Oleh Dr Justin Wejak
Dosen Kajian Asia Universitas Melbourne dan Pemerhati Masalah Papua
TULISAN ini menyambung tulisan pertama saya berjudul Rekonsiliasi Papua: Apa Peran Australia? yang terbit di Odiyaiwuu.com, 27 Februari 2024. Saya memilih tema rekonsiliasi sebagai fokus tulisan bersambung tentang Papua dan lain-lain dalam beberapa waktu ke depan.
Tema ini saya pandang penting usai Pemilu serentak 14 Februari 2024. Tujuannya, membuka ruang dialog Papua-Jakarta menuju suatu pemahaman bersama tentang pentingnya rekonsiliasi. Proses dialog diharapkan dapat difasilitasi oleh para pemimpin eksekutif dan wakil-wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun daerah, dan melibatkan para pemuka dan masyarakat Papua.
Terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan Jokowi, dan dengan tagline ‘keberlanjutan dan penyempurnaan’ program-program kerja pemerintahan sebelumnya, memberikan secercah harapan bahwa tanah Papua akan terus dibangun secara fisik dan masyarakatnya diberdayakan.
Tugas pemerintahan baru tentu bukan semata membangun infrastruktur, melainkan memberdayakan masyarakatnya agar mereka menjadi benar-benar mampu berpikir sendiri dalam proses dialog menuju rekonsiliasi secara sukarela. Rekonsiliasi tak boleh dipandang sebelah mata; ia penting dalam memupuk stabilitas, persatuan, dan kemajuan berkelanjutan dalam suatu masyarakat.
Setelah terjadi gejolak dan konflik, proses rekonsiliasi menjadi kunci utama untuk membangun kembali kepercayaan, menyembuhkan luka, dan membangun kembali jalan untuk dilintasi ke depan. Hal ini mencakup pengakuan terhadap keluhan-keluhan sejarah, menerima inklusivitas, dan mendorong dialog terbuka dan jujur di antara berbagai faksi dan kelompok-kelompok kepentingan.
Keberhasilan rekonsiliasi Papua-Jakarta tidak sebatas diukur dengan tak terulangnya lagi kekerasan atau permusuhan tetapi juga dan terpenting membuka jalan bagi pembentukan lembaga-lembaga demokrasi dan civil society yang kuat.
Hal ini memungkinkan terjadinya integrasi perspektif yang beragam dan memastikan bahwa semua lapisan masyarakat Papua mempunyai kepentingan dalam, dan merasakan manfaat dari, proses itu.
Rekonsiliasi perlu untuk menciptakan tatanan sosial yang tahan banting dan harmonis, di mana setiap individu dapat hidup berdampingan, berkolaborasi, dan berkontribusi dalam menyejahterakan masyarakat Papua dan Indonesia pada umumnya. Luka Papua merupakan luka bangsa, dan dialog adalah proses yang tepat menuju penyembuhannya.
Jembatan emas dialog
Konflik Papua-Jakarta sudah berlangsung lama. Konflik itu rumit dan sensitif sehingga perlu pertimbangan cermat dan pendekatan holistik untuk mengakhirinya. Ketegangan Papua-Jakarta mempunyai akar sejarah, dan dipicu oleh perbedaan budaya, ekonomi dan politik. Berbagai upaya telah diujicoba untuk mengatasi konflik itu, dan kekuatan dialog diyakini sebagai jembatan emas yang menjanjikan.
Tulisan saya kali ini mengeksplorasi pentingnya dialog dalam menjembatani kesenjangan antara Papua dan Jakarta, menumbuhkan pemahaman, dan meletakkan dasar untuk hidup berdampingan secara damai dan saling menghormati. Hanya dengan demikian rekonsiliasi yang sesungguhnya —bukan asal-asalan di permukaan— tercipta dan bertahan.
Untuk memahami seluk-beluk konflik Papua-Jakarta, kita perlu mendalami konteks sejarahnya. Papua, yang kaya akan sumber daya alam, telah menjadi titik fokus eksploitasi ekonomi, sehingga menimbulkan ketidakpuasan yang meluas di kalangan penduduk asli.
Pengambilalihan Papua oleh Indonesia dari Belanda pada awal tahun 1960-an merupakan awal dari ketegangan. Latar belakang ketidakadilan historis telah memicu ketidakpercayaan yang mendalam antara penduduk lokal Papua dan pemerintah pusat Indonesia.
Banyak tantangan telah menghambat penyelesaian konflik Papua-Jakarta. Persoalan otonomi, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan kesenjangan ekonomi berkontribusi terhadap gejolak. Kegagalan upaya-upaya masa lalu baik di tingkat nasional maupun internasional justru menyoroti perlunya pendekatan baru dalam upaya mewujudkan perdamaian abadi.
