Oleh Ben Senang Galus
Pemerhati Masalah Lingkungan;
Tinggal di Yogyakarta
MUNCULNYA praktik imperialisme ekologi sekarang sedang menghantui negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia yang memiliki sumber daya alam cukup besar. Praktik imperialisme ini ditandai berlangsungnya perampasan sumber daya alam (SDA) oleh kekuatan dominan, (oligarki) dari negeri-negeri kapitalis maju, seperti AS, China, dan beberapa negara di Eropa, terhadap negara- negara yang terkebelakang dan mengubah secara drastis keseluruhan ekosistem di mana negara dan bangsa-bangsa itu bergantung.
Praktik imperialisme ekologi ini dijalankan perusahaan-perusahaan transnasional maupun nasional, agar dapat leluasa melakukan eksploitasi terhadap SDA. Kemudian perusahaan-perusahaan itu berselingkuh dengan pemerintah lokal dan nasional lalu sasarannya adalah Papua. Mereka kemudian turut mendikte aturan-aturan yang berlaku di negara atau daerah tersebut melalui bantuan kekuatan-kekuatan kapitalis global. Yang dilanjutkan melalui deal-deal politik tertentu dengan elit-elit politik untuk diberi jalan kemudahan dan keamanan di dalam menjalankan misi imperialismeekologinya.
Menurut Mansour Fakih (2001), di dalam konteks negara-negara dunia ketiga, pembangunan sebagai salah satu paradigma dan teori perubahan sosial dewasa ini mengalami kegagalan dan tengah berada pada masa krisis. Kegagalan dan krisis tersebut terjadi akibat dari tidak pernah tercapainya fungsi dan tujuan dari pembangunan tersebut, yaitu untuk dapat menciptakan kesejahtraan, pemerataan, dan keadilan. Sedangkan yang sering terjadi dari pembangunan tersebut malahan peningkatan kemiskinan, semakin melebarnya ketimpangan, ketidakmerataan dan kerusakan lingkungan.
Di Indonesia, kata “pembangunan” seolah lebih dieratkan dengan sebuah rezim Orde Baru. Kata Pembangunan di dalam konteks Orde Baru, erat kaitannya dengan discourse development yang dikembangkan oleh negara kapitalis barat. Sehingga pembangunan pada era Soeharto merupakan bagian dari ideologi “pertumbuhan”, di mana poin pertumbuhan ekonomi digenjot setinggi mungkin, tetapi dengan harga kerusakan SDA dan kesenjangan sosial yang terus dibiarkan, hingga akhirnya justru berbalik menghancurkan hasil-hasil pertumbuhan itu sendiri. Model pembangunan itulah, di era pasca-reformasi di Papua masih tetap digunakan baik oleh pemerintah daerah maupun pemeritah pusat.
Di dalam konteks Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Pemeritah Provinsi (Pemrov) Papua maupun pemerintah pusat berupaya memacu pertumbuhan pendapatan asli daerah (PAD) di Papua dengan menghadirkan perusahaan tambang di mana-mana, namun tanpa memerhitungkan kerusakan ekologi yang ditimbulkan.
Hal tersebut tak lain akibat dari kesalahan penafsiran tentang otsus itu, di mana keberhasilan dari pelaksanaan otsus hanya dimaknai ketika pemerintah daerah di Papua memiliki PAD yang tinggi dibanding daerah-daerah lainnya. Akhirnya muncul tendensi para bupati dan walikota di Papua melakukan pemaksaan pembangunan tertentu atas nama untuk peningkatan PAD dan mitos kesejahteraan yang dihadirkannya.
Adanya pemaksaan di dalam pembangunan, selain dipengaruhi kesalahpenafsiran tentang otsus juga disebabkan faktor persekongkolan gelap yang dapat memberikan keuntungan terhadap pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Papua beserta kroninya. Keuntungan itu diperoleh melalui deal-deal politik tertentu dengan para pengusaha dan investor untuk mendapat jalan kemudahan akses terhadap izin usaha pertambangan (IUP).
Timbal-baliknya pasti menguntungkan pemerintah pusat dan kepala daerah dan pengusaha/investor. Sedangkan rakyat Papua yang menanggung kerugian besarnya yang harus mereka terima, yaitu kerusakan ekologi hutan. Apalagi didorong dengan mahalnya biaya di dalam mengarungi setiap ajang kontestasi politik sekarang ini, yang semakin memiliki tendensi kuat munculnya perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha tersebut.
Buah dari pembangunan pertambangan tersebut yang terjadi malahan menciptakan bencana dengan rakyat menjadi korbannya, sedangkan hanya segelintir orang yang menikmati manfaatnya. Itu memperlihatkan praktik pembangunan yang mudarat.
