Ir Elias Pigome, ST: Berniat Jadi Pastor, Merasul di Dalam Perut Nemangkawi - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
Sosok  

Ir Elias Pigome, ST: Berniat Jadi Pastor, Merasul di Dalam Perut Nemangkawi

Ir Elias Pigome, ST, Chief Engineer UG Geotechnical Services PT Freeport Indonesia. Foto: Istimewa

Loading

Ia lahir dari sebuah keluarga sederhana. Orangtuanya petani kecil di pedalaman Deiyai, Papua Tengah. “Saya lihat teman-teman ke sekolah pake seragam. Tuhan sungguh Ajaib. Berkat doa dan usaha kami sekeluarga, saya berjuang hingga meraih gelar sarjana,” ujar Elias Pigome.

DI TENGAH kebun, Elias merenung. Pertanyaan terus berkelebat. Apakah kedua orangtuanya, Benidiktus Pigome dan Paola Waine, mampu menyekolahkan dia bersama adik-adiknya. Akses pendidikan kala itu sangat sulit. Elias kecil juga masih mengenakan koteka namun keinginannya menjulang agar segera berseragam sekolah seperti teman-teman seusianya.

Elias menyemangati dirinya dan bertekad berjalan kaki ke kampung lain sekadar meneruskan sekolah dasar. Apalagi bukan butuh satu atau dua jam tetapi lebih dari dua hari berjalan kaki ke kampung tetangga. Namun, kalimat ‘sekolah itu penting’ muncul begitu saja dalam benaknya dan diyakini sebagai suara Tuhan. Tuhan menunjukkan jalan kasih-Nya bagi keluarga Elias Pigome.

“Bapa dan mama saya petani kecil. Mereka tinggal dan mengolah kebun milik mereka di kampung, baik kebun di Wogaida, Kampung Wagomani dan di Pekopa, Dusun Kebodagi, Kampung Widuakiya, Distrik Tigi Barat serta bersama keluarga Martinus sebagai orangtua di Epodoba, Kampung Mauwa, Distrik Kamuu, Dogiyai,” ujar Ir Elias Pigome, ST kepada Odiyaiwuu.com dari Waghete, kota Kabupaten Deiyai, Papua Tengah, Rabu (7/12).

Niat sekolah

 Semasa bocah, Epi —sapaan akrab Elias Bidaugi Pigome— tenggelam dalam rutinitas kedua orangtuanya di pedalaman Papua tepatnya di Kampung Kebodagi, Distrik Tigi Barat, Deiyai. Epi menghabiskan masa kecil di tengah kebun dalam alam Deiyai mempesona. Ia mengaku, sebelum melangkah masuk SD masih mengenakan koteka kecil.

“Saat itu, saya melihat anak-anak lain ke sekolah. Suatu hari, saya dalam hati saya muncul pikiran bahwa sekolah itu penting. Lalu, sambil menangis di depan bapa dan mama saya minta untuk sekolah. Dorang dua setuju lalu saya lap air mata saya,” kata Epi, sarjana Teknik Pertambangan lulusan Universitas Trisakti, Jakarta dan tokoh muda Papua Tengah asal Deiyai kelahiran 15 April 1986 mengenang.

Namun, sang bunda Paola Waine, mengusulkan agar nanti Senin minggu depan baru pigi sekolah. Pas hari pertama masuk. Tak ada alasan mengapa mesti minggu depan baru Epi diijinkan masuk sekolah dasar. “Mama diam-diam pergi ke Mowanemani, ibu kota Distrik (kecamatan) Mowanemani (kini kota Kabupaten Dogiyai). Mama jalan kaki selama dua malam hanya untuk beli baju, celana, buku, dan bolpen untuk saya pigi sekolah,” ujar Epi dengan intonasi suara rendah.

Epi mengaku tahun 1990 adalah pengalaman mengharukan bagi dirinya sebagai seorang anak kecil yang lahir dan berada di tengah keluarga dan jauh dari akses pendidikan. Karena itu, saat sang bunda berjalan kaki pulang-pergi dari kampung di Deiyai menuju Mowanemani selama dua malam, menjadi pengalaman yang membekas hingga  saat ini.

