Oleh Laurens Ikinia
Magister Komunikasi lulusan Auckland University of Technology, New Zealand; Dosen Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
SELANDIA Baru atau Aotearoa New Zealand merupakan salah satu negara maju di kawasan Pasifik yang aktif menyuarakan isu Papua. Selandia Baru dikenal sebagai negara yang vokal menyuarakan isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kerusakan lingkungan hidup di tanah Papua.
Hal ini dapat disaksikan dalam berbagai diskusi, aksi doa dan protes, hingga perdebatan yang sering terjadi pada lembaga pemerintahan tertinggi atau kantor parlemen nasional di Wellington. Maraknya pembahasan isu Papua tidak hanya terjadi di kalangan politisi, tetapi juga menyasar berbagai simpul organisasi sosial kemasyarakatan.
Isu Papua sampai saat ini juga masih menjadi perdebatan hangat di kalangan akademisi, jurnalis, aktivis, pimpinan gereja, komunitas pasifik dan masyarakat di negara bertajuk Negeri Kiwi. Keterlibatan Selandia Baru secara langsung maupun tidak langsung dalam politik Indonesia pada umumnya dan tanah Papua lebih khususnya telah didokumentasikan Maire Leadbeater, aktivis HAM, penulis dan pekerja sosial asal Selandia Baru.
Dalam See No Evil: New Zealand’s Betrayal of the People of West Papua (2018), Leadbeater memberikan gambaran utuh terkait keterlibatan Pemerintah Selandia Baru dalam isu Papua. Termasuk sejarah Papua yang kurang diketahui publik. Misalnya, pengorbanan orang Papua selama Perang Dunia II dan II ketika pasukan sekutu menghadapi Jepang di Pulau New Guinea.
Banyak pasukan Selandia Baru dan Australia dibantu orang Papua. Bahkan dalam buku itu dicatat juga bahwa tahun 1940-1950-an Pemerintah Selandia Baru pernah mendukung upaya Belanda dalam memerdekakan Papua melalui mekanisme internasional yang kemudian terwujud melalui Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Komisi Pasifik Selatan
Dalam Mengapa Orang Papua Ingin Merdeka (2002) Yorrys Raweyai menyebut, upaya Pemerintah Belanda membebaskan Papua dari Indonesia semakin kuat dengan berusaha menggabungkan Papua ke dalam wilayah-wilayah yang belum berdiri sendiri di kawasan Pasifik.
Yorrys, politisi dan tokoh senior Papua mengatakan, Belanda bersama lima negara lainnya yakni Australia, Selandia Baru, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat melakukan pertemuan pada 6 Februari 1947. Pertemuan itu berujung terbentuknya South Pacific Commission atau Komisi Pasifik Selatan yang berkedudukan di Noumea, Kaledonia Baru.
Pada 1962 ketika Pemerintah Indonesia mengambil alih wilayah Papua, Selandia Baru memberikan dukungan kepada Indonesia untuk menduduki Irian Barat. Salah satu dari sekian banyak hal mengejutkan dari buku karya Leadbeater ialah dokumen atau arsip rahasia negara diteliti dan dielaborasikan dengan cukup lengkap.
Leadbeater menyoroti pelanggaran terhadap HAM, kerusakan lingkungan, dan tidak adanya rasa damai yang dialami orang Papua. Ia juga menekankan dampak kebijakan luar negeri Pemerintah Selandia Baru terhadap keberlangsungan hidup dan eksistensi orang Papua di atas negerinya sendiri. Sejauh ini, Pemerintah Selandia Baru memilih lebih hati-hati demi menjaga hubungan business as usual dengan Pemerintah Indonesia.
Mencermati uraian di atas, tentu aneka pertanyaan berkelebat di benak publik. Mengapa isu Papua masih dan selalu menjadi bola panas di lembaga tinggi negara, parlemen hingga kalangan umum di Selandia Baru? Publik juga tentu bertanya, apakah upaya diplomasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia selama ini belum berhasil?
Perdebatan publik
Tentu lahir jawaban bahkan spekulasi di benak publik. Berdasarkan uraian di atas paling kurang ada sejumlah pandangan yang jarang muncul dalam perdebatan publik terkait relasi diplomatik antara Pemerintah Indonesia dan Selandia Baru.
Pertama, secara demografi merujuk data statistik nasional per Desember 2022, Selandia Baru memiliki jumlah penduduk sebesar 5,157,100 jiwa. Jumlah ini menghuni negara yang memiliki panjang sekitar 1.600 kilometer dan lebar sekitar 450 kilometer. Jumlah ini hampir mendekati jumlah penduduk yang mendiami tanah Papua.
Kedua, jumlah penduduk Selandia Baru berbanding terbalik dengan Indonesia. Data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia per Desember 2023 menunjukkan, Indonesia memiliki 279,118,866 jiwa. Jumlah tersebut berpihak hasil rekaman nomor induk keluarga (NIK). Jumlah penduduk yang berdomisili di tanah Papua sebanyak 5,586,380 jiwa.
