Oleh Paskalis Kosay
Mantan Anggota DPR RI Dapil Papua
DALAM empat tahun terakhir eskalasi konflik dan kekerasan di tanah Papua cenderung meningkat mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban. Konflik dan kekekerasan diawali sejak 2 Desember 2018 di mana terjadi pembantaian terhadap 17 orang karyawan PT Istaka Karya di Kabupaten Nduga, Papua.
Insiden Istaka Karya tersebut memicu pecahnya konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang berlangsung sampai saat ini. Peristiwa tragis itu mengundang kecaman dari berbagai pihak kepada pelaku yang adalah kelompok kombatan dengan nama kelompok kriminal bersenjata (KKB) di bawah pimpinan Egianus Kogeya.
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden Joko Widodo kala itu langsung menginstruksikan Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengerahkan pasukannya untuk mengejar dan menumpas habis kelompok kriminal bersenjata di Nduga. Dalam rangka perintah penumpasan itulah, TNI dan Polri menggelar operasi militer dengan mengerahkan kekuatan maksimal pasukan TNI dan Polri di daerah konflik Nduga, kabupaten yang berada di bibir Taman Nasional Lorentz, taman nasional terbesar di Asia Tenggara seluas 2,4 juta hektar.
Saban perjalanan waktu, konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan TPNPB-OPM tersebut mulai menyebar di beberapa Kabupaten lain. Sebut saja Kabupaten Intan Jaya, Puncak, Mimika, Pegunungan Bintang di Papua hingga Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat. Dampak konflik bersenjata ini banyak memakan korban jiwa, harta benda, dan pembangunan daerah tersendat. Demikian pula korban sosial menimbulkan gelombang pengungsian dalam skala besar dari daerah konflik ke daerah lain di wilayah kabupaten terdekat maupun menyeberang batas negara tetangga Papua Nugini.
Pemekaran di tengah konflik
Di tengah konflik kekerasan Papua yang terus mengalami peningkatan berkepanjangan, secara mengejutkan pemerintah berupaya melakukan pemekaran beberapa provinsi baru di tanah Papua. Provinsi baru itu meliputi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Barat Daya. Semua calon provinsi baru itu menjadi inisiatif pemerintah pusat tanpa melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai penyambung aspirasi rakyat maupun Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan wadah kultural masyarakat tanah Papua.
Apa yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah pusat mengambil alih inisiatif untuk melakukan pemekaran provinsi di tanah Papua sudah bisa ditebak. Sepintas, bila diselidiki ada sejumlah alasan mendasar. Pertama, pemerintah ingin meminimalisir eskalasi konflik bersenjata di Papua. Dengan diperbanyak pemekaran provinsi maka semakin dipersempit ruang gerak TPNPB OPM atau kelompok lain yang disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata sehingga mempermudah TNI-Polri membuat pemetaan wilayah konflik untuk efektivitas pemantauan dan pengendaliannya.
Kedua, alasan politis. Pemekaran provinsi dibutuhkan karena alasan percepatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Alasan politis dan dan normatif ini malah akan membawa dampak buruk bagi eksistensi bagi orang asli Papua. Banyak analis, akademisi bahkan tokoh Papua mulai pesimis. Mengapa? Jika terjadi pemekaran provinsi baru malah akan mengancam posisi dan keberadaan masyarakat adat Papua.
Kekhawatiran lainnya ialah bakal muncul gelombang transmigrasi spontan dari luar Papua masuk lalu mendominasi atau mengisi ruang dan kesempatan pada wilayah provinsi baru. Sumber kekayaan tanah adat dan hutan adat bakal tergusur dan dikuasai oleh pemilik modal yang datang dari luar Papua. Masyarakat adat akan tersisih menjadi penonton di atas tanah ulayat sendiri.
Sekalipun dimekarkan menjadi beberapa provinsi namun tidak ada jaminan dapat meminimalisir konflik bersenjata. Konflik akan tetap muncul di setiap wilayah provinsi. Hal itu bakal terjadi karena akar soalnya tidak pernah disentuh sampai tuntas. Akar soal tetap seperti bara dalam sekam membara dan selama itu pula konflik bersenjata terus muncul di seluruh wilayah tanah Papua.
Oleh sebab itu para tokoh dan akademisi Papua mengharapkan, sebaiknya pemerintah pusat lebih fokus membangun dan mempersiapkan sumber daya manusia Papua melalui peningkatan kualitas pendidikan, layanan kesehatan, perbaikan gizi buruk, peningkatan ekonomi kerakyatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berpijak pada amanat Otonomi Khusus Jilid II dan Inpres Nomor 9 tahun 2020.
Sebaliknya upaya pemekaran provinsi justru menimbulkan masalah baru yaitu memaksa orang asli Papua masuk dalam lubang kubangan yang sama seperti dalam era Otonomi Khusus Jilid I. Dengan lahirnya Otonomi Khusus hasil revisi tahun 2021 diharapkan mampu membawa orang asli Papua menjadi lebih baik maju dalam segala aspek kehidupan.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah segera menjalankan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua serta Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Idealnya, upaya pemekaran provinsi dilakukan setelah dilihat dari kesiapan sumber daya manusia, kemajuan ekonomi, dan perkembangan daerah di masa depan bagi orang asli Papua. Setelah itu baru dilakukan pemekaran provinsi. Jika pemerintah pusat tetap memaksakan diri melakukan pemekaran provinsi baru, gelombang penolakan rakyat Papua bakal makin kuat menghadang.
Alasannya sederhana. Rakyat Papua merasa tidak pernah mengusulkan atau minimal dilibatkan dalam usulan pemekaran sejumlah provinsi di tanah Papua. Sebaliknya, usulan pemekaran justru datang dari sekelompok elit Papua yang mengatasnamakan rakyat setelah bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta.
Oleh karena itu sebaiknya, upaya pemekaran provinsi tidak perlu dilakukan terburu-buru. Namun, perlu disiapkan konsep dan grand design secara menyeluruh agar digunakan sebagai acuan dasar pemekaran di kemudian hari.