SEJAK Jumat lalu, dunia menyaksikan pecahnya perang terbuka antara Israel dan Iran—dua kekuatan utama di Timur Tengah—dengan eskalasi serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Israel melancarkan serangan udara ke jantung Iran, menghantam pusat riset nuklir, fasilitas militer, dan bahkan kantor penyiaran nasional di Teheran. Iran membalas dengan hujan ratusan rudal dan drone ke wilayah Israel. Dunia bertanya-tanya: apakah ini awal dari penerapan penuh Doktrin Dahiyeh terhadap Iran?
Doktrin Dahiyeh, yang dikembangkan militer Israel pascaperang Lebanon 2006, menekankan penghancuran infrastruktur secara brutal dan tidak proporsional terhadap wilayah musuh, termasuk kawasan sipil, sebagai strategi untuk menciptakan efek gentar dan pembalasan psikologis. Doktrin ini telah digunakan terhadap Hamas dan Hizbullah. Namun jika diterapkan kepada Iran, skalanya akan sangat berbeda—dan sangat berbahaya.
Iran adalah negara berdaulat dengan sistem pertahanan kuat, pengaruh regional luas, serta relasi dengan kekuatan global seperti Rusia dan China. Penerapan penuh Doktrin Dahiyeh terhadap Iran akan berarti menghantam pusat-pusat kekuasaan politik dan keagamaan, fasilitas sipil utama, bahkan tokoh-tokoh kunci negara.
Di sinilah muncul pertanyaan sensitif namun relevan: apakah Israel melalui doktrin ini berambisi membunuh Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran? Serangan presisi Israel ke Teheran, termasuk ke area-area elite dan strategis, memperkuat spekulasi bahwa Tel Aviv mungkin mempertimbangkan serangan terhadap simbol dan otoritas tertinggi Iran.
Secara strategis, menghabisi Khamenei akan menjadi pukulan simbolik dan politik terbesar bagi Republik Islam Iran. Namun, langkah semacam itu akan memicu ledakan tak terkontrol di kawasan. Iran bukan hanya negara, tetapi juga pusat jaringan perlawanan regional. Serangan terhadap pemimpinnya bisa memicu pembalasan terkoordinasi dari Hizbullah, milisi Syiah di Irak, Suriah, Yaman, hingga kemungkinan intervensi terbuka oleh Rusia atau serangan dunia maya oleh China.
Israel tentu menyadari risikonya. Doktrin Dahiyeh lahir dari logika militer asimetris—untuk menekan milisi, bukan negara besar. Jika doktrin ini dijalankan sepenuhnya terhadap Iran, bukan hanya kehancuran fisik yang akan terjadi, tetapi juga kehancuran tatanan hukum dan norma internasional.
Pilihan kini ada di tangan Israel. Menyerang simbol-simbol negara seperti Khamenei, fasilitas nuklir, dan infrastruktur sipil utama bukan hanya strategi perang, tetapi pertaruhan reputasi negara di panggung global.
Jika dunia membiarkan kekuasaan dijadikan alasan untuk merobohkan negara demi negara, pemimpin demi pemimpin, maka kita sedang menyaksikan lahirnya era baru kekerasan global yang dilegalkan. Perang tidak boleh menjadi ruang pembenaran untuk membunuh martabat sebuah bangsa. (Editor)