JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Pemerintah Pusat dan Dewan Perwalilan Rakyat Indonesia memutuskan Nabire sebagai Ibu Kota Daerah Otonom Baru Provinsi Papua Tengah. Meski Nabire sudah final sebagai Ibu Kota Papua Tengah, masih ada suara-suara menolak keputusan politik tersebut dari sejumlah elemen di Timika, Kota Kabupaten Mimika, Papua.
Intelektual muda Papua Dr Leonardus Tumuka mengatakan, dirinya menyesalkan adanya desas-desus hingga berujung provokasi menyerang PT Freeport Indonesia menyusul kegagalan Timika menjadi Ibu Kota Papua Tengah.
“Tak ada kaitan PT Freeport Indonesia dengan kegagalan Timika ditetapkan sebagai Ibu Kota Papua Tengah. Freeport Indonesia itu obiek vital nasional dan aset negara. Pihak-pihak tertentu jangan memprovokasi masyarakat melakukan tindakan melawan hukum yang berujung malah merugikan masyarakat sendiri yang tak tahu-menahu soal penentuan Ibu Kota Papua Tengah,” ujar Leo saat dihubungi Odiyaiwuu.com melalui telepon selular di Jakarta, Senin (4/7).
Menurut Leo, doktor lulusan University of the Philipines Los Banos, Filipina, tahun 2015, bila ada pihak yang merasa dirugikan dengan keputusan Pemerintah dan Komisi II DPR yang menetapkan Nabire sebagai Ibu Kota Papua Tengah sebaiknya menempuh saluran formal dengan mengajukan gugatan uji materiil atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
“Semua pihak di Papua Tengah berkewajiban memberi pemahaman hukum yang benar kepada masyarakat. Jangan memprovokasi warga yang berpoetensi merugikan mereka sendiri. Sudah cukup masyarakat dipakai untuk kepentingan elit,” kata Leo, doktor pertama putra asli Kamoro, Mimika dan lulusan S-2 Universitas Katolik (Unika) Soegiyapranoto, Semarang, Jawa Tengah tahun 2011.
Leo yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah Pemuda Katolik Mimika menambahkan, selama ini masyarakat Kamoro minim bahkan nyaris tidak mendapat apa-apa dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mimika.
“Masyarakat saya di bawah dapat apa? Yang menikmati APBD Mimika sekarang kan orang lain. Masyarakat saya hidup dengan menangkap ikan dan meramu sagu. Proyek-proyek, termasuk jabatan-jabatan di pemerintah yang menikmati orang luar. APBD Mimika yang nilainya 4 triliunan itu masyarakat kami tidak nikmati, kata Leo kesal.
Menurut Leo, lulusan SMP YPPK Santo Bernadus Timika, jika konsep daerah otonom baru untuk pemberdayaan masyakat orang asli Papua (OAP) maka keputusan Ibu Kota Papua Tengah di Nabire sudah tepat. “Kalau Pemerintah Pusat dan DPR putuskan di Ibu Kota Papua Tengah di Timika, dua suku besar yaitu Amungme dan Kamoro akan terpinggirkan. Sekarang saja Timika dikuasai suku tertentu, apalagi kalau sudah jadi provinsi,” kata Leo.
Menurutnya, kegagalan pemerintah dan DPR menetapkan Timika sebagai Ibu Kota Papua Tengah tersebut buntut hilangnya komunikasi politik tingkat pimpinan daerah Mimika. “Padahal masing-masing unsur pimpinan di sini punya kemampuan yang luar biasa untuk berkomunikasi dengan pusat tapi itu tidak dimanfaatkan,” kata Leo.
Sebelumnya, sejumlah pakar yang dipimpin Drs. Bambang Purwoko, MA yang melibatkan peneliti seperti Prof Dr Purwo Santoso, Prof Dr Erwan Agus Purwanto, Dr Paripurna P Sugarda, Dr Gabriel Lele, Dr Pramono Hadi, Dr Eng Muhammad Sani R, Dr Bambang Hudayana, Dr Untung Muhdiarta, M.Si, Dr Rahayu, M.Si, MA, dan sejumlah pakar lain menyebutkan, Nabire memilik nilai tertinggi sebagai alternatif ibu kota wilayah dibanding Mimika.
