JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Sidang dugaan suap dan gratifikasi, yang menjadikan Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe sebagai terdakwa kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (7/8).
Dalam sidang tersebut, majelis hakim Tipikor mendengarkan keterangan lima saksi. Para saksi dimaksud yaitu mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua Mikael Kambuaya, Benyamin Tiku (swasta/supir Pitun Enumbi), Darwis (swasta/orang kepercayaan Pitun Enumbi), Basuki Rahmat Suminta atau Abbas (supir Lukas Enembe), dan pihak swasta atau Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijantono Lakka.
Anggota Tim Penasihat Hukum Lukas Enembe (TPHLE) Petrus Bala Pattyona mengatakan, dalam persidangan saksi Rijantono memberikan kesaksian menarik. Saksi Rijantono mengaku, uang satu miliar rupiah yang selama ini didakwakan sebagai uang pemberian atau gratitikasi dari dirinya ke Enembe merupakan uang pribadi Enembe.
“Jadi dalam persidangan, Lakka memberikan kesaksian bahwa dia (Rijantono) mendapat telepon dari Pak Lukas untuk mengambil uang satu miliar rupiah milik Pak Lukas di Gedung Negara. Uang itu ditransfer ke rekening Pak Lukas yang saat itu sedang berada di Jakarta. Rencananya, uang itu untuk membiayai pengobatan Pak Lukas di Jakarta,” ujar Pattyona kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Senin (8/8).
Masih dalam kesaksiannya, ujar Pattyona, Rijantono lalu pergi ke Gedung Negara, bertemu dengan dua staf perempuan, berbincang sejenak, lalu menuju salah satu kamar untuk mengambil uang satu miliar yang ditaruh di dalam kardus.
“Kesaksian Rijantono, uang itu disimpan dalam kantung palstik, yang ditaruh di dalam dus. Di dalam dus itu, sudah ada kertas berisi no rekening. Uang lalu dibawa pulang, disimpan di mobil, dan keesokan harinya ditransfer ke nomor rekening yang sebelumnya ditaruh di dalam dus. Yang mentransfer uang itu Fredrik Bani, staf Rijantono,” ujar Pattyona lebih jauh.
Jadi, kata Pattyona, dalam kesaksian Rijantono tersebut tergambar bahwa uang satu miliar rupiah yang selama ini dituduhkan dan didakwakan sebagai uang suap ternyata uang tersebut milik Enembe, bukan uang suap.
Dalam sidang tersebut, Rijantono juga bersaksi bahwa Hotel Angkasa yang selama ini dituduhkan dan didakwakan sebagai milik Enembe ternyata milik Rijantono.
“Dalam kesaksiannya, Hotel Angkasa itu dibeli Rijantono dari keluarga mantan Gubernur Papua Izzac Hindom seharga 4,5 miliar rupiah. Awalnya, buka harga 7,5 miliar rupiah lalu ditawar hingga sepakat di angka 4,5 miliar rupiah dan dibayar Lakka 2 kali. Setelah dilunasi, kemudian sertifikatnya dibalik nama ke nama Rijantono. Jadi jelas dari kesaksian Rijantono kalau Hotel Angkasa itu miliknya dan bukan milik Pak Lukas,” kata Pattyona.
Kesaksian Rijantono tentang kepemilikan Hotel Angkasa itu, ujar Pattyona menjadi penting karena selama ini Enembe dituduh dan didakwa menerima gratifikasi berupa pembangunan Hotel Angkasa tersebut dan pembangunan sarana lainnya dengan nilai total gratifikasi 25 miliar rupiah.
“Bagaimana dapat dituduh menerima gratifikasi sebesar 46 miliar rupiah sedangkan Hotel Angkasa itu ternyata milik Rijantono sendiri? Selain itu, juga dari kesaksian Rijantono, saksi selalu dibayar oleh keluarga Pak Lukas untuk jasanya dalam melakukan renovasi rumah pribadi keluarga Pak Lukas,” ujar Pattyona.
Selain itu, dalam persidangan Mikael Kambuaya yang hadir dan bersaksi pertama di muka sidang juga tidak pernah melihat langsung Enembe sedang berjudi di Singapura.
“Dalam sidang Mikael Kambuaya bersaksi pernah datang ke Singapura untuk menjenguk Pak Lukas. Saat bertemu dan hingga pulang kembali ke Jayapura, Mikael Kambuaya tidak pernah melihat langsung Pak Lukas sedang berjudi. Mikael hanya bertemu Pak Lukas di hotel. Saksi hanya tahu soal kabar Pak Lukas berjudi dari media saja. Jadi, clear, ya? Tidak ada yang melihat langsung Pak Lukas sedang berjudi di Singapura,” kata Pattyona.
Pattyona menambahkan, saksi-saksi lain juga tidak mengetahui adanya gratifikasi dari Pitun Enumbi dan Rijantono ke Enembe. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)