Keadaan tersebutlah yang pelak membuat terjadinya berbagai mobilisasi gerakan sosial (gerakan anti tambang oleh masyarakat, baik yang ada di Papua maupun kelopok dispora) dengan tujuan melakukan penolakan terhadap pembangunan yang berusaha dihadirkan oleh pemerintah pusat maupun pemda di Papua.
Praktik imperialisme ekologi
Munculnya praktik imperialisme ekologi sekarang sedang menghantui negara-negara dunia ketiga yang memiliki SDA cukup besar, seperti Papua. Menurut Foster (2010) praktik imperialisme ini ditandai dengan berlangsungnya perampasan (perampokan dan pencurian) SDA oleh kekuatan dominan (dari negeri-negeri kapitalis maju) terhadap negeri-negeri yang terkebelakang dan mengubah secara drastis keseluruhan ekosistem di mana negara dan bangsa-bangsa itu bergantung. Gejala demikian disebutnya sebagai the ecological revolution.
Akibat yang ditimbulkan salah satunya adalah munculnya pemiskinan secara bertahap terhadap para petani atau masyarakat lokal di area pertambangan. Yaitu sebuah gejala di mana terjadi suatu perampasan yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar terhadap tanah-tanah milik suku melalui relasi jual-beli di bawah bayang-bayang tekanan dan represi dengan nilai di bawah rata-rata.
Ketiadaan lahan pertanian, telah membuat para petani tersebut harus beralih menjadi buruh tani atau pekerja kasar di industri pertambangan dengan upah rendah, dan pada saatnya mereka akan meratapi kemiskinannya. Keadaan tersebut yang membuat kehidupan para petani yang kehilangan lahan pertaniannya perlahan semakin terpuruk.
Itu terjadi akibat besarnya dampak lingkungan dan sosial yang mengalir ke dampak ekonomi yang harus dihadapi oleh para petani yang telah diciptakan oleh perusahaan pertambangan tersebut. Kemudian perusahaan tersebut seolah angkat tangan terhadap dampak yang telah diciptakannya, sedangkan pemda harus membuta hati melihat keadaan tersebut akibat tersandra oleh persekongkolan gelap. Dan di satu sisi program corporate social responsibility (CSR) yang dihadirkan oleh perusahaan hanya sekadar obat “pelipur lara” yang masih menyakitkan. Atau seperti sebuah makanan ringan (permen karet) yang diberikan kepada para warga sekitar agar mereka dapat terus dihisap darahnya.
Melihat kenyataan yang demikian, memperlihatkan bagaimana pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan yang telah menciptakan kerusakan lingkungan dan penyengsaraan masyarakat sekitar masih berpikir secara pragmatis. Pandangannya terbatas sekadar melihat alam berada di bawah kendali manusia, sehingga manusia dianggap bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan terhadap alam. Pemaksaan pembangunan yang terjadi akibat dari perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha ini harus segera diakhiri. Tanpa hal tersebut, maka kehancuran demi kehancuran siap menghadang dari apa yang dinamakan sebagai proses pembangunan.
Krisis kapitalisme
Selama kurang lebih 200 tahun, masyarakat industri kapitalis telah berkembang melalui berbagai aksi penjarahan dan penghancuran terhadap SDA yang ada di bumi ini. Imperialisme yang dalam pengertian Lennin merupakan tahap tertinggi dari kapitalisme telah berhasil menciptakan jalan bagi kapitalisme ke seluruh penjuru dunia.
Proses imperialisme yang dilakukan oleh negara-negara barat menjarah SDA negeri jajahan telah membuat ekonomi negaranya seperti sekarang ini. Maka tak salah kalau Mahatma Gandhi mengungkapkan bahwa kalau negeri yang dulu terjajah ingin menyamai ekonomi dari negara barat, maka negeri terjajah ini harus melakukan imperialisme selama 100 tahun dulu ke negara barat ini.
Begitu pula dengan bumi tandasnya, kalau dibiarkan dan tidak dieksploitasi secara membabi-buta juga pasti akan menjadi hancur sia-sia. Frame berfikir tersebut selaras dengan logika dari kapitalisme kontemporer. Artinya roda produksi harus terus bergerak, ekspansi modal harus terus diputar dan ekploitasi terhadap bahan mentah pun harus terus dilakukan. Ketika proses tersebut berhenti, maka terompet krisis kapitalisme pun ditiupkan.
Pola produksi dari kapitalisme yang bersifat anarkis memang telah membuat dunia sedang berada pada titik nadir. Berbagaikelangkaan terhadap bahan-bahan sumber daya alam yang tak terbaharukan seperti minyak, batu bara, logam dan bahan tambang yang lain telah semakin mendekat dikala pola kehidupan tetap seperti ini.
