Merawat Demokrasi Bumi dan Air di Papua Masa Depan (2) - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Merawat Demokrasi Bumi dan Air di Papua Masa Depan (2)

Ben Senang Galus, penulis buku Demokrasi Bumi dan Air. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ben Senang Galus

Penulis buku Demokrasi Bumi dan Air; tinggal di Yogyakarta

KETIKA kelangkaan air menjelang, tetangga atau keluarga berbalik saling menyerang satu sama lain. Kelangkaan merupakan hasil salah-urus antara kebudayaan dan pemberian alam. Kebudayaan telah mengembangkan diversitas kultural untuk meniru diversitas biologis dari iklim dan ekosistem. Maka ketika hubungan itu disalahgunakan, maka akan mendapati pertumbuhan populasi yang tak berkelanjutan.

Vandana Shiva dalam Earth Democracy (2005), menggariskan 10 prinsip atau ciri demokrasi bumi. Pertama, “ecological democracy–democracy of all life” (artinya, demokrasi ekologis–demokrasi dari semua kehidupan). Kedua, “intrinsic worth of all species and peoples” (nilai intrinsik dari semua spesies dan manusia). Ketiga, “diversity in nature and culture” (keragaman alam dan budaya).

Keempat, “satural rights to sustenance” (artinya, hal alamiah dan berkecukupan), Kelima, “earth economy is based on economic democracy and living economy” (artinya: ekonomi bumi didasarkan pada demokrasi ekonomi dan ekonomi kehidupan). Keenam, “living economies are built on local economies” (artinya, ekonomi kehidupan dibangun di atas ekonomi lokal).

Ketujuh, “living democracy” (artinya, demokrasi untuk hidup atau demokrasi berdasarkan realitas kehidupan). Kedelapan, “living knowledge” (artinya, pengetahuan untuk hidup atau pengetahuan dari kehidpuan). Kesembilan, “balancing rights with responsibility” (artinya, menyeimbangkan hak dengan tanggungjawab). Kesepuluh, “globalizing peace, care and compassion” (artinya, mengglobalkan perdamaian, keperdulian dan kasih sayang).

Kesepuluh prinsip ini, memuliakan, heterogenitas  dengan pijakan keragaman budaya dan keragaman spesies harus dibela/ dipertahankan dengan cara menentang penyeragaman dan mengembangkan bibit, tanaman, budaya yang branekaragam yang diwariskan nenek-moyang kita.

Demokrasi air

Eksploitasi berlebihan terhadap air dan gangguan pada siklus air menciptakan kekurangan air absolut yang tidak dapat digantikan oleh pasar dengan komoditas lainnya. Ketika air punah, tidak ada alternatif. Bagi perempuan di desa, kelangkaan air berarti menempuh jarak yang lebih jauh lagi untuk mendapatkan air. Ini sering terjadi di wilayah NTT misalnya.

Bagi petani, hal itu berarti kelaparan dan kemelaratan ketika kekeringan menggagalkan panen mereka. Bagi anak-anak, berarti dehidrasi dan kematian. Sungguh tidak ada pengganti yang sederhana bagi cairan yang sangat berharga ini, yang diperlukan untuk kelangsungan hidup hewan dan tumbuhan.

Krisis air merupakan krisis ekologis dengan penyebab komersial yang dilengkapi dengan solusi pasar. Solusi pasar menghancurkan bumi dan kian memperburuk kesenjangan. Pemecahan terhadap krisis ekologis (harus) bersifat ekologis, dan solusi terhadap ketidakadilan adalah demokrasi. Untuk mengakhiri krisis air, menurut Vandana Shiva dalam Democratizing Biology (2007), disyaratkan pembaruan demokrasi ekologis.

Meskipun dua pertiga bagian dari planet bumi adalah air, tetapi ancaman krisis air yang semakin akut melanda berbagai belahan dunia. Vandana Shiva, dalam Water Wars: Privatization, Pollution, and Prifit (2002) menggarisbawahi peran globalisasi dan kepentingan ekonomi politik korporasi sebagai biang keladi dari merebaknya berbagai problem air seperti polusi, distribusi yang tidak merata, penerapan teknologi yang serampangan hingga privatisasi. Padahal alam punya prinsip, cara dan ritme sendiri dalam menyalurkan air untuk memenuhi kebutuhan seluruh spesies yang hidup di bumi.

