Beriman Dalam Nalar dan Bernalar Dalam Iman - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Beriman Dalam Nalar dan Bernalar Dalam Iman

Yohan Jawang, mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan Bandung. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Yohan Jawang

Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan Bandung

IMAN dan nalar adalah dua aspek yang tidak dapat dipisahkan dari diri setiap orang. Manusia yang pada satu sisi sebagai pribadi yang beragama, tetapi di lain sisi manusia juga sebagai pribadi yang berpikir. Koherensi iman dan nalar menjadi urgen dalam membangun dan membentuk kehidupan manusia menjadi lebih baik.

Iman dan nalar yang pada hakikatnya adalah berbeda, tetapi sudah tentu keduanya tidak dapat dipisahkan. Iman adalah aspek yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang dengan apa yang diyakini. Tentu dalam hal ini tidak dapat dikesampingkan peran nalar di dalamnya.

Dalam pandangan Bosetti, (2009), iman dan nalar saling belajar satu sama lain. Iman dan nalar dapat berperan sebagai tapal batas bagi satu dengan yang lain. Kedua aspek ini sudah tentu memiliki peran yang penting dalam membangun dan membentuk kehidupan manusia agar bisa menjadi lebih baik.

Meski demikian, perkembangan teknologi dengan berbagai pemikiran baru, yang di satu sisi memberi harapan, namun di lain sisi menjadi tantangan dalam hidup beragama. Kenyataannya, iman sebagai inti dari hidup keyakinan seseorang kadang-kadang dipertanyakan.

Sejarah membuktikan, iman yang menjadi inti dari hidup spiritual seseorang sering dipertentangkan, karena dianggap abstrak dan tidak masuk akal. Demikian juga nalar, yang dengan berbagai perkembangannya, telah memunculkan berbagai konflik.

Menggugat iman

Hidup dalam dunia modern, manusia ditantang untuk bagaimana menjalani hidup seimbang. Sebagai orang beriman, manusia harus mampu mempertanggungjawabkan imannya. Sebagai makluk bernalar, manusia juga dituntut mengembangkan cara berpikir agar ia menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Sunarko, 2016) mengatakan, relasi (ketegangan) antara peristiwa wahyu dengan cara berpikir manusia, menjadi realitas yang tidak dapat terelakan lagi.

Sebagai manusia yang beriman, selalu ada tendensi untuk lebih mengunggulkan iman. Sebaliknya, sebagai manusia yang berpikir, ada pula tendensi dan selalu mengunggulkan akal budi oleh karena berbagai pencapaian di dunia ilmu pengetahuan. Berbagai kemajuan menjadi suatu tolok ukur di mana orang mulai berpikir kritis. Toh, semuanya dapat diatur oleh manusia, untuk apa harus beriman kalau ternyata iman tidak dapat memberikan sesuatu yang nyata.

Pada akhirnya iman dianggap sebagai ilusi bahkan dalam bahasa Karl Marx disebut sebagai candu masyarakat. Nalar menjadi aspek yang diunggulkan dengan berbagai pencapaian di segala bidang, terutama dalam bidang pengetahuan dengan munculnya mesin-mesin yang mampu “mengubah” wajah dunia menjadi sesuai dengan keinginan manusia.

Sanders (2004) menyebut, kita akan mengalami suatu masa, utamanya di dunia barat yang menghitung-hitung hari kekristenan kita, sehingga cadar di depan mata kita akan direnggut dan kita melihat ciri-ciri agama sebagai ilusi belaka.Akibatnya, manusia masa depan akan membelakangi begitu saja keyakinan mereka akan kekekalan.

Dalam pandangan Bartolomeus Samho, dkk (2019), rasionalitas modern berusaha menggugat dan membongkar keyakinan religius yang dianggap tidak masuk akal dan membebani intelektualitas. Karena perkembangan pemikiran yang kian modern, segala sesuatu dalam agama pun dipertanyakan dan bahkan iman digugat.

Kita melihat bagaimana fenomena dalam dunia yang kompleks ini. Cara berpikir yang semakin modern membuat manusia semakin mempertanyakan segala sesuatu yang ada. Gejala merosotnya pemahaman tentang akal budi tampak dalam sikap pesimis dan skeptis terhadap upaya mencari kebenaran (Sunarko, 2016).

