peningkatan anggaran dan dana pembangunan termasuk dana otsus, dana-dana pembangunan lainnya tapi fungsi dan kapabilitas memecahkan problem riil masyarakat selama 60 tahun penyatuan tak pernah disentuh. Tumpuan utama itu adalah pendidikan yang memerdekaan orang Papua yang didukung oleh sistem politik dan ekonomi yang kondusif.
Perlunya wahana yang dapat menguatkan semangat persatuan dalam perbedaan —Bhinneka Tunggal Ika— inklusivitas kesetaraan dan keadilan dengan menerima kepapuaan dalam keindonesiaan dengan membuang jauh prasangka, kecurigaan, dan ketidakpercayaan terhadap Papua, dengan meminimalisasi predikat dan sebutan yang mencurigakan seperti separatisme dan berbagai atribut rasisme, sehingga akan menghasilkan persenyawaan yang kokoh dan unggul sebagai bangsa yang pluralis.
Momentum integrasi Papua dalam Republik Indonesia 60 tahun yang lalu dan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera tahun 1969 mestinya dilukiskan sebagai ekspresi membongkar kolonialisme atas Papua. Namun kedua peristiwa bersejarah itu gagal melakukan transformasi kebangsaan Indonesia yang dicemari oleh berbagai kepentingan politik dan ekonomi di wilayah ini.
Rakyat Papua yang tadinya berharap dan mencita-citakan pengakhiran kekuasaan pemerintah Belanda serta kehadiran “saudara kandung” Indonesia akan memberikan perubahan untuk menggapai kesejahteraan, keadilan dan kesetaraan. Tapi justru yang mereka temukan “bulan madu” di awal integrasi yang diretorikakan Presiden Soekarno berubah menjadi tangisan, derita, dan kesengsaraan.
Tari lenso yang tadinya menjadi sarana komunikasi membangun persaudaraan antara Bung Karno dan tokoh-tokoh Papua sirna ditelan bumi sepeninggalnya si bung. Dalam kasus yang mirip parade kesenian dan kebudayaan yang dipertunjukkan di pelataraan kantor Gubernur Papua awal Juli oleh PCYH, jangan-jangan juga mengalami nasib serupa setelah Jokowi tidak lagi berkuasa.
Mestinya lewat PCYH sebagai wahana bukan saja menampilkan tontonan kesenian dan kebudayaan khas Papua yang sifatnya temporer karena penyambutan Presiden dan para tamu undangan justru yang dibangun adalah etos kreatif pemikiran, the creative mind bagi kaum muda Papua, termasuk mengajak dan merangkul kaum muda kreatif intelektual seperti yang digambarkan.
Berbasis pada membangun kepercayaan diri sehingga memiliki keberanian untuk mendekonstruksi bangunan lama demi konstrusksi baru yang baik. Itulah trayek lama yang mesti ditinggalkan dan memasuki trayek baru bagi Papua dengan national building keindonesiaan dengan ciri khas mengakomodir kepapuaan dalam negara-bangsa Indonesia menuju kebangkitan Papua baru yang dimotori dan dilakoni ke depan oleh kaum muda Papua. Semoga.