JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Dewan Gereja Papua (DGP), Minggu (18/8) mengeluarkan surat terbuka terkait pemasangan foto dan baliho pimpinan gereja di Tanah Papua pada 16 Agustus 2024. Pemasangan baliho itu disebut sebagai tantangan panggilan membangun kembali wacana dialog Papua tanah damai.
Moderator Dewan Gereja Papua Pendeta Benny Giyai dan Pendeta Dorman Wandikbo dalam surat terbuka tersebut mengatakan, dua hari terakhir Dewan Gereja Papua disibukkan ‘gambar para pimpinan Gereja di tanah Papua dipasang di baliho’ sejak Jumat (16/8).
“Hari Jumat (16/8) sekitar setengah tujuh pagi sejumlah pimpinan gereja dikagetkan berita baliho yang membawa gambar dan nama para pimpinan Gereja tersebut,” ujar Benny dan Dorman dalam surat yang salinannya diterima Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Minggu (18/8).
Dalam surat itu, keduanya juga mengatakan, setelah dicek foto-foto tersebut dipasang tanpa permisi, sama-sama menggelisahkan pimpinan gereja apabila balihonya dipasang pihak sebelah (tertentu) di titik yang sama pada tanggal-tanggal sesuai politiknya tanpa permisi. Benny dan Dorman dalam poin kedua surat juga menyebut, para pimpinan gereja mengalami kekerasan dalam perayaan 17 Agustus 2024
Selain itu, nama para pimpinan gereja juga dicatut dan dipasang di baliho pada Kamis (15/8) malam dengan ucapan “Selamat HUT NKRI yang 79 NKRI”, tepat pada saat kemerdekaan berpendapat orang asli Papua khususnya Komite Nasional Papua Barat (KNPB)di tanah Papua sedang dipasung TNI-Polri.
Baliho dengan foto wajah Pendeta Benny Giay dipasang di dua titik yaitu di Jalan Pos 7 Sentani dan di persimpangan jalan antara arah Gunung Merah dan jalan ke Kemtuk Gresi. Sedangkan di depan pusat Belanja Borobudur, Sentani, terlihat ada preman yang jaga dan merapat saat baliho diturunkan.
Kemudian, baliho Uskup Jayapura Mgr Yanuarius You dipasang di jalan masuk Biara Fransiskan, Sentani. “Badan Sinode GKI Pendeta Andrikus Mofu sudah memprotes para pihak yang tak beretika sehingga tanpa permisi sudah gunakan foto-foto pimpinan gereja untuk kepentingan sesaatnya,” ujar Benny dan Dorman.
Dalam nada retoris, Dewan Gereja Papua mengajak semua pihak bagaimana membaca ‘keadaan orang asli Papua’ mengalami’ kekerasan saat ini. Menurut Dewan Gereja Papua, ada banyak cara menjawab pertanyaan ini.
Pertama, orang asli Papua yang hitam dari tanah yang ‘kaya sumber daya’ sedang dilihat pihak tertentu sebagai potensi atau ancaman terhadap NKRI sehingga harus dihabiskan. Ada para petinggi yang berniat meng’kopi susu’kan orang asli Papua dengan metode genetika atau membuang orang asli Papua ke Sulawesi Utara.
Kedua, kejadian ini (pemasangan baliho dengan gambar pemimpin gereja di tanah Papua) bisa dilihat sebagai bagian dari skenario untuk mengalihkan perhatian dan atau memicu konflik antara pimpinan gereja tersebut dan pihak umat atau KNPB atau orang asli Papua yang sedang yang alami kekerasan dalam pembatasan kebebasan pengungkapan pendapat, khususnya KNPB yang dipasung sejak minggu pertama Agustus 2024 (melalui) ‘berita aksi demo damai disebarkan di media’
Ketiga, insiden baliho ini dinaikkan dalam suasana orang Papua ‘sedang di jalan buntu dan tidak ada terang ke depan’ menurut refleksi seorang petugas gereja lewat dua strategi pendekatan keamanan sejak tahun 2018/2019 yang menyentuh dan menghancurkan di dalam lima bidang antara lain penguasan disertai kekerasan dalam bidang keamanan, hukum dan yuridis, kelembagaan dan demokrasi. kependudukan, dan komunikasi serta informasi.
Singkatnya, ujar Benny dan Dorman, negara ini sudah menguasai atau mengendalikan tanah Papua dan masyarakat sipil ‘tanpa permisi’. Terakhir, ada pihak yang tanpa permisi gunakan foto pimpinan gereja memasang baliho menyampaikan Selamat HUT NKRI ke-79. Sebelumnya, para pihak ini sudah memperpanjang UU Otsus Papua Jilid II pada Juli 2021 dan pemekaran provinsi di tanah Papua ‘tanpa permisi’.
“Apapun pembacaan kita tentang insiden ini, pimpinan gereja bisa lihat insiden ini sebagai tantangan bagi karya pastoralnya untuk membangkitkan semangat membangun kembali wacana dialog dan Papua tanah damai dengan mengedepankan apa yang gereja atau agama bisa sambil membuka diri dan melihat ‘akar masalah’ mengapa Papua terus menjadi lahan konflik. Sudah pasti dengan membangun komunikasi dengan semua pihak,” kata Benny dan Dorman. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)