Kembali Pada Falsafah Hidup Masyarakat Meepago - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Kembali Pada Falsafah Hidup Masyarakat Meepago

Albertina You, S.Si, staf Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Albertina You, S.Si

Staf Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Dogiyai 

MEE merupakan salah satu suku besar di wilayah Provinsi Papua Tengah. Selain Mee ada juga suku-suku asli lain seperti suku Damal, Dani, Moni, dan Nduga di wilayah dataran tinggi Papua Tengah. 

Sedangkan mayoritas masyarakat suku Mee mendiami wilayah Kabupaten Dogiyai, Deiyai, dan Paniai. Selain itu ada juga masyarakat suku Mee tinggal di beberapa wilayah kabupaten di wilayah adat Meep (Papua Tengah) seperti Nabire, Mimika, Intan Jaya, dan Puncak. 

Sedangkan suku Amungme mendiami wilayah Mimika bagian gunung dan suku Kamoro menempati wilayah pesisir Mimika. Selain itu juga terdapat masyarakat suku-suku non Papua lain dari berbagai wilayah di Indonesia. Suku-suku non Papua ini ada yang menetap puluhan tahun dan mengabdi di bidang sosial keagamaan maupun pemerintah, dan lain-lain.

 Komunitas suku Mee seperti juga suku-suku asli lainnya memiliki adat-istiadat dan tradisi hingga falsafah hidup yang masih terawat hingga saat ini. Dalam berbagai praktik adat-istiadat, tradisi, ritus-ritus budaya, seni tari, ukir hingga kebiasaan hidup komunitas suku Mee masih memiliki kesadaran kolektif pada nilai-nilai warisan leluhur.

Falsafah hidup orang Mee melihat di luar diri dan sesama komunitas suku bahkan di luar sukunya masih dipegang teguh. Dalam pemahaman komunitas masyarakat suku Mee disebut dalam tiga frasa bahasa lokal yaitu gai, dou, dan ekowai

Gai berarti berpikir, berefleksi, merasa atau ingat. Kemudian dou berarti melihat, memandang, menyelidiki atau memperhatikan. Lalu ekowai berarti membuat, melakukan, mengerjakan atau bekerja.

Falsafah hidup

Pengalaman selama ini menggambarkan, orang Mee sangat menyadari diri sebagai komunitas adat dan budaya dengan akal budi luhur. Falsafah hidup orang Mee: gai, dou, dan ekowai merasuk dalam jiwa dan raga. Falsafah ini menyatu dalam komunitas suku dan membenarkan frasa klasik: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Di atas tanah Meepago, falsafah digenggam erat.

Namun, pertanyaan muncul: apakah falsafah hidup orang Mee itu akan selalu dirawat di tengah kemajuan teknologi dan budaya modern di tengah masyarakat? Pertanyaan ini penting dalam rangka mengingatkan dan membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat suku Mee bahwa kemajuan teknologi dan serbuan budaya modern adalah tantangan lain yang tak kalah penting merawat falsafah gai, dou, dan ekowai

Abai menjaga falsafah hidup warisan leluhur adalah senja kala kemunduran merawat identitas suku Mee. Karena itu, nasehat orangtua: ‘jika engkau adalah manusia, simpan dan tampunglah dalam pikiran’ menjadi panduan dalam hidup di tengah gempuran zaman yang kian modern dan serba instan. 

Nasehat orangtua ini memberi pelajaran penting bahwa orang Mee perlu memiliki kesadaran kolektif di tengah kemajuan teknologi dan aneka budaya baru dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Budaya asli tidak boleh tergerus oleh gaya hidup serba instan tanpa peduli pada budaya dan falsafah hidup warisan leluhur. Falsafah gai, dou, ekowai adalah panduan hidup bagi masyarakatnya. Orang Mee harus kembali memahami esensi falsafah hidup di atas tanah leluhurnya.

Dalam Kamus Praktis Bahasa Mee-Indonesia (2010) Hubertus Takimai menguraikan secara jelas terminologi gai, dou, ekowai, Hubertus menguraikan, gai berarti berpikir, berefleksi, merasa atau mengingat. Sedangkan dou diartikan dengan melihat, memandang, menyelidiki, memperhatikan. Kemudian ekowai berarti membuat, melakukan, mengerjakan, dan bekerja.

 Falsafah tersebut menegaskan bahwa orang Mee sungguh mengakui dan menyadari dirinya manusia berakal budi. Dengan falsafah itu itulah orang Mee berpikir, melihat dan melakukan hal-hal yang membuat hidupnya bahagia sebagai manusia sejati ciptaan Tuhan.  

Falsafah ini mengantar manusia pada refleksi mendalam bahwa sebagai makluk dengan karunia akal budi dari Tuhan, sang Pencipta. Bahwa hidup bukan sekadar untuk membahagiakan diri dan komunitasnya serta sesamanya saat ini namun juga sebagai bekal, investasi di dunia akhirat. Mengapa refleksi itu penting?

Mulai luntur 

 Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, nilai-nilah hidup dalam falsafah masyarakat Mee yaitu gai, dou, ekowai mulai mengalami pergeseran atau kian luntur. Paling kurang dapat dideteksi dalam sejumlah aspek. Pertama, faktor internal di kalangan masyarakat suku Mee yang kerap alpa merawat dan menjalankan falsafah hidup gai, dou, ekowai.

 Kedua, nilai-nilai budaya baru lebih dominan dan dihayati sebagai sebuah kenyataan dalam relasi sosial kemasyarakatan yang heterogen. Pola dan gaya hidup serba modern dan mengikuti seleran zaman membuat masyarakat suku Mee sadar atau tidak sadar terjerambab dalam budaya serba modern lalu alpa merawat tradisi, adat-istiadat bahkan falsafah hidup warisan leluhur.

Ketiga, falsafah hidup itu perlahan tergerus nilai-nilai positifnya. Di lain sisi, bila diamati lebih luas gaya hidup modern lebih dominan di kalangan komunitas masyarakat asli, terutama di kalangan generasi muda. 

Keempat, nilai-nilai hidup semakin bergeser. Hal ini dapat dilihat di mana banyak tempat sakral yang seharusnya tidak lagi dijaga atau dilestarikan, benda-benda peninggalan orang tua dan leluhur kurang mendapat perhatian. Honai warga kerap dibakar, konflik kekerasan kerap terjadi gara-gara tersulut emosi sesaat. 

Kelima, praktik perjudian, perang antar kelompok di antara suku, minum mabuk marak dan budaya gotong-royong mulai ditinggalkan generasi suku Mee. Di titik ini, bukan sekadar menuntut kesadaran kolektif warga pemilik adat dan budaya melihatnya secara jernih lalu kembali kepada falsafah dasar gai, dou, ekowai

Pemerintah dan gereja juga perlu hadir bagi masyarakat, terutama suku-suku asli seperti Mee (dan tentu suku-suku khas Papua Tengah lainnya) melalui kebijakan mendukung kelestarian budayanya. Program-program pemerintah dengan dukungan anggaran menjadi mutlak agar masyarakat eksis dengan budaya khasnya mendukung berbagai program pemerintah. 

Tinggalkan Komentar Anda :