Oleh Oksianus K Bukega
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura
PENDERITAAN merupakan suatu situasi atau keadaan yang menyedihkan yang harus ditanggung dalam eksistensi hidup manusia. Penderitaan dapat tercipta oleh karena bencana alam maupun oleh tingkah laku liku hidup manusia. Yesus yang diyakini dan diimani oleh umat kristen (Katolik) sebagai Anak Allah pernah mengalami penderitaan di kayu Salib.
Penderitaan-Nya itu merupakan jalan menuju keselamatan total bagi umat manusia. Setiap orang yang percaya kepada Allah, secara khusus mereka yang menderita oleh karena tingkah laku penguasa dunia merupakan anak Allah. Dalam hal ini konteksnya dikaitkan dengan cermin penderitaan orang Papua.
Konteks pengertian
Penderitaan merupakan keadaan yang menyedihkan yang harus ditanggung; penderitaan juga merupakan penanggungan (bencana alam dan tingka lakuh manusia). Penderitaan yang disebabkan oleh karena bencana alam, kemanusiaan (mengakibatkan banjir, kelaparan, dan sebagainya).
Hal itu membuat orang harus mengungsi, dan menentukan pilihan lain. Penderitaan juga disebankan oleh karena kebebasan tingkah laku manusia itu sendiri yang nota bene adalah ‘penguasa dunia’ ini. Penguasa dunia (antar manusia) dapat menguasi sesama manusia lain yang bereksistensi di dunia ini. Apa pun bentuknya yang berkuasalah yang dapat mengendalikan kekuasaannya itu di dalam konteks.
Penguasa dunia yang dimaksud di sini secara khusus adalah orang-orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam strata sosial-masyarakat. Dengan demikian pemimpin di suatu wilayah suku/budaya, agama dan pemerintah merupakan penguasa dunia.
Dalam konteks ini dibicarakan penguasa-penguasa yang melancarkan bentuk-bentuk penderitaan yang menindas dan mengancam eksistensi Anak Allah (Yesus dan mereke yang dibuat menderita).
Bentuk-bentuk penderitaan itu bisa langsung maupun tidak secara langsung dijalankan. Baik Yesus maupun manusia yang menderita itu adalah Anak Allah. Namun, eksistensi mereka itu tercemar oleh karena tingkah laku penguasa dunia yang egois, individualis, konsumeris, dan sebutan lainnya.
Sudah sejak awal kehidupan Yesus di muka umum, dan pemerintahan pada zaman-Nya yakni orang Farisi dan pengikut Herodes bersama para imam dan ahli taurat, yang merupakan penguasa dunia, bersepakat untuk membunuh Yesus. Rencana untuk membunuh Yesus oleh penguasa dunia itu lahir dari situasi sosial-politik oligarki (kaisar, raja, imam dan ahli Kitab) yang nota bene adalah penguasa dunia pada zaman Yesus.
Sang revolusioner
Yesus sang revolusioner tampil mengganggu dan mengacaukan kemapaman kaum oligarki ini. Klaim kaum oligarki pun lahir. Klaim itu lahir karena melihat beberapa perbuatan-Nya, yakni pengusiran setan, pengampunan dosa, penyembuhan pada hari sabat, melanggar hukum pentahiran orang, pergaulan mesra dengan pemungut cukai dan dan pelacur dan lainnya, menimbulkan anggapan pada beberapa penguasa dunia yang berkehendak jahat bahwa Dia melanggar aturan tata hukum pemerintahan mereka.
Cara pandang kaum oligarki yang berbeda karena melihat perbuatan-Nya itu, Dia (Yesus) harus dihukum mati. Hukuman terakhir yang ditanggung-Nya adalah penderitaan jalan Salib. Bagi kaum oligarki (Yahudi), Salib merupakan simbol kebodohan. Karena itu Yesus pantas melewati jalan Salib. Namun demikian, jalan ‘Salib’ bagi orang yang percaya merupakan lambang kemenangan dan penebusan atas dosa manusia. Salib juga merupakan jalan penderitaan yang membebaskan dan menyelamatkan.
