JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Dewan adat dan masyarakat tujuh wilayah adat di tanah Papua menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Wakil Presiden Eksekutif Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Octovianus Mote.
Apresiasi dialamatkan karena Mote telah menyampaikan penderitaan dan harapan bangsa Papua dalam Forum Sidang Bangsa Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat pada Jumat (25/4).
“Saya mewakili masyarakat tujuh wilayah menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada tuan Octovianus Mote yang telah menyampaikan penderitaan dan harapan bangsa Papua dalam Forum Sidang Bangsa Pribumi PBB di New York pada Jumat, 25 April,” ujar Ketua Dewan Adat Papua Dominikus Sorabut melalui keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Minggu (27/4).
Dominikus Sorabut mengajak masyarakat adat Papua untuk bangkit membela, melindungi, dan mempertahankan harkat serta martabatnya dari ancaman yang terjadi pada mereka. Teruslah membela dan mempertahankan kekayaan alam Papua.
Selain itu, ia juga mengajak masyarakat adat setia dan konsisten dalam tugas dan perannya masing-masing, bergerak bersama menyelamatkan alam dan manusia Papua dari ancaman kolonialisme, kapitalisme dan militerisme. “Semoga Tuhan, sang Pemilik dan pencipta manusia memberikan kekuatan kepada semua orang Papua,” katanya.
Sementara itu Octovianus Mote mengatakan, saat ini rakyat West Papua berada dalam ancaman genosida, ekosida, dan etnosida membahayakan. Mote dalam forum tersebut menyampaikan bahwa di Pasifik sedang memasuki tahun kritis dalam perjuangan kolektif melawan kekuatan kolonial yang terus merajalela di tanah kita.
“Papua Barat, di bawah logika kolonial yang sama, rakyat kita kini menghadapi genosida, etnosida, dan ekosida. Bukan hanya kata-kata tetapi didukung hasil penelitian kalangan akademis, dan organisasi hak asasi manusia seperti Piagam HAM dan Badan Perjanjian PBB serta diakui oleh berbagai pelapor khusus PBB,” ujar Mote dalam sidang tersebut.
Menurutnya, akar kolonialisme di Papua Barat adalah rasisme. Sebuah laporan yang diterbitkan tahun ini oleh kelompok HAM mengungkap secara rinci bagaimana negara Indonesia telah melakukan rasisme sistemik terhadap orang Papua. Pada 1 Mei 1963, hari Indonesia pertama kali menginjakkan kaki di tanah Papua hingga kini rasisme telah merasuki semua sendi kehidupan, melucuti martabat, hak, dan keberadaan masyarakat asli.
“Lima tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah menyerahkan sumber daya alam tanah Papua kepada berbagai perusahaan nasional dan global melalui mekanisme ombudsman dan mengorbankan hak dan kehidupan orang Papua,” ujar Mote.
Eksploitasi tersebut, lanjutnya, ditambah dengan pembagian paksa tanah Papua menjadi enam provinsi daerah otonom baru, meskipun ada protes besar-besaran dari rakyat. Di samping itu, Indonesia telah mengerahkan tiga batalyon di setiap distrik (kecamatan) yang dihuni kurang dari 50.000 orang.
“Sejak 2018, operasi militer ini telah menggusur lebih dari 80.000 penduduk asli Papua dari tanah air mereka sendiri. Berdasarkan hal ini dan berdasarkan prinsip tanggung jawab untuk melindungi, kami mendesak Dewan Keamanan PBB untuk memastikan penerapan hukum humaniter internasional melindungi warga sipil yang tidak bersalah di Papua Barat,” kata Mote.
Kedua, sejalan dengan agenda dekolonisasi PBB tahun 2021-2030, pihaknya menyerukan kepada Forum Tetap PBB yang menangani isu-isu masyarakat adat menindaklanjuti studi tahun 2013 tentang kolonialisme di Pasifik dalam lima tahun ke depan mengingat hal itu sangat penting.
“Seperti tahun sebelumnya, saya ingin menggemakan seruan dalam forum ini kepada Pemerintah Indonesia untuk menanggapi kekhawatirannya mengenai situasi di Papua Barat, khususnya konflik yang berdampak pada masyarakat adat,” kata Mote.
Pihaknya meminta forum mendesak Indonesia untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas dengan memberikan undangan resmi kepada pelapor khusus PBB tentang hak-hak masyarakat adat serta pemegang mandat prosedur khusus lainnya yang relevan. Tujuannya, melakukan kunjungan resmi ke negara tersebut dan menilai secara independen situasi hak asasi manusia di lapangan.
“Seruan ini mencerminkan meningkatnya kekhawatiran internasional yang dipimpin oleh negara-negara kepulauan Pasifik dan didukung oleh anggota kelompok Afrika, Karibia, dan Pasifik (ACP) serta Organisasi Negara-Negara Afrika, Karibia, dan Pasifik atau OACPS dengan lebih dari 80 negara anggota PBB mendesak Indonesia untuk mengizinkan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengunjungi Papua Barat,” ujarnya.
Selain itu, memberikan akses tersebut tidak hanya akan memperkuat kredibilitas Indonesia di masyarakat internasional, tetapi juga menandai langkah penting membangun kepercayaan, memastikan akuntabilitas dan memajukan perdamaian di kawasan tersebut.
“Oleh karena itu, melalui forum ini, saat kami masyarakat adat Papua Barat menghadapi ancaman sangat serius, saya menyampaikan permohonan yang tulus kepada masyarakat internasional agar berdiri bersama kami di hadapan masyarakat Papua. Karena kedaulatan tidak diberikan kepada bangsa Papua,” kata Mote. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)