Oleh Frans Maniagasi
Pengamat Papua
PERUBAHAN Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 maka percepatan pembangunan Papua selayaknya diawali dari wilayah Papua Pegunungan atau kini Provinsi Papua Pegunungan. Provinsi ini berada di punggung burung kasuari di bagian tengah. Pemerintah Belanda menyebut Papua Pegunungan Tengah —Centraal Bergland— wilayah tengah dengan gunung yang tinggi dan diselimuti oleh salju.
Kondisi fisik geografis, topografis, dan keterisolasian yang ekstrim dan tantangan yang dihadapi maka barometer kemajuan pembangunan nasional, ditentukan oleh sukses tidaknya pemerintah memajukan wilayah ini. Singkat kata, suksesnya Indonesia, khususnya terletak pada seberapa majunya wilayah ini dan Papua pada umumnya.
Provinsi Papua Pegunungan (PPP) sangat unik. Keunikan itu bukan sekadar kehidupan masyarakat, sosial dan budaya maupun peradabannya. Ia juga menantang kita sebagai bangsa dan negara memacu pembangunan demi kemajuan wilayah ini.
Ada tiga alasan yaitu, pertama, kondisi fisik alam dan manusianya, geografis, dan keterisolasian yang kompleks. Kedua, demografis jumlah penduduk terpadat dengan delapan kabupaten yaitu Kabupaten Jayawijaya, Tolikara, Yalimo, Mamberamo Tengah, Nduga, Lani Jaya, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang. Kehidupan masyarakat yang terpencar-pencar dan berkelompok di lereng gunung terjal, lembah bahkan di gunung yang berselimutkan salju.
Humat capital
Pada hakekatnya jumlah penduduk yang banyak ini justru menjadi human capital untuk mendorong dan memacu proses percepatan pembangunan meminjam istilah matematika kemajuan pembangunan Papua Tengah bukan lagi dilaksanakan berdasarkan rumus deret hitung tapi mesti menggunakan formulasi deret ukur.
Maknanya, pembangunan di provinsi ini tak dapat dilakukan biasa biasa saja, tapi perlu lompatan dan jangkauan yang ekstra luar biasa. Jika diberdayakan secara optimal masyarakat Papua Pegunungan akan menjadi kekuatan spiritualitas dan seperti tesis Francis Fukuyama yang tahun 2007/2008 lalu mengunjungi wilayah pegunungan terkagum-kagum dengan apa yang disebutnya sebagai social capital atau modal sosial.
Spiritualitas dan social capital menurut Fukuyama menjadi push faktor untuk terjadinya perubahan yang signifikan menuju kemajuan. Dapat dibayangkan daya tahan fisik masyarakat pegunungan yang mampu beradaptasi dengan kedahsyatan alam yang terletak sekitar 3000-3500 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan suhu udara yang begitu dingin, tapi mereka survive di habitat alam dan lingkungannya.
Kondisi ini berimplikasi pada sarana transportasi udara menjadi satu satunya alat yang menghubungkan kabupaten satu dengan kabupaten lainnya. Transportasi darat (jalan) telah dirintis dua dekade yang lalu dengan beberapa ruas jalan termasuk Trans Papua hanya belum dapat menjangkau seluruh kabupaten. Namun ada perkembangan bahwa paling tidak koneksitas jalan darat ini telah menghubungkan beberapa kabupaten (Wamena–Tolikara–Mamberamo Tengah–Yalimo).
Ketiga, potensi SDA yang dimiliki provinsi ini terutama pertanian lokal sepertu sayur mayur, buah- buahan, ubi-ubian, dan kopi. Hasil penelitian antropologi menunjukkan, ada 400-an jenis ubi- ubian dengan varietasnya yang dapat dikembangkan dan diproduksi dari wilayah ini.
Hal itu perlu perlu menjadi prioritas dikembangkan menjadi kekuatan ekonomi lokal lokal menjadi primadona di sektor ekonomi pertanian dan pangan masyarakat dalam arti yang luas.
Artinya pengembangan tanaman lokal menjadi kekuatan inti ekonomi mikro masyarakatnya. Sektor unggulan ekonomi mikro ini menjadi penggerak utama, prime mover guna mem-push dan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan daerah.
Kinerja sektor ekonomi tanaman rakyat ini menjadi tangguh (ketangguhan) dengan demikian Provinsi Papua Pegunungan menjadi lumbung sekaligus bantalan yang dapat mengatasi krisis pangan di beberapa kabupaten yang sering dilanda kekeringan.
Saling terkait
Mengacu pada tiga faktor tersebut pentingnya ketahanan pangan maka kesetersediaan, aksesilibitas dan utilisasi pangan (Bustanil Arifin, 2023) saling terkait.