“Saat seragam dibeli mama saya sangat senang. Bersama teman-teman sesama anak kampung yaitu Yakobus Pigome, Yulianus Pigome dan Piet Pigome serta Andriana Pigome dari Kebodagi kami masuk kelas 1 di  SD YPPK Wagomani. Di sekolah ini sudah ada Yulianus Pigome. Dia sudah kelas 3,” ujar Epi menambahkan.

Semangat belajar anak-anak kampung ini menyala-nyala. Di tengah berbagai keterbatasan terutama soal biaya pendidikan tak memadamkan semangat mereka.  Epi mengaku terus belajar di bawah bimbingan guru-gurunya.

Kata-kata saat ia masih berada di tengah kebun: ‘sekolah itu penting’ selalu terngiang. Epi dan teman-teman akhirnya merampungkan studi di SD YPPK Wagomani tahun 1996. Epi bersama teman-temannya berhasil menuntaskan sekolah dasar setelah melewati aneka tantangan, terutama biaya sekolah.

Cari tempat lain

Semangat dan niat melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi tak pernah hilang. Epi masuk SMP Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Waghete. Berjalan ke Waghete, (saat ini) kota Kabupaten Deiyai, ia mencatatkan diri sebagai siswa baru.

“Kita sudah daftar hari pertama. Saya kemudian bermalam di rumah salah satu keluarga. Saat bangun pagi, tuan rumah menyampaikan pesan kepada saya. ‘Adik Elias nanti cari tempat (rumah) lain untuk tinggal.’ Saya menangis,” ujar Epi.

Epi sangat terpukul. Ia sempat putus asa karena tidak ada tempat tinggal untuk melanjutkan pendidikan di SMP YPPK Waghete. Tahun 1996, ia memutuskan keluar dari sekolah itu lalu kembali ke kampung halaman di Kebodagi.

Tak lama berselang, ia menceritakan, suatu waktu muncul keinginan merantau ke luar kampung. Pilihannya, Obaibega, salah satu kampung di Distrik Kamuu Selatan, Kabupaten Dogiyai. Di kampung itu ia tinggal dengan kerabat kurang lebih satu bulan.

“Saya dan seorang teman pergi ke Epiyomakida dan tinggal selama tiga minggu. Di sini, saya dan teman ini berbaur dengan masyarakat setempat untuk ikut memasang atap Gereja Katolik pakai alang-alang,” katanya.

Dari Epiyomakida Epi kembali lagi ke Obaibega. Kerinduan dan niat melanjutkan sekolah selalu muncul. Remaja Epi berpikir lalu mulai mengumpulkan kayu bakar untuk dijual dengan harapan dapat melanjutkan pendidikan. Dari hasil jual kayu bakar, ia meraup keuntungan Rp 100 ribu lebih.

Pada Desember 1996 Epi bertemu rekannya, Agus. Agus menyampaikan ke Epi, ia hendak ke Mauwa. Tanpa pikir panjang Epi menemani Agus ke Mauwa lalu bermalam di rumah Martinus Tebai dan Belandina Pigome.

“Suatu malam Agus menyampaikan ke Martinus kalau saya berkeinginan besar melanjutkan pendidikan ke SMP dan pernah juga sekolah di SMP di Waghete. Tapi, di sana tidak ada tempat tinggal sehingga saya berhenti. Saat itu, Martinus langsung bilang, siap-siap agar tahun depan (1997) masuk di SMP Negeri 1 Mowanemani dan dibiayai oleh Keluarga Martinus,” ujar Epi, tokoh muda yang hobi membaca, menulis, berdiskusi, dan naik gunung.

Menurut Epi, ia kemudian meninggalkan Mauwa menuju Mowanemani. Sembari sekolah di SMP Negeri 1 Mowanemani, ia nyambi belajar dan membantu memelihara sekaligus menjual kelinci untuk membayar biaya sekolahnya. Usaha kelinci itu dirintis Ir Tebai, pemilik Yayasan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Perindustrian Mowanemani (YP5). Epi akhirnya lulus SMP Negeri 1 Mowanemani tahun 2000.

Pelayan Sabda

Dari Mowanemani, semangat Epi menjulang lalu ia menuju Timika, kota Kabupaten Mimika. Ia masuk SMA Negeri 1 Mimika Timur (kini SMA Negeri 1 Timika) hingga lulus 2003. Saat duduk di kelas 3, ia mendengar kabar ada seleksi masuk seminari. Epi tak menyia-nyiakan kesempatan itu karena sejak SD ia memendam cita-cita menjadi pastor, pelayan Sabda.