Alternatif ibu kota sebagai pusat wilayah, sub kriteria jarak antar wilayah, diikuti oleh sarana, prasarana dan topografi yang memiliki bobot tiga. Kemudian kriteria air baku dan sosial ekonomi budaya memiliki bobot dua dan interaksi antar peduduk, kebijakan dan politik lokal, jenis bencana, dan keruangan mendapatkan bobot satu.
Hasil kajian juga memperlihatkan, konflik sosial paling banyak terjadi di Mimika. Jumlah konflik Mimika terpaut jauh dengan kabupaten lainnya, yaitu sebanyak 1.102 konflik. Sedangkan posisi kedua adalah Nabire dengan 81 konflik.
Persoalan ini disebabkan oleh banyaknya penduduk dari bermacam-macam suku dan etnis yang mendiami Mimika. Kota Timika dianggap sebagai kota besar dengan potensi ekonomi yang sangat tinggi.
Secara umum, pengembangan sosial ekonomi dan sumber daya manusia di Papua Tengah masih menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya pemerataan akses dan kualitas pendidikan, tingginya angka kematian ibu dan bayi, serta terbatasnya keterampilan kerja.
DPR RI resmi menyetujui pembentukan tiga provinsi baru di Papua dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-26, Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022, Kamis (30/6). Ketiga provinsi tersebut adalah Papua Selatan dengan Ibu Kota Merauke. Provinsi ini meliputi Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Mappi, dan Asmat.
Kemudian Papua Tengah dengan beribu kota Nabire, meliputi Kabupaten Nabire, Paniai, Mimika, Puncak Jaya, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, dan Kabupaten Deiyai. Lalu Papua Pegunungan dengan Ibu Kota di Merauke, meliputi Kabupaten Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Tolikara, Mamberamo Tengah, Yalimo, Lani Jaya, dan Nduga.
“Pemekaran yang dikeluarkan tidak sekadar kemauan pusat namun merupakan masukan dan aspirasi yang muncul dari masyarakat. Walaupun di sana sini masih muncul pro dan kontrak, itu hal yang wajar,” ujar Anggota Komisi II DPR Daerah Pemilihan (Dapil) Papua Komarudin Watubun di Timika, kota Kabupaten Mimika, Papua Jumat (13/5).
Komarudin, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu meminta agar keputusan terkait tiga DOB di Papua tersebut dipahami dan dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat tentang manfaat dan tujuan pemekaran. Dengan demikian perlu disosialisasi dengan baik dan itu merupakan tugas pemerintah tingkat pusat, provinsi dan kabupaten.
“Karena itu, untuk memudahkan dalam memberikan sosialisasi dan pemahaman tentang tujuan pemekaran daerah otonomi baru harus dilakukan secara baik kepada masyarakat agar mudah dimengerti dan dapat diterima oleh masyarakat. Saya akan buat buku sosialisasi yang gampang dimengerti oleh masyarakat, karena kalau baca undang undang terlalu panjang maka susah dipahami,” kata Komarudin lebih jauh.
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin mengatakan, pemekaran provinsi di Papua tersebut menurut pemerintah merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua terutama Pasal 76 yang terdiri dari lima ayat. Ma’ruf Amin mengatakan, pemekaran harus memerhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan, sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, dan kemampuan ekonomi
“Kita berkomitmen mereka yang akan jadi pimpinan memang kita utamakan orang asli Papua. Karena itu DPR sudah melakukan berbagai penjajakan, RDP (Rapat Dengar Pendapat), telah melakukan berbagai penjajakan di beberapa daerah di Papua bahkan gubernur sendiri sudah menyetujui penyusunannya,” ujar Ma’ruf Amin di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kamis (30/6). (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)