Ketersediaan pangan (sayur mayur, ubi-ubian) yang berkualitas bukan saja untuk menjadi konsumsi lokal tapi juga aksesibilitas untuk suplai hasil produksi pangan dan demand yang open market dengan adanya utilisasi produksi dan konsumsi lokal untuk memenuhi kebutuhan di daerah lain.
Program ini sedang dirancang bangun kembali oleh Penjabat Gubernur Dr Velix Wanggai untuk kerjasama dengan PT Freeport Indonesia di Timika. Pengalaman ini bukan hal baru namun sudah pernah dilakukan oleh Yayasan Pembangunan Kerjasama Irian Jaya atau Joint Development for Irian Jaya (JDF) di era 1970-1980-an.
Program seperti ini yang penting adalah meletakkan sistem dan mekanismenya agar berkelanjutan dengan syarat kualitas dan kuantitas produksi dari masyarakat diupayakan agar memenuhi standar baku dan mutu. Juga menjaga kontinyutas suplai agar tepat waktu termasuk volume ketersediaan produk menjadi jaminan kesinambungannya.
Aktivitas program ekonomi pangan lokal ini juga memiliki efek ganda sekalian terjadi ekonomi barter. Artinya, transaksi tukar menukar bahan makanan dari pegunungan memproduksi sayur-mayur dan ubi-ubian.
Selain dipasarkan ke Freeport untuk konsumsi 19.000 (sembilan belas ribu) karyawannya, juga mensuplai kebutuhan sayur mayur untuk masyarakat di wilayah pesisir pantai utara seperti Biak, Yapen dan wilayah Teluk Cenderawasih yang menjadi central perikanan.
Dengan demikian terjadi multi player efect optimalisasi status bandara internasional Frans Kaiseipo untuk melayani kembali rute domestik antara wilayah di Papua, termasuk ke pegunungan tengah maupun penerbangan internasional melayani angkutan manusia serta barang dan jasa kargo.
Transaksi ekonomi barter suplai melalui ekonomi pangan antara kedua penduduk dikawasan ini. Masyarakat pegunungan disuplai ikan dari wilayah pesisir pantai kawasan Teluk Cenderawasih Biak, Yapen, Waropen dan sekitarnya. Kebalikannya, masyarakat di kawasan pegunungan menjual sayur-mayur dan ubi-ubian kepada penduduk di pesisir pantai utara.
Singkatnya masyarakat di pegunungan konsumsi ikan dan jenis makanan laut dan masyarakat di pesisir pantai memperoleh asupan sayur mayur dan ubi-ubian. Ujungnya terjadi peningkatan pendapatan antara kedua masyarakat kedua wilayah tersebut sekaligus berimplikasi peningkatan pendapatan daerah.
Keuntungan lain aktivitas ekonomi seperti ini terutama antar wilayah provinsi di Tanah Papua saling kerja sama, dan saling menopang yang pada gilirannya secara bertahap Papua memiliki kekuatan pendapatan sehingga dapat melepaskan ketergantungan pada dana dari pemerintah pusat. Kemandirian secara ekonomi lokal dan peningkatan pendapatan masing-masing daerah di tanah Papua mampu mewujudkan tujuan otsus berdiri di atas kaki sendiri.
Tugas dan tanggung jawab ini patut menjadi pekerjaan rumah yang mesti direalisasikan pada akhir dua dekade ke depan dari seluruh pimpinan daerah baik diprovinsi dan kabupaten/kota serta stakeholders strategis dan terkait melalui pemekaran daerah otonom baru (DOB) yang terdiri dari enam provinsi.
Tujuannya, untuk membangun komunikasi dan kerjasama pembangunan ekonomi mikro masyarakat dan antar wilayah di Papua menjadi basis kerja sama dengan ekonomi makro eksploitatif yang selama ini tak ada kaitan dengan ekonomi rakyat sehingga menimbulkan disparitas sosial, ekonomi dan lebih menguntungkan ekonomi nasional dan global.
Paradigma ini telah usang dan perlu ditinggalkan dan diubah di mana ekonomi mikro atau ekonomi rakyat menjadi panglima terhadap ekonomi makro yang eksploitatif baik pada level produksi, manajemen dan sharing pendapatannya.
Keempat, kekayaan budaya, kesenian yang khas selama ini menjadi sasaran penelitian dan kajian dari para ahli terutama ahli kebudayaan, antropologi, sosial dan ekonomi. Tak terbatas sampai pada tataran itu.
Artinya masyarakat jangan hanya dijadikan sasaran dan obyek dari penelitian tapi mesti ada feedback dari produk penelitian berupa kebijakan baik yang bersifat peningkatan kebudayaan, sosial- ekonomi serta yang bersifat afirmatif dan protektif.
