Oleh Pendeta Dr Socratez Yoman, MA
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) saat berada di Jayapura dalam kunjungan resminya mengeluarkan statemen berikut. “Jangan dilihat (negatif). Karena memang secara umum, 99 persen itu gak ada masalah. Jangan masalah kecil dibesar-besarkan. Semua di tempat, di manapun, di Papua kan juga aman-aman saja.”
Presiden Jokowi merasa aman dan baik-baik saja. Namun, bagi kami, penduduk orang asli Papua, kami merasa tidak nyaman di atas tanah pusaka atau leluhur kami. Statemen tersebut adalah cerminan dan watak penguasa Indonesia dalam melihat persoalan ketidakadilan, kekejaman, kejahatan negara, pelanggaran HAM berat, marginalisasi, genoside akibat kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, dan militerisme menahun dan kronis yang dialami rakyat dan bangsa Papua Barat.
Pernyataan itu juga merupakan komunikasi dan relasi social-politik yang rusak, buruk, dan hoaks yang mencerminkan watak rasisme dan fasisme Indonesia. Saya menafsir pernyataan Jokowi sebagai upaya membelokkan atau menghilangkan empat akar konflik kronis Papua Barat yang dipersoalkan selama bertahun-bertahun versi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini BRIN).
Dari isi pernyataan tersebut, terlihat sembilan dosa yang dibuat Kepala Negara terhadap rakyat dan bangsa Papua Barat atau penduduk orang asli Papua. Selain statemen sebagaimana dikemukakan di atas, ada yang lain yang dapat diutarakan di sini. “Kita karnaval juga aman, kita ke sini juga gak ada masalah, ya kan? Kita malam makan di restoran juga gak ada masalah. Jangan dikesankan justru yang dibesarkan yang negatif-negatif. Itu merugikan Papua sendiri”. Itu statemen lain Jokowi.
Dosa politik
Dari statemen Jokowi yang berbasis rasialisme, fasisme, dan hoaks ini telah melahirkan sembilan dosa politik yang menujukkan, 99 persen terjadi kerusakan dan komunikasi politik yang buruk serta relasi sosial antara rakyat dan bangsa Papua Barat dengan pemerintah Indonesia.
Sembilan dosa politik dapat dicatat sebagai berikut. Pertama, jangan dilihat (negatif). Selama ini yang melihat dan membuat rakyat dan bangsa Papua Barat negatif ialah penguasa Indonesia. Sejak awal 19 Desember 1061, Pemerintah Indonesia sudah melihat orang asli Papua atau bangsa Papua Barat dengan pikiran negatif, yaitu kemerdekaan bangsa Papua Barat pada 1 Desember 1961 dianeksasi atau diinvasi militer dengan label negatif: “negara boneka.”
Pemerintah Indonesia, Belanda, Amerika dan PBB telah melihat Papua Barat dengan pikiran negatif, rasis dan fasis. Bahkan tidak melibatkan perwakilan bangsa Papua Barat dalam proses pembuatan Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 dan Perjanjian Roma pada 30 September 1962.
Pemerintah Indonesia melalui kekuatan ABRI telah melihat negatif sejarah dan kebudayaan bangsa Papua Barat, sehingga semua buku sejarah yang berhubungan dengan bangsa Papua Barat dimusnahkan dan dibakar. Pemerintah Indonesia juga memandang rendah martabat dan melihat secara negatif terhadap rakyat dan bangsa Papua Barat. Hak politiknya dihancurkan dalam proses politik Pepera 1969 dengan kekuatan moncong senjata ABRI.
Lagu-lagu Mambesak yang dipopulerkan Arnold Ap, Edward Mofu dan kawan-kawan yang menghidupkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Papua Barat juga dilihat negatif Indonesia bahkan para pemimpinnya dibunuh. Pemerintah Indonesia menilai negatif orang asli Papua dan direndahkan martabat dengan stigma atau label separatis, makar, OPM, GPK, KKB, teroris, monyet, tikus, nyamuk, belalang, kopi susu, dan masih banyak sebutan negatif lain.
Pemerintah dan TNI-Polri melihat negatif mama-mama Papua dengan inovasi dan kreatif melukis bendera Bintang Kejora di noken, kerajinan khas sebagai salah satu sumber pendapatan atau mata pencaharian. Pemerintah Indonesia menilai negatif demo damai rakyat dan bangsa Papua Barat yang menentang rasisme dan ketidakadilan. Namun, para pemimpin demo ditangkap dan diadili secara negatif, dituduh makar lalu dipenjarakan.
