SETIAP kali tanggal 1 Mei tiba, negeri ini menyaksikan dua narasi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, negara Indonesia memperingatinya sebagai Hari Integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di sisi lain, banyak orang asli Papua memaknainya sebagai hari duka, hari hilangnya kedaulatan mereka, hari pencaplokan tanah leluhur ke dalam kekuasaan yang, bagi sebagian besar rakyat Papua, belum sepenuhnya memberi rasa keadilan, kedamaian, dan kebahagiaan.
Narasi negara menyebut 1 Mei 1963 sebagai momen resmi ketika pemerintahan atas Papua diserahkan dari Belanda kepada Indonesia melalui pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, narasi rakyat Papua mengingat tanggal itu sebagai awal dari penderitaan kolektif: marjinalisasi, diskriminasi, kekerasan bersenjata, serta penghilangan hak-hak politik dan budaya yang mereka warisi turun-temurun. Fakta sejarah tentang Perjanjian New York, UNTEA, hingga Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang dijalankan secara tidak demokratis, masih menjadi sumber luka sejarah yang belum disembuhkan.
Pro dan kontra ini tidak bisa terus-menerus diabaikan atas nama nasionalisme sempit atau stabilitas semu. Justru, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial, kita harus berani membuka ruang dialog yang jujur, terbuka, dan setara. Perbedaan tafsir sejarah tidak harus berujung pada saling membungkam atau mencurigai. Sebaliknya, perbedaan itu adalah titik awal untuk membangun pemahaman bersama yang lebih manusiawi dan bermartabat.
Negara tidak boleh memaksakan narasinya sebagai satu-satunya kebenaran sejarah, apalagi dengan pendekatan kekuasaan atau tindakan represif. Sebab, damai sejati di Papua tidak akan pernah lahir dari laras senjata atau dari upacara seremonial tahunan yang hampa makna. Damai sejati hanya akan tumbuh dari pengakuan jujur atas luka lama, penghormatan terhadap martabat orang asli Papua, serta pelibatan penuh mereka dalam menentukan masa depan di tanah leluhurnya sendiri—dalam kerangka yang adil dan setara.
Sebaliknya, rakyat Papua juga perlu terus memperjuangkan aspirasinya melalui cara-cara damai, dialogis, dan terbuka. Dunia terus berubah. Masa depan Papua tidak semestinya terus dibangun dengan narasi perlawanan, tetapi dengan upaya kolaboratif yang menyatukan kekuatan lokal, nasional, dan internasional demi satu tujuan: Papua yang damai dan rakyatnya yang bahagia.
Pada akhirnya, 1 Mei seharusnya tidak menjadi panggung klaim politik sepihak. Ia harus menjadi momen refleksi nasional—tentang relasi kuasa, tentang luka yang belum sembuh, tentang suara yang belum didengar, dan tentang masa depan yang masih bisa diperjuangkan bersama secara bermartabat.
Jika Indonesia sungguh ingin Papua menjadi bagian yang damai dan utuh dari republik ini, maka langkah pertama adalah menghormati cara rakyat Papua memaknai sejarah mereka sendiri. Dari sanalah, pintu rekonsiliasi sejati bisa dibuka, dan jembatan kepercayaan bisa dibangun ulang dengan kejujuran, kesetaraan, dan kasih yang nyata. (Editor)