Melalui jalan Salib, Yesus mengantar manusia pada puncak penebusan dan keselamatan. Melalui Yesus manusia melihat Allah yang menderita. Karena itu tanpa Yesus Allah tidak berwajah: dibutuhkan suatu pewahyuan Ilahi untuk umat manusia.
Jika tidak ada Yesus, manusia tersesat dalam padang gurun kebimbangan dan ketidaktahuan mengenai kenyataan-kenyataan yang teramat penting seperti kesedihan, makna hidup, dan hidup setelah mati. Yesus adalah jawaban awal dan akhir sekaligus mensertakan wajah Allah dan manusia.
Ajaran Yesus dan pemerintah di zaman-Nya. Ajaran Yesus merupakan ajaran yang revolusioner tentang perilaku dan moralitas manusia, tentang kasih Allah pada manusia, tentang jalan pembebasan manusia dari dampak dosa dan kematian, serta cara hidup yang penuh kasih antar sesama dengan Tuhannya.
Yesus membawa revolusi paling mendasar, merombak sendi manusia dari budak penguasa (dosa) dan kematian menjadi esensi manusia merdeka; dari manusia sebagai anak kegelapan menjadi manusia anak terang, bahkan sebagai putra Allah. Ajaran Yesus menyempurnakan, menggenapi semua ajaran penguasa dunia. Pemerintahan yang menguasai rakyat sipil pada zaman-Nya mendapatkan suatu konspirasi baru. Konspirasi yang dibawa oleh Yesus sekaligus menyadarkan dan menari perhatian kaum oligarki dalam penyikapannya.
Pembaharuan dimulai
Revolusi mental terealisasi dalam ajaran Yesus. Peristiwa jalan Salib Yesus itu bila dikontekskan dengan penderitaan orang Papua merupakan penyatuan pandangan bahwa orang Papua yang menderita merupakan anak Allah. Orang Papua menderita tidak hanya karena bencana alam dan kemanusiaan. Mereka juga menderita sebagai konsekuensi skenario para penguasa dunia.
Orang Papua yang menderita karena dikejar-kejar, ditangkap, disiksa, dipenjarakan, dihukum mati, ditembak mati, diperkosa, ditikam, ditabrak, diracun, dan motif lainnya merupakan bentuk skenario riil penguasa dunia. Bila pada jaman Yesus yang membuat Yesus menderita adalah oligarki (Yahudi, imam, alhi taurat) karena melanggar aturan mereka dengan konspirasi baru, sedikit berbanding terbalik dengan konteks di Papua.
Di Papua orang yang menderita itu bukan akibat menantang hukum yang berlaku di pemerintahan (Indonesia-Papua) melainkan dideritakan dengan dalil bahwa orang Papua melanggar hukum yang berlaku di suatu pemerintahan (negara Indonesia).
Orang Papua yang menderita dihubungkan dengan wajah Yesus yang menderita di Salib. Rencana, penangkapan, penyaliban dan pengukuman mati Yesus merupakan cermin penderitaan orang Papua. Penguasa oligarki zaman Yesus memperlihatkan cermin penguasa pejabat pemerintah (pemerintah Indonesia) saat ini bagi masyarakat dan alam Papua.
Yesus dan manusia Papua yang menderita merupakan anak Allah. Eksistensi mereka tidak sama dengan para penguasa dunia. Yesus membawa konspirasi baru untuk menyempurnakan hukum dan ideologi mereka. Namun, apa yang menjadi pewartaan itu dikecam.
Meski dikecam namun tetap eksis hingga konteks saat ini. Tipe manusia penguasa yang menindas di zaman Yesus masih dalam dinamika hidup manusia. Karena itu, dibutuhkan pembaharuan total untuk penataan kehidupan manusia.