JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Hutan di seluruh wilayah tanah Papua hingga kini terus mengalami nasib mengenaskan. Aneka korporasi raksasa di bidang pertambangan (mining), pembalakan (logging), kepala sawit (palm oil), dan lain-lain terus menggempur hutan bumi Cendrawasih. Akibatnya, laju kerusakan hutan (deforestasi) tak terbendung.
Data memperlihatkan, hutan yang masih utuh terdapat di wilayah Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara. Sedangkan di Sumatera, Kalimantan dan lain-lain mengalami kerusakan. Khusus di wilayah Papua selatan, potensi kehilangan sangat tinggi.
Di tanah Papua banyak industri besar yang bergerak di sektor tambang (mining), kayu (logging), sawit (palm oil), dan lain-lain. Kerusakan hutan paling tinggi akibat industri sawit, mencapai 2 juta lebih hektar. Kondisi itu bukan saja terjadi di selatan Papua namun menggempur hampir seluruh Papua.
“Kondisi hari ini, Papua hanya memiliki luasan hutan seluas 33 juta hektar. Untuk Papua Barat tersisa 8 ribu lebih hektar. Di wilayah Merauke, Nabire dan Sorong banyak ijin industri sawit. Total ijin terbanyak berada di delapan kabupaten,” ujar Direktur Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (Econusa) Papua Maryo Saputra Sanudin di Jayapura, Rabu (16/11).
Sanudin mengemukakan hal tersebut saat berlangsung Webinar bertema Peran Pemuda Dalam Melindungi dan Mengelola Hutan Masyarakat Adat di Tanah Papua dalam rangka Dies Natalis Pemuda Katolik ke-77 di Jayapura, Rabu (16/11). Webinar diselenggarakan Pemuda Katolik Komisariat Daerah (Komda) Papua bekerjasama dengan Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat (PP) Pemuda Katolik.
Tampil juga dalam webinar tersebut Ketua Komda Pemuda Katolik Papua Barat Yustina Ogoney, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) John NR Gobay, dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay, SH, MH.
Menurut Sanudin manambahkan, meski belum lama ini sebagian ijin telah dicabut ijinnya. Namun, ia mengatakan perlu diingat bahwa pemilik lahan terbesar di Indonesia adalah pihak swasta yang menguasi 98 hektar hutan. Mirisnya, kepemilikan hutan masyarakat adat sangat kecil, hanya mencapai 12,15 persen.
Kondisi ini, ujarnya, menuntut peran aktif pemuda terlibat bersama komunitas masyarakat adat di Papua dalam pendampingan maupun proses pembuatan kebijakan atau regulasi di sektor kehutanan.
“Pekerjaan rumah bersama baik Pemuda Katolik maupun pemuda lainnya ialah bagaimana agar ada pengakuan pemerintah terhadap hutan adat di Papua yang belum sepenuhnya memperoleh pengakuan pemerintah pusat. Karena itu, pemuda harus masuk ke lini pengambil kebijakan. Entah itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Mulai sekarang pemuda harus merebut peluang ini dengan membangun komunikasi dan konsolidasi,” katanya.
Pada Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke-VI di Kabupaten Jayapura, yang berlangsung pada 24-30 Oktober 2022, pemerintah pusat telah menyerahkan SK kepada masyarakat adat. Termasuk 23 hutan adat di Kabupaten Jayapura dan beberapa wilayah lain di Kabupaten Teluk Bintuni.
Yustina Ogoney dalam materinya mengajukan sejumlah catatan penting bagi generasi muda Papua terkait pentingnya peran mereka di wilayah tapal batas tanah adat, termasuk batas masing-masing marga.
“Artinya, teman-teman pemuda jangan lagi mengatakan bahwa urusan hutan adat ada pada orangtua. Saya mengajak pemuda-pemudi, ayo kita menyadari bahwa hutan adat itu adalah milik generasi penerus. Pemuda adalah pewaris hutan adat. Setiap anak muda di setiap marga minimal tahu batas-batas hak ulayatnya,” ujar Yustina.
Menurutnya, keterlibatan pemuda-pemudi dalam wilayah adat itu sangat penting. Para pemuda dengan tingkat pendidikan, wawasan yang luas, harus bisa menjadi pembela, advokat bagi masyarakat adat. Kembali ke dusun, wilayah adat masing-masing lalu melakukan pemetaan wilayah adat masing-masing.
Yustina mencontohkan seperti hutan masyarakat di Teluk Bintuni, khususnya wilayah adat marga Ogoney. Gerakan pemuda di wilayah itu sangat solid. Mereka terlibat dalam pemetaan wilayah hutan adat, sosialisasi peraturan daerah (Perda) hingga tahap usulan ke kementrian dan lembaga terkait. Buahnya, hutan masyarakat adat mendapat pengakuan negara.
“Pengakuan negara itu juga bagian dari peran pemuda. Memang harus diakui bahwa dalam perjuangan selalu ada dinamika. Namun akhirna berbuah hasil menggembirakan demi penyelamatan hutan masyarakat adat. Pengakuan pemerintah kepada masyarkat adat, marga Ogoney merupakan satu langkah maju,” kata Yustina.
Meski pengakuan itu di atas kertas, namun kata Yustina, hal itu belum benar-benar memberikan jaminan kepada masyarakat adat. Perlu adanya perencanaan program dan juga biaya agar masyarakat adat bisa mengelola hutan adatnya secara mandiri dan berkelanjutan.
“Adanya pemekaran provinsi baru di tanah Papua, tentu memberi peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat adat untuk tetap eksis di atas wilayah adatnya, terutama pemuda yang tentu diharapkan berdiri di garda paling depan. Pesan saya, mari pemuda, kita menjadi advokat bagi masyarakat adat di masing-masing wilayah adat kita,” lanjutnya.
Sementara itu, Emanuel mengatakan, eksistensi hutan masyarakat adat di Tanah Papua belum sepenuhnya dihargai negara. Padahal, eksistensi hutan masyarakat dan kepemilikannya sudah tertera dalam UUD 1945. Begitu pula putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012 mengakui esksitensi hutan adat masyarakat.
“Putusan itu menjadi bukti perlindungan negara terhadap hutan adat. Namun, fakta hari ini, tidak ada masyarakat adat yang dilibatkan dalam proses pemberian ijin hak pengelolaan hutan (HPH) maupun hak guna usaha (HGU). Banyak perusahaan cendrung dilabeli objek vital negara,” kata Emanuel.
John Gobay mengaku, sejak 2017 DPRP telah merancang dan mengusulkan kepada gubernur Papua sehingga terbit Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 5 tahun 2022 tentang Pengakuan, Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua dan disahkan Gubernur Papua tahun 2022.
“Para pemuda harus terus melakukan konsolidasi untuk mendorong terbentuknya Perdasi dan Perdasus lain. Pemuda perlu ingat bahwa tanah Papua sangat kaya dan orang Papua harus berdiri di atas tanahnya sendiri. Jangan buka ruang kepada orang lain. Kita harus kelola sumber daya alam di dusun dan kampung kita,” kata Gobay.
Melkior Sitokdana mengharapkan peran aktif pemuda melihat dinamika masyarakat adat, hutan dan alamnya yang terus mendapat pengakuan negara. “Upaya menjaga dan merawat hutan masyarakat perlu terus diperjuangkan bersama para pihak, stakeholder di tanah Papua,” ujar Sitokdana yang juga dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga saat membuka webinar. Diskusi dipandu Ketua Bidang Perempuan dan Anak Pengurus Pusat Pemuda Katolik Alfonsa Jumkon Wayap. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)