Freeport dan Permintaan Saham Pemangku Ulayat - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Freeport dan Permintaan Saham Pemangku Ulayat

Buku Papua Minta Saham: Posisi Papua di Tangan Renegosiasi Kontrak dan Divestasi Saham karya penulis Eltinus Omaleng terkait Papua minta saham. Buku ini layak dikoleksi semua komponen warga masyarakat Papua. Foto: Ansel Deri/Odiyaiwuu.com

Loading

Judul              : Papua Minta Saham: Posisi Papua di Tangan Renegosiasi Kontrak dan Divestasi Saham PT Freeport Indonesia
Penulis            : Eltinus Omaleng
Editor             : Ferdy Hasiman dan Thomas H. Suwarta
Design Cover : Willy Keraf ‘emasia’
Penerbit         : Kandil Semesta
Cetakan I       : Oktober 2016
Halaman        : xxxii, 187 pages
ISBN               : 9786027478411

SUATU waktu di sebuah ruang di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, tahun 2016. Kala itu berlangsung sebuah acara peluncuran dan bedah buku serius. Buku itu mengulas tentang pelepasan saham (divestasi) antara PT Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia. Publik tahu, PT Freeport Indonesia adalah anak usaha Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, raksasa tambang dunia yang berbasis di Poenix, Arizona, Amerika Serikat.

Sang penulis juga bukan sembarang orang. Namanya juga sudah tak asing lagi di seantero tanah Air. Ia adalah Eltinus Omaleng, SE. Eltinus adalah Bupati Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Si penulis buku, Eltinus Omaleng lahir di atas tanah suku Amungme, Waa Banti, Timika pada 15 Oktober 1972.

Pengusaha lokal Papua yang melejit namanya setelah didapuk warga Mimika sebagai Bupati Mimika adalah seorang anak muda yang sukses merenda kariernya dari seorang wiraswasta sukses di bawah bendera PT Salju Abadi Sejahtera. Ia adalah orang yang ditunggu-tunggu dalam bedah buku karyanya kala itu yang membedah soal kepemilikan saham.

Ruang peluncuran buku di salah satu ruang Hotel Borobudur, Jakarta, sangat padat diisi tak hanya undangan sejumlah orang penting di Jakarta. Namun, juga warga masyarakat Papua di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Warga Papua yang hadir kala itu tentu merasa berkepentingan dalam diskusi soal divestasi saham.

Pasalnya, raksasan tambang dunia di provinsi di mana Freeport Indonesia ikut andil dalam menggelembungkan pemasukan daerah lewat pajak guna memajukan daerah dan masyarakat tanah Papua, terutama di sekitar lereng Nemangkawi, gunung keramat sekaligus tanah ulayat Eltinus, salah seorang pemangku ulayat.

Dalam buku karyanya, Papua Minta Saham: Posisi Papua di Tangan Renegosiasi Kontrak dan Divestasi Saham PT Freeport Indonesia, penulis Eltinus Omaleng menguraikan, sebelum bicara soal divestasi saham PT Freeport Indonesia, ada hal juga sangat penting yang perlu dibicarakan terkait kebijakan investasi pertambangan pasca reformasi tahun 1998. Setelah rezim Orde Baru tumbang, dinamika politik tanah Air bergeser.

Sistem pemerintahan terpusat (centralistic government) berubah menjadi desentralisasi yang memberi daerah suatu otonomi luas untuk menata dan mengelola daerahnya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi dasar legalitas kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah.

Konsekuensinya, kata penulis Omaleng, jelas: pemerintah pusat tidak bisa sewenang-wenang mengatur daerah, kecuali dalam urusan tertentu seperti pendidikan, kesehatan, politik luar negeri, dan pertahanan keamanan negara. Selebihnya, pemerintah daerah baik Gubernur, Bupati maupun Walikota diberi kewenangan luas mengatur urusan fiskal daerahnya masing-masing.

Kata Eltinus, memang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat mencoba untuk kembali mengontrol daerah, tidak seperti jaman Orde Baru di mana pusat mengintervensi jauh sampai mengatur isi perut di daerah-daerah. Era desentralisasi melalui Undang-Undang Otonomi Daerah juga berdampak pada soal izin konsesi tambang bukan lagi diberikan oleh pemerintah pusat, tetapi sudah berpindah ke tangan pemerintah daerah.