Perincian penyebarannya sebagai berikut. Provinsi Papua sebanyak 1.077.141 jiwa, Papua Barat 562.214 jiwa, Papua Tengah 1.351.659 jiwa, Papua Pegunungan 1.461.492 jiwa, Papua Selatan 526.777 jiwa, dan Papua Barat Daya sebanyak 607.097 jiwa. Artinya, dari aspek populasi, jumlah penduduk Selandia Baru mendekati jumlah warga negara Indonesia yang tersebar di enam provinsi di tanah Papua.
Ketiga, hal menarik lain antara WNI di tanah Papua dan Selandia Baru adalah eksistensi masyarakat asli atau pribumi. Masyarakat asli yang menduduki Selandia Baru yaitu suku Maori. Suku ini masuk rumpun Polinesia. Negara Selandia Baru dalam bahasa Maori adalah Aotearoa yang berarti the land of the long white cloud atau negeri yang diselimuti awan putih panjang.
Keempat, data statistik Pemerintah Selandia Baru per Juni 2023 menunjukkan, populasi orang Maori berjumlah 904,100 jiwa atau setara dengan 17.3 persen penduduk nasional. Diproyeksikan populasi penduduk negara itu akan terus meningkat.
Sementara itu, data populasi asli Papua di enam provinsi hingga saat ini masih belum diketahui pasti berapa jumlahnya. Ketiadaan data populasi orang asli Papua menunjukkan kecurigaan besar pada komunitas internasional.
Sebaliknya, data yang mudah ditemukan yaitu data dari berbagai laporan pelanggaran HAM, maka hal ini yang selalu disodorkan politisi, akademisi, pemimpin gereja, pemimpin adat dan masyarakat luas dari berbagai negara di dunia, termasuk Selandia Baru.
Pihak-pihak tersebut melihat situasi yang telah dan sedang dialami oleh orang asli Papua ada persamaan dengan perjuangan Suku Maori dalam mempertahankan eksistensinya dalam berbagai bidang maupun sektor kehidupan.
Oleh karena itu, menyuarakan situasi orang Papua merupakan panggilan moral dan spiritual sebagai sesama pewaris dan penghuni wilayah lautan Pasifik atau dalam Bahasa Maori disebut Tangata Moana.
Kelima, fakta menakjubkan lain yang tidak dapat dibantahkan ialah penemuan deoxyribo nucleic acid (DNA) yang sama pada orang Polinesia dan Melanesia. Hal itu dibuktikan dalam laporan Melanesian origin of Polynesian Y chromosomes. Jurnal jurnal biologi internasional tersebut menyimpulkan, semua kromosom Y Polinesia dapat ditelusuri kembali ke Melanesia, meskipun beberapa jenis kromosom Y berasal dari Asia.
Orang Polynesia, termasuk suku Maori sebelum menemukan negeri Aotearoa, leluhurnya berinteraksi dan bercampur secara luas dengan leluhur orang Melanesia. Pada titik itu terjadi percampuran gen antara rumpun Polinesia dan Melanesia sebelum rumpun Polinesia mengeksplorasi lautan dan kepulauan Pasifik.
Selain itu, kenyataan lain yang membuka mata publik terkait Suku Maori dan orang Papua ialah persamaan dalam kultur. Salah satu suku di tanah Papua seperti Suku Hubula di Lembah Baliem memiliki unit-unit sosial dari kebudayaan yang mirip Suku Maori.
Suku Maori memiliki tiga unit kebudayaan yaitu whanau (family). Keluarga inti, hapu (clan) yang terdiri dari beberapa keluarga. Kemudian, Iwi (confederation-alliance) yang berarti konfederasi atau aliansi dari beberapa klan. Hal ini persis dengan unit-unit sosial dalam komunitas masyarakat Suku Hubula di the Grand Valley of Baliem. Suku Hubula memiliki Oukul (sub klen), Oukul Oak (klen), Ap Doalek (konfederasi), Aogum (aliansi perang).
Masing-masing unit sosial dari kedua suku memiliki fungsi dan peran yang mirip. Selain itu, di dalam Suku Maori dan Suku Hubula, kita dapat menemukan sistem pemerintahan adat, sistem religi, sistem kesehatan, sistem ekonomi, dan sistem perang yang dalam fungsi dan maknanya ditemukan banyak kemiripan. Hal ini merupakan suatu keunikan dan kekhasan yang dapat ditemukan pada kedua suku.
Mengingat kuatnya hubungan secara genetik, ada banyak kemiripan secara kultural. Kontribusi orang asli Papua kepada pasukan Selandia Baru dan Australia selama Perang Dunia I dan II berlangsung, maka masalah Papua sulit hilang dari ingatan kolektif masyarakat Selandia Baru.
Di setiap benak individu, keluarga, komunitas, gereja, organisasi sosial dan partai politik yang menyadari kebenaran tersebut, akan selalu membawa orang Papua di dalam doa dan ratapan mereka.
Hal ini menjadi catatan penting untuk Pemerintah Republik Indonesia dan Selandia Baru agar hubungan diplomasi lebih menyentuh kerinduan batin (inner desire) yang sudah lama terpendam. Selain hubungan bilateral, people to people connection and cultural diplomacy menjadi hal utama yang perlu diprioritaskan.