Maka para generasi penerus kita Papua punhanya akan menggigit jari karena tak dapat menikmati manfaat dari sumber-sumber kehidupan yang diciptakan dengangratis oleh bumi mereka (kita) ini sebagai akibat keserakahan dibalik selimut kompetisi kapitalisme.
Hal yang tak pernah lepas dari proses moda produksi kapitalisme selain kerusakan ekologi adalah sebuah proses proletarisasi dengan cara penyingkiran masyarakat terhadap alat-alat produksinya (primitive accumulation), perampasan hak-hak dasar hidup masyarakat yang hasil akhirnya adalah kemiskinan, penderitaan, dan penindasan.
Logika kapitalisme dan pembukaan ruang-ruang baru
Di dalam setiap produksi, pasti akan menimbulkan destruksi (Gorz, 2005). Misalnya, saat suatu perusahaan memproduksi kertas, prasyarat agar komoditas kertas itu terbentuk maka perusahaan harus menebang ribuan pohon sebagai bahan baku kertas serta memerlukan minyak sebagai penggerak mesin-mesin produksinya. Kenyataan tersebut membuat kapitalisme sangat memerlukan ruang-ruang baru sebagai penyokong terlaksananya akumulasi kapital selain sebagai cara untuk mengatasi krisis over akumulasi sebagai akibat dari badai resesi atau defresi yang deflasioner.
Harvey (2010) dalam teorinya tentang produksi ruang (production of space) mengungkapkan bahwa keberhasilan kapitalisme untuk memperpanjang nafasnya agar tak hancur akibat kontradiksi internalnya seperti yang diramalkan Karl Marx adalah melalui cara produksi dan reproduksi ruang-ruang ekonomi secara terus menerus dalam skala global (Das Kapital, 2004). Melalui cara tersebut kapitalisme mampu bangkit dari setiap krisis terberat sekalipun yang terus terhimpun di dalam setiap proses moda produksinya. Namun penjelasan Lavebre tersebut gagal di dalam menjelaskan secara tepat tentang bagaimana atau mengapa hal tersebut bisa seperti itu.
Kemudian David Harvey berusaha menjelaskan hubungan antara kapitalisme dengan produksi ruang tersebut melalui teori spatio-temporal fix yang dikembangkannya. Spatio-temporal fix ini merupakan suatu metafora bagi suatu jenis solusi terhadap krisis-krisis dari kapitalis lewat penangguhan secara temporal dan lewat ekspansi geografis.
Langkah yang dilakukannya adalah melalui produksi ruang, organisasi dari pembagian-pembagian tenaga kerja yang sepenuhnya baru secara teritorial, pembukaan kompleks-kompleks sumber daya yang baru dan yang lebih murah. Selain itu, pembukaan kawasan-kawasan baru sebagai ruang akumulasi kapital yang dinamis, dan penetrasi formasi-formasi sosial dan pengaturan-pengaturan institusional yang kapitalis menjadi cara-cara penting untuk menyerap surplus kapital dan tenaga kerja.
Oleh karena perbaikan terhadap sistem politik yang sedang belangsung di alam demokrasi Indonesia (baca Papua) sekarang ini, menjadi hal yang wajib dilakukan untuk dapat memutus jeratan imperialisme ekologi tersebut. Karena munculnya tindakan melenceng yang dilakukan para penguasa di pemerintahan terjadi akibat adanya keleluasaan yang telah diberikan oleh sistem atau struktur yang berlaku.
Selain itu penguatan kekuatan basis rakyat sangat perlu untuk didorong. Karena gerakan civil societydi Papua, termasuk mahasiswa, yang kuat akan menjadi oposisi yang cemerlang untuk mengontrol dan menekan pemerintah, agar tidak terjadi kerusakan ekologi Papua.
Tanpa hal tersebut maka yang terjadi adalah proses destruksi dengan mengatasnamakan pembangunan. Atau semakin memperbanyak potret gambaran keadaan neraka kecil di Papua. Salah satunya dapat kita lihat dengan panorama alam yang menyenangkan yang telah diciptakan oleh PT Freeport dan perusahaan lain yang ada di Papua dan juga berbagai rengekan kesengsaraan yang menyertainya.
Jika pemerintah pusat maupun pemda di Papua masih memaksakan kehendaknya, membangun tambang atau sejenisnya di Papua, dalam waktu singkat atau tidak berapa lama lagi Bumi Cenderawasih akan menjadi rusak berantakan. Pastinya, anak cucu tanah Papua akan menangis terisak-isak meratapi masa depannya.