Oleh Frans Maniagasi
Pengamat politik Lokal Papua
REALITAS politik Indonesia dari aspek geografik dan demografi tidak dapat disangkal bahwa sebagian warga bangsanya memiliki kesamaan ras dan budaya dengan negara-negara di kawasan pasifik selatan. Negara-negara pasifik yang penduduknya ber-ras Melanesia sama seperti ras masyarakat Papua.
Oleh karena itu dalam diplomasi membutuhkan afirmasi untuk menunjukkan kelayakan Indonesia juga ber-ras Melanesia sehingga memerlukan perlakuan yang setara dengan warga negara lain dalam NKRI. Wujud dari perlakuan itu adalah penyelesaian konflik di Papua mesti dituntaskan sebelum berakhirnya Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres KH Ma’ruf Amin. Mengapa?
Alasannya, sebagian negara-negara pasifik selatan sudah lama mendukung kemerdekaan Papua dari Indonesia. Maka wajar dan layak bagi Indonesia untuk menyelesaikan konflik dan kekerasan yang intensitasnya semakin meninggi terutama di wilayah Provinsi Papua Pegunungan.
Kalau diplomasi Indonesia terhadap negara-negara di Pasifik bahwa kedaulatan dan keutuhan wilayah teritorial dari Sabang sampai Merauke, tak ada pilihan lain solusi konflik dan kekerasan di Papua sehingga mesti menjadi agenda prioritas dan mendesak dari pemeritah.
Tanpa upaya ke arah penyelesaian konflik dan kekerasan maka selama itu pun akan menjadi amunisi bagi negara-negara serumpun Melanesia untuk terus menyokong kemerdekaan Papua. Retorika diplomasi keutuhan kedaulatan Indonesia atas Papua tak dapat hanya menjadi kampanye dan dekorasi diplomasi Indonesi tapi kemauan politik dan perwujudan penyelesaian konflik perlu dibuktikan.
Konflik Papua
Jika Indonesia menantang pendudukan Israel atas Palestina, maka pada saat yang sama pun pemerintah mestinya memperlihatkan sikap yang sama untuk penyelesaian konflik dan kekerasan di Papua. Sehingga tidak diskriminasi dalam mendukung Palestina dan menganaktirikan penyelesaian konflik Papua. Dengan itu kita menampik politik standar ganda Indonesia dalam mendukung Palestina dan penyelesaian soal Papua.
Indonesia tak dapat berdalil bahwa isu Papua adalah urusan dalam negeri, di era globalisasi yang dicoraki oleh kecanggihan teknologi informasi dan digitalisasi akan mengkapitalisasi masalah sekecil apa pun yang terjadi di belahan dunia apalagi menyangkut kemanusiaan, otomatis menjadi opini dan konsumsi komunitas internasional.
Kasus Papua pun menjadi sorotan tatkala konflik dan kekerasan terhadap manusia (kemanusiaan) diekspose lewat media digital dengan postingan langsung dari lokus Papua tanpa proses editing dan disertai foto dan gambar yang ditampakkan serta caption provokatif di-blouw up menjadi isu sensitif dan seksi disuguhkan kepada masyarakat internasional.
Isu kekerasan dan konflik Papua menjadi santapan empuk dan kampanye para aktivis kemanusiaan pro kemerdekaan Papua termasuk negara-negara serumpun Melanesia di kawasan Pasifik. Memang dari perspektif historis politik sejak gagalnya Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, masalah Papua telah menjadi sorotan, opini bahkan teguran dari negara-negara sahabat kepada Jakarta.
Tapi kondisi aktual konflik dan kekerasan yang dilakukan baik oleh aparat TNI-Polri maupun kelompok bersenjata (KKB) dan korbannya terutama masyarakat sipil tak dapat lagi dibiarkan. Sebab konflik dan kekerasan ini berimplikasi terutama bukan saja bagi keamanan dan kenyamanan warga masyarakat di wilayah konflik.
Lebih dari itu, konflik dan kekerasan juga berdampak terhadap nation building keindonesiaan di kalangan anak-anak balita hingga generasi muda Papua yang terdogmatisasi mendukung ideologi Papua merdeka ketimbang nasionalisme Indonesia.
Fakta empiris yang tak dapat diabaikan eksesnya bagi generasi muda Papua yang kehidupannya dilingkupi oleh kekerasan dan konflik yang mereka saksikan dengan mata kepalanya sendiri akibat konflik dan kekerasan telah membentuk sikap dan perilaku politik bahwa tak ada cara lain Papua mesti merdeka dari Indonesia.
Keadaan ini dipertajam pula dengan eksploitasi sumber daya alam atau SDA (Merebut Kendali Kehidupan, Elvira Rumkabu dkk, 2023) yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan konglomerasi di bidang perkebunan, pertambangan, kehutanan yang marak tanpa memberikan keuntungan terhadap masyarakat pemilik hak ulayat semakin menambah panjang sentimen, perasaan dan sikapnya bahwa Papua mesti lepas dari hegemoni Jakarta.
