Oleh Yosua Douw
Kepala Kesbangpol Kabupaten Tolikara, Papua
ULASAN penulis merujuk judul opini di atas terinspirasi setelah mendengar, menyimak, dan mengikuti diskusi panjang di sejumlah grup WhatsApp terbatas, diskusi di media sosial di kalangan orang asli Papua (OAP). Diskusi hingga saling berbalas secara pribadi (japri) dan bertukar gagasan soal masa depan Papua hemat penulis sangat baik dan produktif.
Diskusi tersebut juga terjadi dan dibangun atas kesadaran kolektif sesama putera-puteri bumi Cendrawasih dengan semangat saling asah, asih, dan asuh sebagai generasi penerus bangsa di tanah Papua. Muaranya, masing-masing orang asli Papua menyadari sungguh bagaimana membawa Papua lebih baik lagi di masa akan datang dimulai dari sekarang.
Bagi penulis, dinamika ini sangat penting agar orang asli Papua senantiasa dapat menuangkan pemikiran cerdas dan kritis dalam mewujudkan perubahan di tanah Papua menuju masyarakat yang adil dan makmur, baik dari aspek pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan terbukanya akses infrastruktur daerah.
Tema besar
Persoalan Papua sejauh amatan penulis, terlihat dalam sejumlah tema besar dari aspek filosofis dan sosiologis. Pertama, sikap traumatik. Sikap traumatik yang dimaksud yaitu sikap kehilangan sumber daya alam. Hal ini berdampak terhadap rakyat pribumi yang mengindikasikan bahwa sumber daya alam yang dimiliki sesungguhnya belum signifikan membawa kesejahteraan bagi rakyat khususnya orang asli Papua.
Kedua, soal ASN. Masalah aparatur sipil negara (ASN) akhir-akhir ini adalah adanya pengangkatan ASN K2 dan honorer yang sering terjadi dan diikuti dengan aksi demonstrasi sebagai ekspresi ketidakpuasan. Ketiga, belum lahir pengusaha orang asli Papua yang mandiri dan handal.
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sudah berjalan selama 20 tahun tetapi belum nyata terlihat pengusaha orang asli Papua yang disiapkan secara mandiri dalam mengelola proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Kalaupun ada pengusaha orang asli Papua, mereka hanya mengerjakan proyek dengan maksimal pagu sebesar Rp. 2,5 miliar. Proyek dengan pagu di atas itu hanya rekan-rekan lain yang mengerjakannya.
Keempat, belum ada kader orang asli Papua dalam instansi vertikal. Faktanya, harus diakui bahwa sejauh ini belum banyak orang asli Papua yang bekerja di lingkungan Kejaksaan, Pengadilan, dan instansi vertikal lainnya.
Persiapan pengkaderan untuk menduduki jabatan Kapolda, Pangdam juga belum terlihat. Kalaupun ada, itupun mereka ditempatkan sebagai Kapolda atau Pangdam di tanah Papua. Artinya ruang lingkupnya baru sebatas itu.
Hal yang terlihat, lebih banyak orang asli Papua diarahkan ke ASN dan Kelola 2,5 M. Sementara ASN orang asli Papua belum pernah dikaderkan keluar Papua dan Papua Barat. Misalnya menjadi pejabat di provinsi lain di Indonesia.
Sampai di sini, muncul pertanyaan retoris: apakah ASN orang asli Papua hanya dapat bekerja di tanah Papua? Pertanyaan retoris lain, apakah kualitas ASN orang asli Papua diragukan? Tentu, kita juga berharap agar di masa akan datang ada ASN Orang asli Papua juga menduduki jabatan struktural di Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara atau provinsi lain di Indonesia.
Kelima, keterbukaan informasi publikk. Sejauh ini belum ada keterbukaan informasi publik dari pemerintah daerah, Badan Pusat Statistik atau Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Bappeda Kabupaten/Kota atau provinsi terkait dengan data real orang asli Papua yang produktif aktif.
Bagi penulis, jika ada perdebatan seputar daerah otonom baru dan otonomi khusus, silahkan dan sah-sah saja. Hal ini penting agar ada keseimbangan berpikir dalam memperjuangkan hak dasar orang asli Papua.