“Saat itu, saya siswa pertama yang daftar untuk masuk seminari. Namun, tiba-tiba guru agama saya bilang, Elias dari Suku Mee dan suku Mee itu banyak pastor. Jadi, saat ini pastor dan guru Agama Katolik diprioritaskan bagi anak-anak muda dari Suku Amungme dan Kamoro. Saat itulah saya jatuh air mata karena cita-cita jadi pastor kandas,” ujar Epi sembari tertawa.

Meski kandas masuk seminari, Epi untung karena berniat masuk sekolah calon pilot. Celakanya, saat ini, seleksi masuk pilot berlangsung di Dok 9 Jayapura. Ia tak punya cukup uang naik pesawat ke Jayapura. Sehari kemudian, ia bertemu kerabatnya, Melkias Pigome. Melkias siap mencari jalan keluar agar ada biaya tiket ke Jayapura.

“Melkias bicara dengan Alpius Pigome untuk belikan saya tiket ke Jayapura. Saya berpikir kalau lulus tes saya akan dibiaya Lembaga Pendidikan Masyarakat Irian Jayara, LPMI. Saat itu, LPMI sedang bersiap untuk berubah jadi Amungme Kamoro atau AMOR sebelum akhirnya jadi LPMAK. Sayang, saya gagal tes pilot karena tinggi badan kurang 3 cm. Saya benar-benar terpukul karena gagal lagi,” kata Epi.

Dari Jayapura, Epi kembali ke Timika. Ia merasa sedih karena cita-cita jadi pastor atau pilot seperti menggenggam angin. Namun, di saat bersamaan ada jalan Tuhan. Melalui Anton Ukago, Epi disarankan melamar ke PT Freeport Indonesia. Kalau diterima bisa saja satu waktu ada peluang untuk ijin dari perusahaan melanjutkan kuliah dengan biaya sendiri.

“Mulai hari ini (2003), ko (Anda) cari kerja di Freeport. Setelah jadi karyawan tetap ko biaya sendiri pergi ke Jawa untuk kuliah di sana. Tapi, ingat satu waktu Distrik Tigi dimekarkan jadi Kabupaten Deiyai. Di sana ko siapkan diri masuk calon dan kalau mendapat restu Tuhan dan dukungan warga, ko bisa jadi Bupati atau Wakil Bupati Deiyai,” kata Epi mengulang kata-kata Ukago.

Doa dan dukungan Ukago adalah jalan Tuhan. Juni 2004, Epi jadi kandidat Pra-Magang (Pre-Apprentice) di Institut Pertambangan Nemangkawi, Freeport. Program ini saat itu menerima 32 calon anak muda dari tujuh suku asli yaitu Suku Amungme, Kamoro, Damal, Dani, Moni, Nduga dan Mee. Bulan Juli Epi mengikuti tes wawancara yang dilakukan apprentice admin.

“Saya ingat betul pertanyaan pertama Pa Theo Wamafma, Rona Rumsarwir, dan Dennij Rumayomi. ‘Mengapa tertarik menjadi apprentice admin? Coba ceritakan!’ Saya jawab singkat. Demi masa depan yang lebih cerah. Pertanyaan selanjutnya soal komponen komputer. Saya jawab enteng kecuali saya lupa hard disk,” ujar Epi.

Peluang kian terbuka

Epi menceritakan, pada April 2005, ia mendapat kesempatan on job training, OJT di drill and blast engineering, Grasberg Operation. OJT berlangsung selama dua tahun sebelum proses transfer dari apprentice admin menjadi karyawan permanen Freeport, tepatnya 13 November 2006.

“Saya berdiam diri dan khusuk dalam doa. Saya sungguh menyadari karya Tuhan Ajaib melalui doa saya dan kedua orangtua di kampung. Sejak itu, saya memberanikan diri memohon kepada pimpinan untuk disekolahkan melalui Program Scholarship dari Quality Management Services, QMS (kini Learning and Organization Development, LOD). Pimpinan menyetujui dan pikiran saya langsung ke Jakarta meski tak pernah bayangkan seperti apa nanti kalau sudah di Ibukota,” kata Epi.