Di sisi lain elite Papua yang diberikan kewenangan di birokrasi pemerintahan pun melakukan korupsi. Tindakan koruptif oleh oknum pejabat menjadi pukulan terhadap masyarakatnya.
Dilematis
Situasi dilematis di satu pihak rakyat menyaksikan terjadi aksi kekerasan dan konflik maupun eksploitasi SDA tanpa adanya laba yang diterima oleh masyarakat, pada sisi yang lain masyarakat menyaksikan dengan mata telanjang terjadinya korupsi yang nota bene dilakukan oleh pejabat OAP sendiri.
Kasus korupsi terjadi secara massif dan terstruktur di tengah-tengah keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat Papua. Hal ini menambah rakyat semakin tidak percaya kepada pemerintah dan aparatnya. Masyarakat berpendapat bahwa pemerintah tak memiliki kemauan politik menyelesaikan soal Papua eksesnya muncullah kasus-kasus korupsi.
Untuk bisa merespons ini kita perlu melakukan perubahan konsepsi pembangunan dengan menyadarkan kembali “khitah” keindonesiaan. Seperti tujuan awal “penyatuan” Papua dengan Indonesia (1962/1963), apakah perjuangan “mengembalikan” Papua kedalam Negara Republik Indonesia semata-mata untuk memenuhi syarat kelengkapan wilayah teritorial Indonesia merdeka dari Sabang sampai Merauke? Apakah Papua hanya menjadi pelengkap penyerta ibarat terong bungkuk, yang masuk tak dihitung atau sebaliknya keluar pun tak ada pengaruhnya?
Otonomi Khusus yang diberlakukan sejak 2001 (UU No 21/2001) yang kemudian direvisi pada 2021 (UU No 2/2021) dengan seperangkat aturan pelaksanaannya seperti PP No 106, dan 107 tahun 2022 dan Peraturan Presiden No 121 Tahun 2022 tentang pembentukan Badan Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) serta Rencana Induk Pembangunan Papua atau RIPPP belum terlaksana di lapangan. Padahal, dana otsus telah bergulir sejak 2022 ke kabupaten dan kota tanpa ada arahan dan pengawasan.
Seperangkat regulasi yang diawali melalui perubahan UU Otsus Papua (UU No 21/2001 junto UU No 2/2021) dan keberadaan BP3OKP/ BPPP merupakan upaya meletakkan paradigma baru pembangunan Papua. Paradigma baru pembangunan Papua tak boleh hanya didefinisikan sebagai pembangunan infrastruktur fisik dan indikator kuantitatif seperti PDB, pendapatan perkapita dan sejenisnya (Yudi Latif, Kompas, 27/10/2022).
Pembangunan Papua hakekatnya adalah usaha meningkatkan kualitas hidup yang berbasis pada local wisdom dan “wilayah budaya” yang dijabarkan dalam tiga frasa kunci: Papua cerdas, Papua sehat, dan Papua produktif. Tumpuan utama dari tiga frasa kunci ini adalah pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat (lokal) agar dapat memecahkan problem riil dalam masyarakat Papua.
Namun gerak maju pembangunan berbasis pada kearifan lokal dan wilayah budaya memerlukan transformasi paradigmatik dan pendekatan politik dan ekonomi yang menuju budaya sebagai panglima. Untuk mewujudkan hal ini tidak cukup hanya dengan regulasi revisi UU Otsus dan seperangkat aturan pelaksananya dan pembentukan BPPP tapi mengisyaratkan bahwa tanggalkan pendekatan keamanan dan digantikan dengan pendekatan prosperity berbasis kebudayaan dan kearifan lokal Papua. Pada tataran seperti itu pendidikan dan pengajaran melalui rasa aman, karsa dan olahraga yang dapat membentuk tata nilai, tata kelola, tata sejahtera.
Syaratnya adalah “bedil” diganti dengan “cangkul” sehingga dalam konteks ini perlunya dialektika “Helsinki Papua”. Kalau Aceh dapat dilakukan upaya rekonsiliasi pemerintah dan GAM di Helsinki (2005), maka hal yang sama pun Jakarta dapat melakukannya kepada Papua. Why not?
Dalam perspektif seperti itulah diplomasi pasifik dilakukan dengan meyakinkan negara-negara serumpun ras Melanesia bahwa pemerintah Indonesia bersedia dan menyanggupi melakukan Helsinki Papua dengan tidak menyinggung kedaulatan negara RI serta menyakinkan negara-negara pasifik bahwa TNI-Polri akan meletakkan senjata dan bersamaan KKB pun melakukan hal yang sama. Tentu ada kompensasi kepada para pihak yang akan berdamai, siapa dapat apa, bagaimana dan mengapa diatur di belakang panggung. Semoga