Menurut Vandana Shiva, siklus hidrologi adalah bentuk alamiah dari demokrasi air. Dengan bijak, alam tidak mendistribusikan air secara seragam, tetapi equitably sehingga seluruh spesies akan mendapatkan jatahnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing; tidak ada yang berlebihan, tidak ada yang kekurangan.

Globalisasi dan kepentingan korporasi transnasional telah mencederai hak air dan menyebabkan rusaknya siklus alamiahnya melalui over eksploitasi air tanah, pengaturan dan pengalihan aliran air sungai sertai privatisasi pasokan air publik.

Logika pasar telah menempatkan air hanya sebatas komoditas yang diperdagangkan. Logika ini telah mengabaikan hak air itu sendiri maupun hak publik atas pengelolaan dan penggunaan air. Pembangunan bendungan atau dam menjadi contoh yang dari penyalahgunaan hak air.

Demokrasi bumi dimulai dari demokrasi air, yang merupakan unsur sumberdaya alam cukup vital bagi manusia di muka bumi (Vandana Shiva , 2005). Tidak hanya manusia, tetapi juga makhluk lain. Dasar pemahaman dari demokrasi ini adalah bahwa air merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati.

Menurut Vandana Shiva, terdapat sembilan prinsip utama  demokrasi air: 1) air adalah anugerah alam, 2) air sangat penting bagi kehidupan, 3) Kehidupan dan air saling bergantung, 4) air bukan barang komoditas, tetapi pengelolaannya tidaklah gratis demi keberlangsungan air, 5) air itu terbatas dan bisa habis kalau tidak dirawat keberadaannya, 6) air harus dilindungi, 7) air adalah milik umum, tidak bisa dimiliki sebagai hak milik pribadi dan dijual sebagai barang komoditas, 8) tak seorangpun berhak merusak karena air adalah milik bersama, 9) air tidak bisa diganti

Oleh karena itu, bila negara dan perusahaan swasta sampai bisa menguasai kepemilikan -atau setidak-tidaknya menyedot air untuk kepentingan industri- sebuah mata air di tengah-tengah komunitas, hal itu merupakan pelanggaran hak asasi yang sangat berat dan harus dilawan. Pengelolaan air harus diletakkan di tangan komunitas yang benar-benar memahami filosofi dasar air, dan mampu bersikap adil bagi seluruh makhluk hidup di sekitarnya, tidak hanya semata-mata untuk kepentingan kebutuhan manusia saja.

Modernisasi yang dianut oleh pemerintah dan perusahaan swasta air sehingga menguasai air sebagai alat industrinya, merupakan ancaman buruk bagi kehidupan kemanusiaan di masa mendatang. Perang (memperebutkan) sumber air yang bisa dan sudah terjadi di akar rumput disebabkan oleh menyusutnya sumber air karena sudah dikuasai oleh privat dan didukung oleh Negara dengan kebijakan ijin beroperasinya industri. Konflik tersebut pada akhirnya mengancam demokrasi di komunitas tersebut.

Oleh sebab itu, kearifan lokal dipakai sebagai alat untuk mengkritisi dan melawan globalisasi. Kearifan lokal dipakai sebagai bagian dari konservasi alam dan air, dan di Papua misalnya, sudah sejak lama memelihara kearifan lokal air dan aspek sosial yang menyertainya.

Mewujudkan politik dan demokrasi bumi digambarkan sebagai melindungi air merupakan hal yang sangat urgent untuk dilestarikan di bumi Cendrawasi karena politik demokrasi bumi sungguh berpihak pada kelestarian lingkungan, diawali dengan sikap dan perilaku yang sederhana hingga paling penting, pelestarian lingkungan dan perlindungan alam, termasuk di dalamnya air.

Nafas kearifan lokal, masing-masing daerah di Papua dikembalikan menjadi nafas baik bagi pembuat kebijakan pemerintah daerah, masyarakat yang mengalami ancaman krisis ekologi dan air bersih maupun masyarakat yang belum mengalaminya, namun harus dimulai sejak sekarang.

Merawat demokrasi bumi dan air untuk Papua, pada hakekatnya membangun kesadaran tentang bagaimana masyarakat Papua harus berperilaku terhadap bumi, air, baik secara sosial politik maupun secara ekologi hidrolik, menjadi lebih bijak demi menjaga kualitas dan kuantitasnya. (Bagian kedua/terakhir)

Tinggalkan Komentar Anda :