Oleh Arnold Fredo Binter, S.Si.Teol, M.Si
Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Nani Bili Sorong
UNDANG-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua di tingkat pelaksanaan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 tersebut, mengatur kewenangan strategis Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan (hankam), moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan khusus Papua yang diberikan meliputi bidang pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, sosial, perekonomian, kependudukan dan ketenagakerjaan serta pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan lingkungan hidup.
Dalam pelaksanaan sejumlah kewenangan tersebut seharusnya eksekutor kebijakan dalam rangka implementasi Otonomi Khusus Papua, para gubernur, bupati, dan walikota serta organisasi perangkat daerah (OPD) teknis terkait bidang strategis otsus yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua harus berani melakukan kebijakan yang bersifat diskriminasi positif.
Diskriminasi positif dimaksud termasuk dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, sosial, perekonomian, kependudukan dan ketenagakerjaan serta pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup dalam rangka percepatan dan peningkatan pembangunan dan pelayanan khusus bagi orang asli Papua (OAP) sehingga tujuan dan ekspektasi negara bagi kemajuan pembangunan Papua di segala bidang bisa terwujud.
Diskriminasi positif merupakan sebuah konsekuensi logis dari diterapkannya Undang-undang Otsus Papua. Karena itu, suka atau tidak suka, pihak eksekutif dalam hal ini pemerintah harus mampu menerjemahkan spirit otsus Papua tersebut. Tujuannya, melindungi hak-hak orang asli Papua yang terimplementasi dalam setiap keputusan dan kebijakan daerah dalam berbagai bidang seperti yang disampaikan di atas.
Penyelenggaraan pemerintahan Otsus Papua harus berpihak, memproteksi dan hanya memberdayakan orang asli Papua seperti daerah lainnya di Indonesia yang juga berstatus otonomi khusus dan atau istimewa seperti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
Jika otonomi khusus atau keistimewaan daerah dapat dilaksanakan dengan baik pada daerah lain, lalu mengapa ragu untuk melakukannya di tanah Papua? Ini sebuah pertanyaan retoris yang mesti menjadi concern pengambil kebijakan di level nasional.