Seperti adanya pusat kebudayaan dan kesenian yang mengembangkan potensi seni dan budaya, serta sentra pertumbuhan dan pengembangan kreativitas sosial kemasyarakatan (sangar seni, tari, dan lukis) terutama untuk kaum muda dapat mengembangkan potensi dan kreativitasnya dalam rangka mengaktualisasikan potensi dirinya.
Apalagi momentum globalisasi dan digitalisasi yang melanda dunia termasuk kaum muda Papua Pegunungan yang menguasai informasi teknologi memudahkan mereka untuk mengembangkan bakat terpedamnya.
Rekomendasi
Dari deskripsi singkat itu, berikut beberapa hal sebagai rekomendasi yang dapat menjadi pertimbangan para pelaksana pembangunan di wilayah Provinsi Papua Pegunungan maupun secara keseluruhan di tanah Papua.
Pertama, akselarasi pembangunan diwilayah yang sulit di Indonesia ini seyogyanya diletakkan dan diawali dari penggarapan potensi sumber daya alam (SDA) lokal yang dimilikinya. Potensi SDA lokal seperti pangan yang dikelola oleh masyarakat berbasis pada kondisi dan budaya lokal (local wisdom) mesti menjadi inspirasi dan aspirasi dimulainya percepatan pembangunan.
Kedua, local wisdom masyarakat yang menjadi kekuatan spiritualitas (social capital) menjadi prime mover dan entry point sekaligus lokomotif percepatan pembangunan Provisi Papua Pegunungan menjadi inspirasi yang berfungsi menarik gerbong pembangunan provinsi-provinsi lain di tanah Papua melalui keunggulan komparatif SDA masing-masing wilayah dengan ekonomi barter terjadi transaksi dan saling tukar menukar produk yang akan memperkuat basis ekonomi rakyat yang simbiosis mutualis.
Ketiga, mengubah paradigma bahwa ekonomi lokal atau rakyat menjadi komitmen dan aksi di lapangan untuk setiap kehadiran dan keberadaan perusahaan ekstratif wajib menjadi mitra strategis dalam rangka sharing.
Mulai dari hasil, laba kotor produksi setiap kegiatan usaha dengan memprioritaskan produk lokal dimanfaatkan oleh perusahaan termasuk rekruitmen tenaga kerja pada setiap level dan jenjang, tentu dengan syarat profesionalisme, integritas, dan kompetensi.
Keempat, pasca revisi UU Otsus dan pemekaran DOB kini saatnya untuk setiap pemimpin daerah provinsi dan kabupaten/kota serta para pemangku kepentingan agar perlu perubahan mindset untuk meletakkan paradigma baru bahwa kemandirian daerah dan masyarakat memanfaatkan potensi SDA yang ada di atas permukaan tanah dengan tidak tergesa-tergesa menggali potensi kekayaan yang ada dalam kandungan tanah di wilayahnya.
Namun, memanfaatkan secara terukur dan bermartabat dengan melibatkan peran aktif masyarakat adat sebagai ujung tombak guna memberikan basis ekonomi lokal sehingga masyarakat berpendapatan sebagai dampak dari aktivitas produksi. Sehingga diharapkan pada gilirannya tereksplor sumber-sumber pendapatan tanpa tergantung pada dana dana pembangunan dari Jakarta.
Mandiri sesuai substansi otsus secara bertahap melepaskan diri dari Pusat agar mengupayakan pendapatan sendiri, dengan tetap saling sharing di antara sesama provinsi, kabupaten/kota di tanah Papua sebagai satu kesatuan sosial, budaya, dan ekonomi.
Perlu disadari bahwa saling sharing dengan sistem ekonomi barter seperti yang contoh dan pengalaman di atas dari satu wilayah dengan wilayah lain merupakan kewajiban.
Ibarat kehidupan bertetangga jika ada kelebihan dari satu keluarga sementara tetangganya yang lain berkekurangan maka tentu yang berkelebihan tidak berdiam diri, justru akan membagi dengan tetangga yang berkekurangan. Hal ini merefleksikan nilai-nilai kehidupan sosial dan kemasyarakatan kita.
Kelima, hal penting lain yang perlu digarisbawahi, sesuai dengan penjelasan Pasal 38 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 bahwa wajib (kewajiban) provinsi (baca provinsi-provinsi) untuk menyisihkan pendapatannya dari hasil produksi eksploitasi SDA untuk dana abadi.
Manfaat dari dana abadi adalah mengantisipasi kebutuhan yang sifatnya mendadak, emergency agar segera ditanggulangi. Kasus hebohnya utang pembayaran biaya siswa yang lalu, menjadi pelajaran dan pengalaman berharga dari diadakannya dana abadi.