Tahun 2007 Epi tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten. Tiba di bandara ia bingung. Maklum tidak ada keluarga atau kerabat. Air matanya jatuh karena tak bertemu satu pun orang Papua. Tiba-tiba muncul nomor baru masuk di handphone.

“Pemilik nomor itu tanya, ‘ade Epi sekarang di mana!’ Saya balik tanya, ini dengan siapa. ‘Ini dengan kakamu, Akulian Bobii’. Bobi saat itu di Yogyakarta. Saya sampaikan, lagi kesulitan di Jakarta. Dia bilang saya, sabar sebentar. Bobii hubungkan saya dengan Siprianus Bunai lalu kami bertemu di UKI Jakarta Timur. Saya lega karena sudah bertemu orang Papua di Jakarta. Saya cerita Bunai kalau saya mau ikut tes di Teknik Pertambangan, UPN Yogyakarta,” kenang Epi.

Dari UKI di Cawang, Jakarta Timur, Epi dan Bunai naik bus ke Grogol, Jakarta Barat untuk bertemu Luther Magal, mahasiswa senior asal Papua di Teknik Geologi, Universitas Trisakti. Bunai dan Luther menyarankan Epi tes masuk di Teknik Pertambangan, Universitas Trisakti.

“Saya putuskan tes masuk Universitas Trisakti dan diterima setelah panitia melihat nilai rapor SMA. Rencana Tuhan baik karena lewat doa dan usaha Bunai dan Luther tahun 2007 saya diterima di Teknik Pertambangan hingga meraih gelar S1 Teknik Pertambangan tahun 2012,” katanya.

Ke Lereng Nemangkawi

Usai merampungkan kuliah, Epi kembali meneruskan tugasnya di UG QAQC Engineering, kini Underground Geotechnical Services, GeoEngineering Divisi Freeport sejak tahun 2013 hingga saat ini. Sebelumnya ia sempat bekerja di surface mining, tambang terbuka. Awalnya, ia tertantang bekerja di tambang bawah tanah (underground) di dalam perut gunung Nemangkawi. Epi mengaku, bekerja di underground tidak sama dengan bekerja tambang terbuka.

“Saya kesulitan menghafal area kerja, akses masuk di underground. Saya berpikir dalam hati suatu saat akan saya bisa dan tahu area kerja underground. Saya terus belajar menghafal akses jalan underground dan bagaimana mekanisme kerjanya. Memang tidak mudah, penuh tantangan, dan resiko. Intinya, teliti dan tetap semangat belajar memperoleh ilmu. Saya bangga karena jadi pre-apprentice kemudian jadi apprentice. Ini cara saya merasul meski gagal jadi pastor,” ujar Epi.

Perjalanan panjang karir dan totalitas pengabdian Epi di bidang pertambangan membuatnya tetap ingat tanah kelahirannya, Deiyai. Berbagai kemajuan yang telah dicapai sejak Deiyai berdiri hingga kini dipimpin Bupati Ateng Edowai, melahirkan niatnya masuk dalam bursa Pilkada tahun 2024.

“Setelah berdoa dan berefleksi, saya memutuskan niat mengabdikan diri di Deiyai. Namun, jalan satu-satunya adalah lewat Pemilu. Saya berniat mendedikasikan ilmu dan pengalaman yang sudah saya peroleh selama ini. Deiyai mesti ditata lebih baik lagi. Saat ini, dunia sangat terbuka dan teknologi sudah sangat maju. Deiyai perlu terobosan baru dari tangan pemimpin dengan kualifikasi dan pengalaman  mumpuni,” ujar Epi.

Menurut Epi, niat ini tentu bukan sekadar basa basi namun ditopang berbagai faktor. Niatnya berpijak doa dan kerinduan besar agar masyarakat dan daerah itu selangkah lebih maju. Epi juga menegaskan, dalam refleksinya ia berkesimpulan Deiyai tak pernah kekurangan orang hebat dan pintar berhati tulus.

Meski demikian, topografi yang berat menjadi persoalan lain yang bukan hanya diselesaikan dengan topangan APBD II dan APBD I tetapi juga dukungan pemerintah pusat melalui APBN. Selama ini, generasi muda Deiyai dan Papua Tengah juga sudah membuktikan, meski berbagai kampung mapun distrik masih terisolasi dan jauh dari sentuhan anggaran mampu ditaklukkan banyak generasi muda melalui pendidikan memadai.

