INDONESIA adalah negara yang dibentuk oleh keragaman budaya, tetapi dalam praktik kekuasaan nasional, satu budaya tampak begitu dominan: budaya Jawa. Di antara warisan budaya itu, terdapat satu cara komunikasi yang khas dan mencolok: budaya kode Jawa—sebuah gaya bertutur yang tidak langsung, penuh isyarat, dan menyamarkan maksud di balik kata-kata yang halus. Dalam budaya ini, berbicara terus terang dianggap tidak sopan, bahkan kasar. Maka, orang lebih memilih menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang dibungkus kerendahan hati, meski maksudnya bisa sangat tajam atau bahkan menusuk.
Budaya kode ini tumbuh dari nilai-nilai luhur seperti rukun, tepa selira, dan ewuh pakewuh. Namun dalam praktik kekuasaan, budaya ini menghadirkan persoalan. Ketika elite politik—yang sebagian besar berasal dari latar belakang Jawa—membawa gaya ini ke ruang pemerintahan, maka komunikasi politik pun ikut terwarnai. Banyak kebijakan disampaikan dengan bahasa yang mengambang. Pernyataan sikap dibuat setengah hati. Kebenaran dikaburkan dengan kata-kata manis. Apa yang tersurat sering kali bertolak belakang dengan yang tersirat.
Alih-alih menjadi sarana menjaga keharmonisan, budaya kode Jawa dalam kepemimpinan justru bisa berubah menjadi alat penyesatan publik. Di tengah tuntutan demokrasi yang menuntut transparansi, budaya ini digunakan untuk menghindari kejelasan sikap, menutup-nutupi kegagalan, bahkan menyembunyikan kesalahan. Bahasa tidak lagi menjadi jembatan pemahaman, tetapi menjadi pagar halus yang membatasi rakyat dari kebenaran.
Di sinilah budaya kode Jawa menimbulkan dilema. Di satu sisi, ia mencerminkan kecanggihan sosial dan kesantunan dalam berinteraksi. Tapi di sisi lain, ia juga bisa menjelma menjadi bentuk kemunafikan politik—sebuah seni menyembunyikan kuasa di balik kesopanan. Pemimpin terlihat lembut, tetapi membiarkan ketidakadilan terjadi. Tampak tersenyum, tetapi menghindari tanggung jawab. Rakyat dibuat bingung, bahkan kehilangan kepercayaan karena mereka harus terus-menerus menerka maksud sebenarnya dari kata-kata pemimpinnya.
Karena itu, memahami budaya kode Jawa bukan sekadar soal kepekaan budaya. Ini adalah kebutuhan untuk bersikap waspada secara politik. Rakyat harus belajar membaca di balik simbol dan bahasa. Sebab dalam sistem kekuasaan kita hari ini, tidak semua yang terdengar santun itu tulus, dan tidak semua yang halus itu adil. Budaya kode bisa menjadi cermin kearifan, tetapi juga bisa menjadi topeng kekuasaan yang manipulatif.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang bukan hanya halus tutur katanya, tapi juga jujur niatnya dan tegas tindakannya. Sebab kekuasaan yang disampaikan dengan bahasa berlapis sering kali hanya menyisakan kebingungan dan kekecewaan. Dan rakyat, pada akhirnya, butuh kejelasan—bukan sekadar kesantunan. (Editor)