Dari sekian diskusi panjang selama ini terlihat ada beberapa kategori yang mengemuka. Masing-masing memiliki pandangan beragam sehingga perlu direspon secara positif sebagai bahan refleksi dan masukan berguna.
Mengapa? Karena dengan aneka cara pandang dan pola pikir (mindset) dan masing-masing orang asli Papua akan memperkaya wacana berpikir dalam memecahkan permasalahan dan mencari solusi yang tepat.
Dengan catatan, kita harus tetap konsisten dengan pandangan kita. Dalam kondisi demikian, justru sudut pandang dan sikap itu akan menstimulus, mendorong, dan membentuk banyak di antara kita menjadi matang, dewasa dalam membentuk kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional.
Pandangan beragam
Mari kita lihat dan bedah lebih lanjut pandangan beragam sejumlah kelompok berikut di Papua. Pertama, kelompok yang menolak otsus dan daerah otonom baru. Dengan pertimbangan dan ditunjukkan dengan sikap bahwa otsus tidak memberikan manfaat perubahan yang signifikan bagi orang asli Papua selama 20 tahun berjalan.
Kedua, kelompok yang meminta evaluasi pengelolaan dana otsus lalu menjalankan DOB dan otsus. Dengan pertimbangan sejumlah rekomendasi dari hasil evaluasi selama otsus berjalan selama 20 tahun di tanah Papua.
Ketiga, kelompok yang menolak daerah otonom baru untuk saat ini (DOB tunggu atau diundur) tetapi otsus boleh (tetap) dijalankan. Dengan pertimbangan Papua yang wilayah yang cukup kompleks, luas dan konsentrasi penduduk hampir rata-rata menyebar pada hak ulayat adat masing-masing (kurang berada atau konsentrasi pada satu titik daerah pembangunan) membutuhkan uang yang cukup besar untuk melaksanakan pembangunan daerah.
Keempat, kelompok yang menerima daerah otonom baru dan otsus. Dengan pertimbangan bahwa otsus dianggap berhasil mengantar perubahan di tanah Papua.
Semua kelompok dengan latar belakang pemikiran masing-masing ini memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Hal tersebut adalah sesuatu yang wajar dalam berdinamika di era demokrasi. Dalam kenyataan, saat ini daerah otonom baru dan otonomi khusus sudah disahkan dan akan berjalan di Papua sesuai konsep Jakarta.
Oleh karena itu, ada sejumlah hal sangat penting dan strategis yang perlu dipastikan orang asli Papua maupun anak-anak yang orangtuanya telah lama mengabdi di tanah Papua yang diakui sebagai orang Papua dan hari ini masih eksis .
Pertama, pastikan bahwa orang asli Papua menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang ada di tanah Papua. Kedua, pastikan eksekutif (ASN) aman untuk orang asli Papua dan orang Papua.
Ketiga, pastikan legislatif (DPR/DPRD) aman untuk kita. Ada dua pokok tawaran menjadi anggota parlemen itu hak OAP: (i) Pemilihan Umum Legislatif berjalan normal seperti aturan yang telah dibakukan terdahulu; (ii), pengangkatan kursi otsus.
Keempat, pastikan yudikatif Papua aman. Orang asli Papua dan orang Papua potensial mesti sudah siap untuk mengendalikannya. Kelima, pastikan adanya pengusaha atau pebisnis mandiri orang asli Papua dan orang Papua yang siap bersaing dan terlibat langsung dalam pengerjaan berbagai proyek pemerintah dan dunia bisnis lainnya.
Keenam, pastikan orang asli Papua dan orang Papua pucuk pimpinan OKP, Ormas, dan LSM yang memiliki konektivitas dengan lembaga donor dari luar negeri yang bekerja di berbagai bidang kehidupan.
Ketujuh, pastikan adanya partai politik (parpol) lokal di Papua seperti di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kedelapan, perkuat Lembaga Masyarakat Adat asli Papua. Kesembilan, perkuat Gereja (Agama) bagi Orang asli Papua.
Catatan kritis ini diharapkan menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan di Papua. Kita boleh berbeda pendapat tetapi kita harus saling memberikan penguatan guna memajukan tanah Papua ke arah yang lebih sejahtera, aman, dan damai. Tuhan memberkati.