Media adalah Pesan
OPINI  

Media adalah Pesan

Dr Fidelis Regi Waton, pengajar Filsafat di KHKT, Jerman. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Fidelis Regi Waton

Pengajar Filsafat di KHKT, Jerman

EKSPLORASI sejauh mana media massa memformat pola pikir dan gaya hidup manusia merangsang aneka pakar. Marshall McLuhan terhitung bintang teori komunikasi par excellence. Ia meninggalkan lanskap konsep media klasik.

Fokus analisisnya bukanlah pesan, tapi sarana komunikasi itu sendiri. Tesis revolusionernya: The Medium is the message (media adalah pesan). Bukan hanya konten yang disampaikan, media secara intrinsik memiliki efek vital.  Struktur dan bentuk media mempengaruhi muatan.

McLuhan memahami media dan teknologi dengan metafora antropologis sebagai ekstensi diri. Media bukan sekadar teknik transmisi, tapi perpanjangan kompetensi fisik manusia. Sarana transportasi merupakan perpanjangan kaki, buku dan pakaian adalah perluasan mata dan kulit. Komputer adalah ekspresi eksternal fungsi sel otak kita.

Media massa bukan hanya mengubah konstelasi persepsi sensorik, juga kondisi motorik bahkan manusia seutuhnya. Menurut McLuhan media publik modern tak hanya menyebarkan pesan, juga memijat jiwa dan otak penerimanya. Asumsi ini kembali relevan di tengah obsesi media sosial-digital seperti Facebook, Instagram, Twitter, Youtobe dan Tiktok.

Media bukanlah instrumen netral. Ia mengendalikan koeksistensi manusia dan menata komposisi budaya komunikasi. Perspektif dimensi ruang-waktu direformasinya. Email, SMS dan Videocall misalnya mempercepat korespondensi dan mengaburkan rentang interaksi.

Sejarah demokrasi dan media menunjukkan, setiap teknologi baru menampilkan kebiasaan kognitif dan diskursus bercorak paradoksal. Masyarakat Athena dan Roma kuno dikonstruksi berdasarkan kebebasan berbicara (parrhesia) dan retorika, tapi dirusakkan pihak Sofis dan demagog populis. Penemuan mesin cetak meretas produksi massal pustaka dan menstimulasi pencerahan, juga memicu perang agama yang tragis di Eropa.

Munculnya telegraf berperan strategis dalam sosialisasi norma demokrasi liberal sekaligus menyediakan platform bagi nasionalisme radikal. Fasisme abad ke-20 dimuluskan film dan radio. Merebaknya dunia maya bergambar memicu inovasi kultur politik. Citra dan kemasan lebih diprioritaskan ketimbang formulasi wacana bernas. Revolusi internet khususnya medsos membawa perubahan drastis dalam berpikir dan bertindak, termasuk cara berdemokrasi.

Medsos dan Demokrasi

Kolaborasi tim peneliti dari Max Planck Institute for Human Development, Hertie School dan University of Bristol mengupas korelasi antara media digital dan perilaku politik sejagat. Produk riset ini dipublikasikan dalam jurnal Nature Human Behaviour (2022). Mayoritas responden menggunakan medsos sebagai sumber informasi dan acuan preferensi politik.

Di era media cetak jurnalis dan redaksi dalam kapasitas sebagai Gatekeeper memutuskan konten yang akan dipublikasikan. Medsos yang dikendalikan algoritme justru beroperasi lebih simpel. Ia menyajikan peluang bagi setiap pengakses internet untuk menerbitkan konten saringannya. Yang ditampilkan ke audiens lazimnya berorientasikan interes individu dan ekspetasi konsumen.

Secara transparan medsos berkontribusi bagi demokrasi partisipatif. Wacana publik dimerdekakan dari kolonialisasi kaum elit dan intelektual. Namun umumnya warta politik dari forum medsos cenderung acak dan instan yang dilabel News-Snacking. Teks, video atau galeri yang dipresentasikan bagaikan snack yang dikonsumsi dan dicerna dalam tempo singkat. Kesetiaan follower dipupuk lewat update postingan reguler.

News-Snacking itu bagaikan suguhan ringan yang tak selamanya mengenyangkan dan lebih murah. Konten yang berkualitas, kompleks dan komprehensif sangat mahal. Ia menguras banyak waktu, dana dan energi untuk diteliti dan diuji keabsahannya.

Medsos membuat kita jadi resipien pasif dengan pekik news find me (berita menemukan saya). Saya tak harus aktif mencari informasi, karena cepat atau lambat berita itu akan datang secara otomatis. Berita memang deras didistribusikan, namun condong beraroma polarisasi dan tendensial.

Informasi palsu dan hoaks disebarkan secara permanen. Orang dibuat ketagihan mengunyah disinformasi. Koridor pencarian fakta dan kebenaran dihalangi. Kementerien Komunikasi dan Informasi mendata: sebanyak 800.000 situs di Indonesia yang diidentifikasi penyebar informasi palsu (2017). Acapkali konsumen sulit mendistingsi berita palsu dan asli karena dikemas begitu apik dan sugestif.

Model brainwashing digital ini kian marak jelang pemilu. Begitu intensif satu kandidat disakralisasi melalui diskreditasi kontestan lain. Sasarannya adalah penggalangan kolektivitas yang ditandai homogenitas berpikir dan berperilaku.

Partisipasi politik yang aktif dan efektif hanya mungkin jika orang mengandalkan sumber alternatif yang lebih serius. Anggapan news find me berdampak negatif terhadap partisipasi konstruktif dan melemahkan proses demokrasi.

Pihak yang tak aktif mencari informasi otentik dan mengandalkan hidangan acak di jaringan sosial, akan terbatas pengetahuan dan opsi tindakannya. Fenomena ini berkonsekuensi pada pudarnya motivasi untuk kesadaran politik, gampang terjangkit virus polarisasi dan konspirasi serta lunturnya kesadaran kritis.

Jauh sebelum era digital Buddha Gautama memahat wasiat monumental: Jangan percaya pada sesuatu hanya karena otoritas kaum bijak dan tua telah mengatakannya. Apa yang telah berstatus sebagai keyakinan umum juga tak boleh dipercayai begitu saja. Jangan percaya berdasarkan kepercayaan orang lain. Jangan percaya apapun hanya karena ia ditulis dalam buku-buku agama dan ditradisikan sekian lama. Percayalah hanya pada apa yang anda observasi, uji dan nilai secara benar dan obyektif.

Sumber: Kompas, 5 Agustus 2023

Tinggalkan Komentar Anda :