Oleh Yulius Pekei, S.Pd, M.Pd
Dosen Bahasa Indonesia dan Logika Sekolah Tinggi Katolik Touye Paapaa, Deiyai, Keuskupan Timika
SUKU bangsa adalah golongan orang yang terikat oleh kesadaran identitas, ciri khas kesatuan yang tercermin dalam kebudayaan. Kesatuan kebudayaan golongan orang-orang yang terikat itu tidak ditentukan orang lain namun mereka sendiri. Bahasa merupakan salah satu hasil kebudayaan golongan orang-orang tersebut.
Badan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia mencatat bahasa daerah di wilayah Papua sebanyak 428 dari 718 bahasa daerah di Indonesia.
Meski demikian, seiring perjalanan waktu, perkembangan bahasa daerah di bumi Cenderawasih mengkhawatirkan karena dua bahasa daerah bernasib naas setelah dinyatakan punah yaitu bahasa Tandia dan bahasa Mawes.
Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan (Kapusbanglin) Bahasa dan Sastra, Badan Bahasa Kemendikbudristek Imam Budi Utomo mendorong pentingnya kolaborasi pemangku kepentingan, stakeholder di pusat dan daerah guna mendorong penguatan, revitalisasi bahasa daerah khususnya di Papua.
Dukungan diberikan dengan lahirnya regulasi di daerah yang dapat mempercepat dan melindungi proses revitalisasi bahasa daerah di wilayah Papua.
Dukungan konkrit diberikan Budi Utomo kala menyampaikan sambutan saat berlangsung rapat koordinasi dengan pemerintah daerah dalam rangka Implementasi Pelindungan Bahasa Daerah di Provinsi Papua Tahun 2022 yang dihadiri juga Ketua Kelompok Kerja Otonomi Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Papua Jhon NR Gobay (kemdikbud.go.id, 8 Juli 2022)
John Gobay mendukung terlaksananya rakor mengingat selama ini regulasi yang mengatur bahasa daerah di Papua belum ada. Melalui dukungan Balai Bahasa Papua, DPRP secara kelembagaan telah mengajukan usulan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) mengenai pelindungan bahasa dan sastra daerah di Papua.
Dalam Perda tersebut diatur juga kewajiban adanya muatan lokal (mulok) bahasa daerah yang wajib diajarkan mulai dari SD hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di Papua. Paling kurang, kata Gobay, dalam doa pembukaan dan penutupan proses belajar-mengajar dapat menggunakan bahasa daerah.
Hal tersebut menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar dan peraturan pelaksanaan lainnya menjaga dan merawat bahasa daerah demi menjaga eksistensi bahasa daerah dan masa depan generasi muda adat khususnya di Papua.
Faktor pendorong
Satu kenyataan yang tengah dialami ratusan bahasa daerah di Papua adalah gejala kepunahan bahasa daerah secara alamiah. Gejala tersebut dapat dideteksi melalui beberapa aspek.
Pertama, sebagian anggota komunitas masyarakat tanggal atau alpa menghayati kearifan lokal mereka melalui bahasa daerah yang merupakan alat komunikasi antarperson atau komunitas masyarakat. Padahal, bahasa daerah bersangkutan merupakan warisan orangtua dan leluhur.
Kedua, anggota komunitas masyarakat pemakai atau penutur bahasa terkadang merasa rendah diri saat menggunakan bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu yang datang dari beragam latar suku maupun etnis.
Ketiga, pengguna atau penutur bahasa daerah cenderung terpengaruh arus global sehingga tidak lagi mencintai Bahasa daerah sebagai salah satu kekayaan budaya warisan leluhur.
Di kalangan sebagian orang asli Papua kadang memandang bahasa daerahnya ketinggalan zaman. Pemakaian unsur bahasa serapan di sebagian pemakai atau penutur bahasa baru kerap menenggelamkan bahasa daerah dalam relasi komunikasi verbal di antara anggota komunitas masyarakat.