“Bupati dan walikota diberi wewenang besar oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Pertambangan untuk mengeluarkan Ijin Usaha Pertambangan. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi otonomi luas kepada pemda mengolah sumber daya alam yang ada di daerah,” ujar Eltinus Omaleng (hlm. 2).

Argumentasi legal formal penulis di atas mirip pertanyaan yang saya ajukan sesaat digelar konferensi pers sebelum acara bedah buku berlangsung. Dalam konferensi pers saya megajukan sejumlah pertanyaan kepada Eltinus, penulis buku. Mengapa masyarakat Papua, terutama suku Amungme dan Komoro, meminta saham kepada PT Freeport Indonesia, sementara perusahaan raksasa tambang dunia itu beroperasi di tanah ulayat dua suku besar itu di lereng gunung Nemangkawi? Bukankah dana satu persen dari laba bersih Freeport di perut Nemangkawi, gunung keramat itu sudah tersalurkan lewat Lembaga Masyarakat Adat Amungme dan Komoro atau Lemasko, dua komunitas pemilik tanah ulayat?

Pertanyaan di atas membuat suara Omaleng yang didampingi sejumlah pejabat eksekutif, legislatif, dan tokoh masyarakat Mimika, meninggi. Kata Omaleng, dana 1 persen bagi dua komunitas masyakarat adat dan pemerinthan serta warga lokal Papua belum seberapa. Pilihannya adalah Pemerintah Kabupaten Mimika dan Papua berhak memiliki saham Freeport Indonesia. Mengapa demikian, kata Omaleng, ada dua alasan.

Pertama, daerah operasi tambang Freeport Indonesia di grasberg adalah tanah ulayat suku Amungme dan Komoro. Kedua, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Pertambangan jelas memberi mandat besar kepada pemerintah, terutama pemerintah daerah untuk mengolah tambang daerah secara transparan dan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat sesuai amanat UUD 1945 (hal. 78).

Editor buku ini menulis dengan baik. Franky Sahilatua dan Edo Kondologi melalui suara kemiskinan mendendangkan cerita kelam tentang tanah Papua yang selalu orang bilang “surga kecil jatuh ke bumi”. Entah surga itu buat siapa sebenarnya. Kata Franky dan Edo, “kami tidur di atas emas. Berenang di atas minyak.

Tapi bukan kami punya. Kami hanya menjual buah-buah pinang. Berlimpah hasil tanah dan laut, hutan yang kaya yang mampu memberi mereka makan seakan tak berbekas ketika untuk sekolah pun susah, mangekses kesehatan pun menjadi sangat mahal dan mewah (hlm. xi-xii).

Bagi pembaca, terutama yang tinggal di setiap lekuk tanah Papua, buku karya Eltinus Omaleng layak dimiliki. Buku ini pantas mengisi rak-rak lemari di setiap honai (rumah asli Papua) pace deng mace dorang. Pun perpustakaan di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi bahkan pengambil kebijakan negara tak hanya di Jakarta namun nun di bumi Cenderawasi, provinsi di timur matahari terbit bernama Papua.

Namun buku itu tentu tak sekadar menjadi penghuni lemari. Ia juga mesti dikorek alias dibaca dan dipahami lebih dalam isinya. Eltinus meninggalkan legasi bagi rakyat tanah Papua. Melalui buku karyanya. Di mata Yohanes Napan Labaona, Eltinus Omaleng tak sekadar seorang pemimpin. Pace (Bapa) Eltinus juga penulis yang baik. Buku karyanya ini sangat membuka cakrawala berpikir pak guru Napan. Sungguh mati, kata guru ini.

“Saya mendorong banyak anak murid saya agar belajar rajin dan menjadi orang hebat seperti pace Eltinus. Kini, banyak anak murid saya jadi guru, polisi, pilot, tentara bahkan kepala dinas. Saya dorong mereka belajar rajin agar kelak jadi orang berguna macam pace Eltinus. Papua masa depan butuh orang hebat, baik hati, dan sederhana yang mengabdi dengan hati untuk tanah Papua,” ujar Napan Labaona, Kepala SMAN SP-5 Timika, Mimika.

Peresensi adalah Ansel Deri
Orang udik dari kampung;
Pernah ke Jayapura dan Timika

Tinggalkan Komentar Anda :