“Saya sudah meniatkan diri maju dalam bursa Pemilu tahun 2024 demi ikut memajukan tanah leluhurnya bersama masyarakat dan seluruh elemen. Bila Tuhan berkehendak baik, di tangan pemimpin yang tulus dan berjejaring luas Deiyai tentu selangkah akan lebih maju dalam slogan Deiyai untuk Semua. Ayo Sekolah, Ayo Kuliah!,” katanya. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Ir Elias Bidaugi Pigome, ST

Lahir           : Kebodagi,15 April 1986

Hobi  : menulis lepas, membaca, olahraga, adventure, dan volley

Motto Hidup: Manusia hidup untuk menghidupkan orang lain, maka berbagi kasih dan tegakkan kejujuran demi perubahan untuk bangsa

Pendidikan

  • SD YPPK Wagomani, Distrik Tigi, Deiyai, 1990-1996
  • SLTP YPPK Waghete, Deiyai, (sehari dan putus sekolah)
  • SLTP Negeri 1 Moanemani, Dogiyai, 1997-1999
  • SMU Negeri 1 Mimika Timur, Mimika, 2000-2003
  • S1 Teknik Pertambangan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2007- 2013
  • Profesi Insinyur Universitas Muslim Indonesia, Makassar, 2021
  • Insinyur Profesional Pratama, Persatuan Insinyur Indonesia, 2022 

Pendidikan informal

  • Pelatihan Komputer Skill di Mercy Training Center (MTC), 2002-2003
  • Institute Mining Nemangkawi as Pre-Apprenticeship, 2004-2005
  • Institute Mining Nemangkawi as Admin, Apprenticeship Program, 2005-2006
  • Kunjungan Kerja di LIPI Kebumen, Karang Sambung, Jawa Tengah, 2008
  • Kunjugan Kerja di PT Indocement, Jawa Tengah, 2008
  • Kunjugan Kerja di PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Palembang, 2009
  • Kunjugan Kerja di PT Timah, Bangka Belitung, 2010
  • Kunjugan Kerja di PT Aneka Tambang Pongkor, Bogor, 2010
  • Pelatihan Pengendalian Kualitas pada Proyek Konstruksi (Quality Control of Work) di PT MBT Bandung, 2015
  • Pelatihan dan Sertifikasi Pengawas Operasional Pertama, Kementerian ESDM, Jakarta, 2016

Pengalaman kerja

  • Institute Mining Nemangkawi as Pre-Apprenticeship, 2004-2005
  • Institute Mining Nemangkawi as Admin, Apprenticeship Program, 2005-2006
  • Drill-Blast Engineering Grasberg Operation, Freeport, as Engineering Technician, 2006-2012
  • UG Geotechnical Services (QAQC), GeoEngineering, Freeport, as Engineer, 2013-2018
  • UG Geotechnical Services, Freeport Company, as Chief Engineer, 2018-saat ini

Pengalaman Organisasi

  • Ketua Umum Forum Komunikasi Pelajar dan Mahasiswa Deiyai (Forkopmade) Se-Jawa-Bali, 2011-2013
  • Staf Strategis Himpunan Mahasiswa Teknik Tambang di Universitas Trisakti, 2010-2011
  • Pendiri dan Pembina Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Debey di Seluruh Indonesia (kini, Ikatan Keluarga Besar Debey Se-Tanah Papua) berkedudukan di Deiyai, Papua Tengah, 2009-sekarang
  • Sekretaris, Ikatan keluarga Besar Debey di Timika, 2006

Publikasi

  • Penderitaan Pendidikan di Pedalaman Papua, 2011
  • Optimalisasi Pengemboran dan Peledakan dengan Menggunakan Data Laju Pengeboran Langsung (IPR-Instantaneous Penetration Rate) di Tambang Terbuka, PT Freeport Indonesia (Internal Skripsi), 2013
  • Evaluasi Peningkatan Kualitas Grouting, Tambang Bawah Tanah PT Freeport Indonesia (Internal keinsinyuran), 2021

Penghargaan

  • Pembina Ikatan Keluarga Besar Debey, Timika, 2011
  • Penghargaan sebagai Senior Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Debey di Timika, 2021

Tinggalkan Komentar Anda :