Selain aspek-aspek di atas, ada dua hal yang secara tidak sadar menggiring bahasa daerah di Papua menuju ambang kepunahan. Pertama, faktor internal. Faktor internal yang dimaksud yaitu aspek linguistik yang erat kaitannya dengan bahasa itu sendiri. Baik aspek fonologi, morfologi, semantik, dan sintaksis.
Kedua, faktor eksternal. Faktor ini menyangkut manusia dan lingkungan, yaitu bagimana manusia interaksi antar anggota komunitas masyarakat penutur dengan komunitas masyarakat serta dan lingkungannya yang berujung pada perubahan pemakaian bahasa daerah.
Padahal, dari aspek fungsi bahasa daerah adalah sarana vital pengembangan kebudayaan masyarakat. Kondisi ini berpotensi membuka ruang kepunahan bahasa daerah bila upaya pelestarian bahasa melalui institusi pendidikan formal seperti pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah masih utopis dan belum bergerak ke tindakan nyata.
Sumbangan nyata
Bahasa daerah adalah bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan dan dibina. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi antar anggota masyarakat. Ia (bahasa) juga sarana yang menjembatani manusia atau komunitas masyarakat kepada sesamanya.
Persis di titik ini, meminjam pendapat Spradley (1997), bahasa bukan sekadar alat komunikasi bagi manusia yang paling hakiki. Bahkan merujuk Chaer (2004), bahasa itu mempengaruhi cara berbicara atau bertindak anggota masyarakat agar mempengaruhi sifat-sifat bahasa yang dimilikinya.
Di Papua, sejumlah peneliti bidang linguistik sudah berjasa dalam melahirkan sejumlah buku terkait lingustik dengan hasil bahasannya yang sangat membantu masyarakat. Sebut saja Dharmojo dkk (1996) yang menulis buku Fonologi Bahasa Ekagi. Steltempool (1965) dengan judul bukunya, Woordenlist Nederlans yang berisi daftar kata terjemahan Bahasa Belanda dan Bahasa Mee.
Begitu juga Drabbe (1942) yang menulis Sprakkunst Van Het Mee menulis Tata Bahasa Mee. Althur, dkk (2001) menulis buku Fonologi Bahasa Ekagi. Steltempool (1969) yang menulis Kamus Terjemahan Bahasa Mee, Hylkema (1982) menulis Kamus Bahasa Mee, Handayani (1995) menulis buku Antologi Sastra Lisan Mee atau Hubertus Takimai, (2016) yang menulis Kamus Bahasa Mee-Indonesia.
Meski sudah ada gebrakan para ahli bahasa atau peneliti dengan lahirnya karya mereka melestarikan bahasa daerah, pemerintah daerah melalui dinas terkait belum memikirkan pentingnya pelestarian bahasa daerah melalui pendidikan formal.
Mencermati gejala punahnya bahasa daerah di Papua maka saatnya sudah mulai dipikirkan pemerintah daerah melalui dinas terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan, Pariwiwasa, dan Perpustakaan Daerah segera memasukkan mata pelajaran Bahasa Daerah dalam muatan muatan lokal sebagai bahasa ibu yang perlu dilestarikan sebelum menuju ambang kepunahan.
Pemerintah daerah melalui dinas terkait seperti disebutkan di atas perlu memikirkan serius memasukkan Bahasa Daerah sebagai mata pelajaran muatan lokal di seluruh sekolah mulai SD hingga SMA di tanah Papua. Mengapa perlu? Itu merupakan salah satu bagian penting dalam upaya melestarikan bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
Membiarkan bahasa daerah berada dalam gempuran kemajuan teknologi dan informasi tanpa upaya melakukan revitalisasi secara sungguh-sungguh bahkan mengabaikannya, tak lebih seperti kerakap yang tumbuh di atas batu: hidup enggan, mati tak mau.