Dialog berfungsi sebagai instrumen yang ampuh untuk menyelesaikan konflik, terutama dalam situasi yang rumit. Saluran dan jaringan komunikasi harus dibuka untuk memfasilitasi pertukaran perspektif sehingga memampukan masing-masing pihak menyuarakan keprihatinan mereka. Jalan dialog penting karena dapat meningkatkan empati dan pemahaman, mengatasi kesalahpahaman dan ketidakpercayaan akut.
Membangun platform dialog yang inklusif merupakan hal penting. Hal ini harus melibatkan perwakilan dari Papua, Jakarta, dan mediator asing. Mendengarkan dan mempertimbangkan suara-suara yang beragam menjamin pemahaman yang menyeluruh mengenai isu Papua dalam rangka menemukan solusi bersama. Dialog itu jalan, ia ibarat jembatan emas menuju resolusi damai.
Mediasi internasional
Mengingat kompleksitas konflik Papua-Jakarta, mediasi internasional dapat memainkan peran unik. Fasilitator pihak ketiga yang netral dapat memandu proses dialog, memberikan masukan-masukan dalam upaya penyelesaian konflik.
Pendekatan dialogis penting untuk memastikan bahwa kedua belah pihak memiliki kesempatan yang sama dalam mengungkapkan keprihatinan dan keluh-kesah mereka. Keterlibatan mitra asing juga dapat memberikan kredibilitas pada proses tersebut, dan menumbuhkan rasa kepercayaan dan keadilan dalam masyarakat.
Tak dipungkiri, aspek penting dalam konflik Papua-Jakarta berkisar pada kesenjangan ekonomi. Maka dialog Papua-Jakarta harus membahas pemerataan kekayaan yang dihasilkan dari kelimpahan sumber daya alam Papua.
Kerangka ekonomi yang transparan dan adil dapat membantu menghapus stigma dan keluhan lama dan berkontribusi dalam membangun kepercayaan khususnya Papua terhadap Jakarta.
Mengakui identitas budaya Papua yang unik, hak atas tanah, dan penentuan nasib sendiri sangat penting untuk membangun landasan kepercayaan. Dialog harus melibatkan komitmen untuk melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat, mengatasi ketidakadilan di masa lalu dan memastikan keterwakilan masyarakat Papua dalam proses pengambilan keputusan.
Persoalan pelanggaran HAM di Papua tidak bisa diabaikan. Dialog harus mencakup mekanisme akuntabilitas dan keadilan, mengatasi kekejaman di masa lalu dan memastikan perlindungan HAM di masa depan. Komitmen untuk menjunjung tinggi kebebasan sangat penting untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan dan inklusif.
Selain dialog formal, inisiatif pendidikan dapat memainkan peran penting dalam menghilangkan stereotip dan memupuk saling pengertian. Mempromosikan program pertukaran budaya, pendidikan sejarah, dan kampanye kesadaran dapat membantu menghilangkan kesalahpahaman dan membangun jembatan antara masyarakat Papua dan Jakarta.
Membangun kepercayaan adalah proses bertahap dan memerlukan upaya terus-menerus yang konsisten. Memulai langkah-langkah kecil untuk membangun kepercayaan dapat membuka jalan bagi dialog yang lebih luas.
Langkah-langkah ini dapat mencakup proyek ekonomi bersama, pertukaran budaya, dan upaya kolaboratif untuk mengatasi permasalahan mendesak seperti layanan kesehatan dan pendidikan.
Masyarakat adat Papua harus dilibatkan dalam proses dialog menuju rekonsiliasi. LSM, tokoh masyarakat, dan lembaga-lembaga akar rumput dapat bertindak sebagai perantara untuk memastikan bahwa suara masyarakat didengar dan hasil dialog sejalan dengan aspirasi masyarakat.
Penyelesaian konflik Papua-Jakarta memerlukan pendekatan multifaset. Dialog itu mercusuar harapan, menawarkan jalan menuju pemahaman, rekonsiliasi, dan perdamaian abadi.
Dengan mengatasi keluhan sejarah, kesenjangan ekonomi, dan isu-isu HAM melalui dialog yang inklusif dan transparan, Papua dan Jakarta dapat bergerak menuju masa depan di mana kepentingan dan aspirasi Papua dihormati dan dilindungi.
Komunitas internasional mempunyai peran penting dalam mendukung dialog Papua-Jakarta menuju rekonsiliasi, khusus untuk memastikan bahwa dialog itu benar-benar dipandu oleh prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan saling menghormati.