Kedua, secara umum 99 persen itu sesungguhnya tidak masalah. Sesungguhnya, persoalan konflik Papua Barat itu kompleks dan multidimensi. Spiral kekerasan negara menyebabkan tragedi kemanusiaan yang kronis dan perlu penyelesaian serius. Karena kekerasan di Papua Barat selama ini adalah negara. Pernyataan Jokowi paradoks, buruk, rusak, dan hoaks. Karena 99 persen di Papua Barat adalah masalah ketidakadilan dan pelanggaran HAM berat dan sangat sulit dan rumit.
Akar konflik sudah dirumuskan LIPI terdiri dari empat hal yaitu sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Kemudian kekerasan negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian. Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri serta kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Kalau dianggap di Papua Barat 99 persen tidak ada masalah maka muncul pertanyaan. Mengapa Jokowi berkunjung ke Australia 4-5 Juli dan ke Papua Nugini pada 5 Juli 2023 untuk mencari atau meminta dukungan untuk “memikul dosa-dosa” Indonesia secara bersama-sama.
Ahli filsafat Prof Dr Franz Magnis, Pastor Frans Lieshout, OFM (Alm), Dr Anti Soleman dari UKI Jakarta menyatakan, Papua adalah luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia. Berarti 99 persen ada masalah berat di Papua Barat. Kata Romo Magnis, situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia. Kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata. (Magnis dalam Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).
Sedangkan Lieshout dalam Guru dan Gembala Bagi Papua (2020:601) mengatakan, orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia. Sedangkan Anti Soleman dalam saat peluncuran 5 buku Seri Sejarah Politik, HAM dan Demokrasi di West Papua karya Markus Haluk di Graha Oikoumene, Jakarta, Kamis (15/6/2023) menyatakan, “Buku ini (karya Haluk) cerita tentang luka. Luka tentang Papua itu tidak saja ada pada kami seperti usia saya yang sudah 71 tahun, tapi luka itu sudah ada dalam hidup anak dan cucu kita, umurnya 17 tahun”.
Ketiga, masalaah kecil jangan dibesar-besarkan. Dalam keadaan sadar atau tidak sadar, Jokowi dengan rombongan ke Australia pada 4-5 Juli dan ke Papua Nugini pada 5 Juli 2023, adalah bagian integral yang tak terpisahkan dari memperluas dan memperkenalkan akar konflik Papua Barat kepada komunitas internasional. Atau bahasa Jokowi, jangan masalah kecil dibesar-besarkan. Rakyat awam dengan polos akan bertanya. Siapa yang membesar-besarkan masalah Papua Barat selama ini?
Pengiriman pasukan non organik dalam jumlah besar ke Papua Barat juga adalah bukti pemerintah ikut membesar-besarkan, menyebar-luaskan, memperkenalkan, mengumumkan, dan mengkampanyekan bahwa di Papua Barat 99 persen ada masalah. Pengiriman kelompok komprador binaan BIN ke Vanuatu pada 19-21 Juli 2023 untuk menghadiri Festival Budaya Melanesia juga menunjukkan, ada konflik besar di Papua Barat. Maka negara membina kelompok komprador dan gladiator untuk mengadu-domba dalam rakyat dan bangsa Papua Barat sendiri.
Penyanderaan pilot Philip Mark Mehrthens oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pimpinan Egianus Kogeya pada 7 Februari 2023 hingga kini membuktikan bahwa ada masalah besar di tanah Papua Barat, bukan masalah kecil atau tidak ada masalah. Pemerintah Indonesia belum atau tidak mengijinkan komisioner tinggi HAM PBB dan wartawan asing dan diplomat asing ke Papua Barat juga menunjukkan ada persoalan besar yang sedang disembunyikan.
Jadi, secara logika dan realitas saat ini, yang membesar-besarkan, menyebarluaskan, memperkenalkan, mengumumkan, dan mengkampanyekan akar konflik Papua Barat adalah pemerintah Indonesia, TNI-Polri, dan kaum gladiator dan komprador. Sikap negara sangat membantu dan memperkuat bahwa di Papua Barat ada masalah atau persoalan besar. (bagian pertama dari dua tulisan)