Nalar yang kritis selalu membuka peluang kepada suatu sikap skeptik, yang akan selalu meragukan segala sesuatu yng tidak masuk akal. Nalar akan selalu menuntut bukti bukan sekedar abstraksi. Pikiran manusia sekarang lebih banyak melakukan pekerjaan, dengan apa yang dilakukan sebelumnya.

Suriasumantri (2001) mengatakan, keberhasilan dalam berbagai bidang, terutama dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, mau menunjukan dominasi dari kerja nalar manusia, sehingga tidak heran bisa iman selalu dipertanyakan.

Iman melampaui nalar

Dalam kajian teologis Henry Newman mendefinisikan iman sebagai tanggapan terhadap wahyu (Samho, dkk, 2019). Jelas apa yang diungkapkan Henry mengenai iman yang berarti menanggapi apa yang dipercaya yakni wahyu. Wahyu tidak dapat terlihat, dan karena itu perlu iman untuk mampu menangkap dan boleh merasakan atau mengalami wahyu. Boleh dikatakan bahwa iman hanya dapat dialami dalam iman itu sendiri.

Iman mengandung unsur subjektivitas karena iman berkaitan dengan pengalaman pribadi manusia yang berhadapan dengan Sang Ilahi (Samho, 2019). Hal ini mau menekankan intimasi dari pengalaman iman. Berbeda dari nalar yang hanya memerlukan pemahaman. Rasionalitas adalah instrumen penting bagi manusia untuk memahami realitas secara holistis dan konsekuen (Samho, 2019).

Dengan nalar atau rasio manusia bisa memahami apa yang sudah dan sedang terjadi dalam perspektif scientific. Nalar adalah instrumen yang sangat penting bagi manusia. Untuk berbuat atau melakukan sesuatu manusia perlu untuk berpikir. Nalar selalu membuka diri untuk pandangan-pandangan yang baru tapi juga kritis dan tidak begitu saja menerima sebagai suatu kebenaran yang mutlak.

Ciri khas nalar adalah selalu untuk mempertanyakan hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal sehat karena nalar selalu memerlukan sesuatu yang masuk akal. Meskipun demikian, dalam persoalan ini, perlu juga disadari bahwa iman merupakan aspek yang berhubungan dengan transenden; sehingga tidak begitu saja mampu dipahami oleh nalar.

Berbicara tentang iman tentu merupakan sesuatu yang abstrak. Hal ini bukan berarti bahwa iman merupakan sesuatu yang sia-sia. Iman menjadikan manusia semakin berakar dalam apa yang diyakininya, sedangkan nalar menjadikan manusia semakin pekah dan transformatif dengan daya pikir dan dapat menyesuaikan diri pada realitas dan kemajuan yang ada.

Perkembangan kemajuan yang semakin pesat dengan berbagai persoalan yang terus ada memang tidak dapat dielakan. Meski demikian, hidup sebagai makluk yang beragama sekaligus yang berpikir, menjadi suatu kepastian bahwa dua aspek ini tidak dapat dielakkan.

Iman akan membantu seseorang menjadi lebih menyadari kehidupan spiritualnya dan hubungannya dengan yang transenden; sedangkan nalar membantu seseorang mengembangkan kehidupan jasmani dalam hubungan dengan dunia modern sekuler.

Dalam kenyataan, iman dan nalar itu berbeda, tetapi perbedaan yang ada tidak harus menimbulkan pertentangan dan bahkan memisahkan. Karena hakikatnya, kedua aspek ini akan selalu melengkapi dan mendukung. Iman mendukung nalar untuk berpikir secara lebih baik. Sebaliknya, nalar dapat mendukung iman dalam membahasakan dan mempertanggungjawabkan iman.

Dengan demikian mengutip apa yang pernah diungkapkan Santo Agustinus yakni credo ut intelligam, intelligo ut credam (saya percaya untuk mengerti, saya mengerti untuk percaya) dapat menjadi suatu pernyataan menarik dalam membangun dialog yang terbuka antara iman dan nalar.

Tinggalkan Komentar Anda :