Judul : Seandainya Aku Bisa Menanam Angin
Penulis : Fawaz Al Batawy
Tahun Terbit : Cetakan II, Mei 2019
Penerbit : Buku Mojok, Yogyakarta.
Jumlah Hal. : xiv + 196 halaman (13 x 19 cm)
ISBN : 978-602-1318-95-9
BUKU ini menarik dan metaforis. Judulnya, Seandainya Aku Bisa Menanam Angin, terbit cetakan kedua tahun 2019. Terbit bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, sebuah momentum penting bagi dunia pendidikan tanah Air. Buku ini lahir dengan maksud si penulis mendokumentasikan apa pengalaman, pelajaran anak-anak yang ditemuinya di banyak tempat, agar tidak hilang (hlm. xi), tidak lupa bahwa guru-guru baik ada dalam diri anak-anak (hlm. xii). Pertanyaan pembaca lanjutan segera berkelabat: hal apa yang bisa kita pelajari dari anak-anak?
Fawaz, si penulis buku adalah seorang guru volunteer, sukarelawan di Sokola Institute. Sokolah Institute ini lebih beken dengan nama Sokola Rimba, sebuah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan untuk masyarakat adat di Indonesia. Buku ini berisi pilihan-pilihan kisah selama penulis bersama anak-anak dari Hutan Bukit 12, Jambi; Mumugu Batas Batu, Asmat, Papua; Sumbercandik, Jember; dan di Desa Karawana, Sulawesi Tengah. Buku ini menjadi semakin kaya karena dipadu bersama beberapa pengalaman dari Jakarta, Ambarawa, dan Yogyakarta.
Di Hutan Bukit 12, Jambi, anak-anak beragama adat yang lahir dengan stereotip bodoh, primitif, tidak beradab, tidak beragama dan sejenisnya, mempraktikkan bentuk toleransi yang setinggi-tingginya tanpa banyak tutur, langsung dengan praktik (hlm. 14-15). Juga soal kasih, tolong-menolong, dan persaudaraan (hlm. 48). Mereka menunjukkan kepada kita bagaimana menjalani hidup dengan menahan diri untuk tidak rakus, tidak egois, dan tetap memelihara hubungan selaras dengan lingkungan (hlm. 25). Kemampuan berimajinasi yang luar biasa akan menunjukkan kepada kita betapa hebatnya mereka yang lahir dari rahim tradisi lisan (hlm. 34).
Dari anak-anak Asmat di Mumugu Batas Batu, tanah Papua, kita belajar untuk menjadi polos dan apa adanya, seperti Tadius Bisaka (hlm. 72) dan Daniel (hlm. 96). Kita juga belajar bagaimana membuat diri bahagia, melepaskan beban dan memanfaatkan alam untuk itu (hlm. 80-81).
Dari kisah anak-anak kaki gunung Argopuro, Sumbercandik, Jember, Jawa Timur, kita menjadi paham dua hal. Pertama, bahwa ada di antara anak-anak yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena mereka istimewa. Bisa jadi karena keterbelakangan mental, penyandang disabilitas, dan sebagainya. Untuk mereka ini, mestinya ada pendekatan afirmatif (hlm. 132). Pendekatan afirmatif ini kurang dijumpai di dalam pendidikan kita yang menjunjung keseragaman.
Kedua, ada hal-hal dalam bangun pendidikan kita yang mesti ditinjau lagi. Dari kisah Utsman (hlm. 118), kehendak untuk membantu orang tua, yang memungkinkan dirinya terlatih untuk menguasai beberapa keterampilan dasar untuk hidup, berhadapan dengan aturan-aturan baru yang melarang anak-anak bekerja, kecuali belajar dan bermain. Bahkan, membantu orang tua bisa jadi akan terkait dengan jargon hak asasi manusia, khususnya hak anak. Anak-anak di bawah umur dilarang untuk dipekerjakan.
Sehingga, betul apa yang dikatakan Pak Riki, seorang guru. “Kalau anak-anak kami dilarang membantu kami, terus nanti kalau mereka sudah besar, bagaimana bisa bekerja, Mas? Kan, di sekolah nggak ada pelajaran cari rumput, cari kayu bakar, petik kopi, merawat kebun,” ujarnya (hlm. 126).
Dari aneka kisah otentik bersama anak-anak dari berbagai daerah ini, ada tiga hal yang, menurut saya, menjadi penekanan Fawaz. Pertama, soal hierarki yang terbangun di dalam sekolah: hierarki guru-murid. Hierarki ini menampilkan guru sebagai yang serba tahu dan murid sebagai kertas kosong yang diwajibkan menampung pengajaran. Sistem ini bisa jadi membunuh semua kekayaan anak-anak yang unik dan tak terduga yang, mestinya malah mendapatkan pupuknya di sekolah.
Kedua, soal pendidikan kontekstual. Meminjam kata-kata Ki Hajar Dewantara, sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia harus disesuaikan dengan kepentingan rakyat, nusa dan bangsa. Pun kepentingan hidup kebudayaan dan hidup kemasyarakatan dalam arti seluas-luasnya. Maka harus diingat adanya perbedaan bakat dan keadaan hidup antara anak didik yang satu dengan yang lain (daerah pertanian, perdagangan, pelayaran, dan lain-lain). Maka perlu diadakan diferensiasi untuk memperbesar kemanfaatan bagi anak didik, maupun bagi masyarakat dan negara.
Ketiga, ajakan Fawaz untuk membumi, melihat dari dekat dengan berbaur dengan masyarakat kita, di manapun kita hidup. Mari kita memahami apa yang mereka hidupi. Dengan ‘turun ke bawah’, semoga kita menemukan landasan bagi bergunanya semua ilmu yang kita miliki. Karena kata Tan Malaka, bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tingi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.
Peresensi Bastian Tebai
Guru SMP YPPK St Fransiskus Asisi Moanemani, Dogiyai, Papua